BAB 4 - Perasaan Yang Mengusik

1049 Words
Setelah makan malam usai, Mona mengajak Dion untuk duduk bersantai di teras belakang kamar utama yang berada tepat di pinggir kolam renang. Teras itu memang sengaja dibuat sedemikian rupa hingga menjadi begitu private. Hanya ada satu akses jalan tanpa menjadi basah untuk menuju ke tempat tersebut, yaitu melewati kamar utama. Disisi lain kolam renang terdapat beberapa kursi yang memiliki sebuah payung besar untuk berjemur, bagian itulah yang menjadi akses untuk pengguna selain penghuni kamar utama. Teras kamar itu sendiri dilengkapi dengan sebuah kursi malas berupa sofa tipis berbahan kulit yang letaknya agak tersebunyi pandang dari seberang karena tertutup oleh tanaman perdu dari pinggir kolam renang. Sepertinya, pemilik villa memang sengaja membuat sebuah tempat yang begitu private, sehingga kegiatan mereka saat berada di situ tidak mudah menjadi sasaran pandang jika kebetulan ada penghuni lain di sekitar situ. Sampai pada kursi tersebut, Mona mengajak Dion untuk duduk bersebelahan. Tanpa bicara, wanita itu segera membuka botol red wine yang telah diletakkan diatas meja dalam sebuah wadah berisi ice tube. Sesaat kemudian, dua buah gelas telah terisi anggur merah yang harum itu. Satu gelas Ia berikan pada Dion, satunya lagi Ia pegang dengan tangan kiri.   “Kita bersulang, yuk...,” ajak Mona dengan gaya manja.   “Oke, siap. Untuk seorang wanita matang dan cantik yang akan tetap berjaya di dunia hiburan.” Dion langsung mengangkat gelasnya setelah mengucapkan selamat dan pujian.   “Untuk fotografer handal yang sangat populer di dunia hiburan.” Mona membalas pujian dan ucapan selamat dari Dion.   “Cheers...” Mereka saling mengadu bibir gelas dan melakukan toast.   “Untuk kesehatan, kebahagiaan dan kesuksesan seorang bintang cemerlang, Mona Andrea.”   “Untuk kesehatan dan kesuksesan Dion We Pe.”   Dengan sekali teguk, mereka mereguk minuman pada gelas masing masing hingga habis untuk menggenapi semua doa dan pujian. Lalu, gelas mereka isi kembali untuk menemani obrolan mereka yang begitu romantis dan manis.    “Kamu udah dapat gambaran tentang kemana venue pemotretan besok akan dilakukan? Atau kita cari dengan spontan sambil jalan saja?” Dion bertanya tentang acara yang akan mereka buat besok.   “Aku sempat browsing setelah ada yang bercerita tentang sebuah tempat di pedesaan yang sangat indah.”   “Oh ya, di mana itu?”   “Namanya desa munduk.”   “Oh, I know. Munduk Buleleng. Tempat itu emang bagus.”   “Berarti benar, ya? Kamu udah pernah kesana?”   “Beberapa kali ada pemotretan di sana.  Tahu Dara, kan? Aku pertama kali kenal dengan dia waktu pemotretan di tempat itu.”   “Hmm... artis baru itu? Anak bawang yang pengin mencoba masuk hutan rimba...”   “Eh, emang kenapa? Kamu kenal juga?”   “Ih, enggak. Kabarnya sih, dia cantik. Namun sepertinya nggak akan bertahan lama di dunia kita ini. Gadis itu terlalu manis dan lemah, nggak bakal kuat.”   Dion hanya diam saat mendengar ungkapan Mona yang sepertinya tidak menyukai pendatang baru tersebut. Ia sendiri sudah lumayan dekat kenal dengan Dara. Pemotretan waktu itu sekalian menjadi ajang perkenalannya. Dan pada perjumpaan berikutnya, mereka sudah saling bertukar nomor ponsel. Mereka sering mengobrol, bahkan kadang bertemu walau hanya sebentar. Selama mengenal gadis itu, Ia bisa melihat jika Dara itu baik dan tidak sombong dalam ukuran keartisan. Namun, entah mengapa dan juga bukan urusannya juga kalau Mona begitu tidak suka dengan gadis tersebut.   “Dia cantik ya, Say... Muda, segar dan tentu saja demikian menggairahkan.” Penasaran dan panas hati karena Dion tak menanggapi ucapan tadi, nada bicara Mona berubah menjadi merajuk.   “Hmm, lumayan. Dia lumayan cantik. Muda, iya dong. Kan masih dua puluh tahun.”   “Nggak seperti aku. Udah tua dan nggak segar lagi. Mungkin karena itu jadi kurang menggairahkan.” Nada merajuk itu semakin kentara.   “Siapa bilang kamu tua? Kamu cantik, matang dan... cukup menggairahkan juga.” Mau tak mau, Dion harus mengangkat ego wanita sedang merasa cemburu pada kaumnya yang lebih muda itu. Padahal, sebenarnya tak ada alasan sedikitpun baginya untuk cemburu. Mendengar kata-kata Dion, wajah Mona spontan menjadi cerah dan semringah.   “Benar aku masih cantik?”   “Iya, kamu cantik. Malah cantik banget.” Jawaban itu jujur dan apa adanya.   “Tapi udah tua, kan?” kembali suara manja itu menjadi sedikit berisi nada duka.   “Eh, siapa bilang? Ibarat buah, kamu ini tengah matang-matangnya. Kamu belum tua, tapi dewasa.”   “Tapi nggak menggairahkan lagi.”   “Hmmm... itu hanya perasaanmu saja.”   “Kalau nurut perasaanmu?”   Dion kembali terdiam. Ia paham benar arah pembicaraan itu. Salah sedikit menjawab, semuanya pasti akan mengundang konsekuensi sendiri baginya. Serba salah. Jika menjawab ‘iya’, Mona pasti akan segera menyeret dirinya untuk melakukan sesuatu agar Ia dapat membuktikan apa yang menjadi jawabannya. namun jika menjawab ‘tidak’, Ia lebih paham lagi bagaimana wanita itu akan mengamuk dan membalas perlakuan yang dianggapnya telah begitu melecehkan.   Mona gila hormat, haus pujian dan perhatian. Ia adalah pribadi yang selalu ingin dipuja dan menjadi pusat bagi orang sekitarnya. Khusus pada Dion, wanita itu memang sudah lama tergila-gila. Walaupun tak pernah membicarakan tentang sebuah hubungan diantara mereka, namun Ia selalu saja tak pernah mau ditolak saat menginginkan lelaki itu. Hal inilah yang semakin lama membuat perasaan Dion menjadi sedikit berubah. Dulu Ia begitu menikmati untuk bermesraan dengan Mona, wanita pujaan lelaki seantero negeri yang begitu seksi dan memikat itu. Lelaki manakah yang tak mau menikmati kecantikan, keharuman serta gairah sang bintang? Tapi kini, perlahan semuanya memudar. Bukan oleh rasa bosan, namun lebih tepat pada perlakuan yang Ia terima. Bersama Mona, Ia ibarat sebuah obyek pemuas saja. Dihadapan wanita itu, Dion hanyalah seorang hamba yang harus menuruti kemauan sang ratu. Dan kini, Ia sudah merasa berada dalam batas kebosanan.   Dion bosan hanya menjadi semacam obyek, dia jenuh dengan segala topeng yang harus dipakai dalam menghadapi orang-orang di sekitarnya. Dan semakin lama, belenggu topeng-topeng itu seakan bertambah menyesakkan d**a. Ia ingin bebas, seperti burung yang terbang diangkasa. Dan yang terutama adalah, Dion ingin bisa melepas semua topengnya serta menampilkan wajahnya sendiri yang asli. Menjadi diri sendiri untuk mencintai dan dicintai sesamanya. Jalan hidupnya sekarang yang menjadi mata pencaharian telah mendatangkan bukan saja harta benda berlebihan untuknya, tapi juga ketenaran dan respek dari berbagai kalangan. Dan semua itu dapat Ia raih karena bisa memasuki kalangan papan atas yang antara lain berkat jasa orang-orang seperti Mona ini.   Bukan saja dengan artis yang kini berada di hadapannya, namun sudah banyak sekali model ataupun wanita-wanita sejenis dari tempat yang terhormat itu telah menjalin hubungan yang sangat dekat dengannya. Boleh dikatakan, dari pelukan publik figur yang satu ke pelukan yang lain sudahlah Ia lakukan selama ini. Dan, pada suatu ketika Ia jadi merasa jika sebenarnya semua itu  ia lakukan hanya sebagai sebuah cara untuk mendapatkan penghasilan yang lebih besar dari sewajarnya. Beberapa tahun lalu, Ia sangat menikmati petualangan demi petualangan yang benar-benar menguburkan dirinya dalam dunia egosentris penuh kepentingan palsu. Dan entah kapan tepatnya Ia lupa, tiba-tiba saja Dion merasa seolah menjadi tak nyaman lagi berada dalam dunianya kini. Itulah sebabnya mengapa sekarang Ia telah berubah menjadi sebuah pribadi yang moody dan semaunya sendiri.        ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD