Heran

1135 Words
Aku yang melihatnya dengan spontan mengernyitkan dahi. Dalam batinku berkata, hanya dengan uang mereka seketika mampu melupakan kesedihanya. Astaga baru tahu ternyata orang dengan uang seketika merasa bahagia. "Bagaimana? Cukup tidak?" tanya papa dengan posisi kaki yang menyilang. Wanita bernama Beti pun dengan sedikit bergemetar memegang uang yang ada di dalam koper itu. "Ini jumlahnya berapa, Tuan? Kurasa lebih dari cukup," ujar wanita itu dengan tetap mata menatap tajam ke arah uang. Ayah menyeringai sembari beranjak dari tempat duduknya. "Satu milyar, aku anggap urusan kita perihal Feri cukup sampai di sini jika kalian menerima uang itu," kata papa Wanita itu pun menatap papa sembari tersenyum. "Baik, Tuan. Senang berurusan dengan Anda," ujar wanita itu dengan menjulurkan tangannya. Papa pun hendak membalas salaman tangannya, namun tiba-tiba Andrea selaku anaknya wanita itu dan Pak Feri pun berdiri. "Tunggu sebentar!" ujarnya. "Ada apa? Kurang?" tanya papa. "Bu-bukan, Tuan. Apakah saya boleh mengantikan Ayah saja untuk bekerja di sini?" tanya Andrea. Papa menarik tangan Andrea agar sedikit menjauh dari meja. Papa memutari tubuh Andrea dengan menatap dari ujung kepala hingga kaki. "Bisa, tinggi badan yang proposional. Oke jika kamu berkenan, mulai hari ini bisa langsung bertugas," ujar papa. Wanita bernama Beti itu pun menarik tangan anaknya. "Gaji berapa, Tuan? Apa sama seperti suami saya dulu?" tanya Ibu Andrea. "Iya, lima juta perbulan!" jawab papa dengan suara lantang. Mata Bu Beti pun terbelalak, mendengar upah yang dijanjikan oleh papa. Beliau mengangguk-anggukan kepalanya dengan cepat sembari terlihat senyum merekah dari bibirnya. "Iya saya terima, saya hari ini pulang dulu ambil pakaian gimana, Tuan?" tanya Andrea. Ayah mengangguk lalu sorot matanya menatap ke arah salah satu pengawal, dengan cepat pengawal itu bertindak untuk mengantar mereka keluarga Pak Feri pulang. Tas koper di dekap dengan erat oleh Bu Beti, sedangkan anaknya si Andrea pandangannya tak lepas melihat ke arahku. Aku dengan cepat menunduk, agar tak bertemu pandangannya denganku. "Kalian bisa istirahat, saya juga perlu istirahat!" ujar papa dengan tegas. Semua pengawal dan asistenya pun membungkukkan badan secara bersamaan. Setelah itu, aku memutuskan untuk pergi ke kamar kembali. Aku teringat Nadira dan tugas yang aku janji mengerjakan by phone tadi. Aku berlari menaiki anak tangga menuju kamar. Aku segera mengambil ponselku yang berada di atas meja. Tak perlu menunggu lama, panggilan pun tersambung. "Halo, Ce. Gimana?" tanya Nadira dari seberang telepon. "Maaf, ya. Aku lupa, ketiduran tadi. Ini aku juga abis melayat ke rumah orang tua temenku, jadi baru bisa hubungin kamu." aku mencoba mencari alasan yang tepat agar Nadira tak curiga. "Iya, nggak apa-apa. Kita vidio call aja, ya?" ujar Nadira. Tiba-tiba jantungku berdegup kencang, aku tak tahu harus menjawabnya bagaimana. Aku juga bingung harus belajar di sisi rumahku bagian mana. "Halo, Ce. Masih di situ? Kenapa?" tanya Nadira tampak khawatir. "Eh, iya. Bisa-bisa, aku siapkan pelajarannya dulu, ya. Nanti aku kabarin lagi," ujarku sembari memikirkan tempatnya. "Iya, Ce. Aku tunggu," jawab Nadira. Aku mengambil buku pelajaran yang akan aku kerjakan, setelah itu bergegas turun ke bawah mencari Mbak Rohmah. Aku mencarinya ke dapur dan menemukannya di sana. Aku pun mengajak Mbak Rohmah berdiskusi agar mendapat penempatan yang tepat. Aku juga harus merubah penampilanku tanpa di ketahui oleh kedua orang tuaku. Bak kisah cinta tanpa restu orang tua, harus bersembunyi-sembunyi. "Kalau di tempat kami bagaimana?" usul Mbak Rohmah. "Terus Mama, Papa kalau lihat penampilanku bisa berabe nanti," ujarku tampak panik. Mbak Rohmah tampak bingung mencari jawaban yang tepat. "Bilang tugas sekolah harus begini gitu aja, Non," ujar Mbak Rohmah. Dalam batinku berkata, ini aku yang buat perkara dan kenapa juga akun yang ribet dengan dua belah pihak. Aku pun menyetujui ucapan Mbak Rohmah, aku memutuskan meminjam kaos Mbak Rohmah agar tak terlihat mewah cara berpakaianku. "Mbak, pinjem kaos. Buruan," ujarku sembari menggandeng Mbak Rohmah menuju kamarnya. Di rumahku, Asisten rumah tangga dan pengawal dibuatkan 1 rumah cukup besar di bagian belakang rumahku ini. Di sana banyak kamar-kamar dan fasilitas yang memadai juga. Aku melangkah sembari menggandeng Mbak Rohmah menuju rumah para asisten itu. "Cecyl." Tiba-tiba terdengar suara lantang papa memanggilku. Aku sontak berhenti dan menoleh ke arah papa. "Iya, Pa," jawabku. Beliau berjalan menghampiri aku dan Mbak Rohmah. "Mau ke mana?" tanya ayah dengan suara lembut. Aku sebelum menjawab menatap ke arah papa. Aku mencoba mencari jawaban yang aku pas untuk beliau. "Ini, Pa. A-aku mau mengerjakan tugas, di bantu Mbak Rohmah," jawabku dengan terbata-bata. Ayah mengernyitkan dahinya, seolah-olah tak mempercayai yang aku katakan. "Benar begitu, Rohmah?" tanya Papa. "Iya, Tuan," jawab Mbak Rohmah begitu singkat. Lalu aku melihat ayah menganggukkan kepalanya, itu tandanya ayah mengizinkan aku untuk ikut Mbak Rohmah. Aku berjalan memasuki rumah para asisten rumah tangga, terlihat banyak ruangan di dalamnya. Walaupun bangunan ini tepat di belakang rumahku, aku masuk beberapa kali saja. Bahkan itu aku lakukan sebelum rumah ini di renovasi untuk di besarkan, saat ini terlihat lebih besar. Di dalamnya terdapat kurang lebih 10 kamar saling berdampingan, ruang tamu, ruang tengah, dapur dan kamar mandi. Aku pun belum pernah sekali pun masuk ke dalam kamar mereka. Aku celingukan melihat bangunan ini, terbiasa dengan rumah yang besar dan masuk ke dalam bangunan yang dihuni banyak orang. Para pengawal dan asisten pun sedang istirahat, ada yang menonton televisi dan sekadar duduk berkumpul bersama. Ketika mereka melihatku pun bergegas menghampiri dan berbaris seolah-olah presiden yang sedang lewat. "Nggak perlu, sana istirahat. Aku mau ke Mbak Rohmah," ujarku kala melihat perlakuan mereka. Namun mereka masih berdiri hingga aku benar-benar masuk ke dalam kamar Mbak Rohmah. Mungkin bagi mereka kamar ini sudah cukup luas tapi tidak buatku. Terdapat Springbed, Ac, almari dan kamar mandi dalam kamar. Lagi-lagi aku celingukan melihat kamar ini. "Mbak ini kamarnya? Kecil ya, Mbak," ujarku. Mbak Rohmah menghampiri lemari sembari tertawa kecil. "Rumah ini dan kamar ini sudah begitu besar buat kami, Non. Kalau Non mah, rumah ini segede kamarnya Non Cecyl," ujar Mbak Rohmah sembari membawa kaos yang akan aku pinjam. Mataku tetap memutari setiap sudut ruangan ini. "Non, tahu nggak sih. Kamar ini udah mewah buat kami, pakai AC dan kamar mandi ada di dalam," ujar Mbak Rohmah lagi. Aku pun menatap Mbak Rohmah sembari mengeryintkan dahiku. "Memangnya di rumah Mbak Rohmah nggak begini?" tanyaku tampak bingung. Jujur aku pun tak pernah kemana-mana, bahkan aku isinya rumah orang biasanya seperti apa aku juga nggak paham. Dalam pikiranku mereka dalam rumah dan kamarnya terdapat hal sama dengan yang aku miliki. "Rumahku di kampung jauh lebih kecil dari ini, Non. Kamar aja hanya ada dua, kamar mandi tentunya ada satu di luar. Eh kok AC, bisa pakai kipas angin aja syukur-syukur, Non," ujar Mbak Rohmah memberikan kaosnya. Aku menerima kaosnya, lalu pergi ke kamar mandi. Aku mengganti pakaian atasanku aja, tanpa perlu mengganti celanaku. Setelah itu aku bergegas mengepang rambutku seperti yang aku lakukan saat sekolahan, tak lupa aku mengenakan kacamata. Bersambung ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD