Empat

954 Words
Aryo tak berhenti melihat ke ujung jalan, azan Maghrib sudah selesai lima belas menit yang lalu, namun Sri belum juga pulang. Aryo akhirnya memutuskan keluar dari pondok, menyusul istrinya sampai jalan besar, melewati pematang sawah yang diterangi oleh lampu pijar yang di gantung di atas tiang bambu untuk menerangi jalan. Tidak jauh, kira-kira seratus meter dia sudah sampai di jalan desa. Deru motor mengalihkan perhatian Aryo, tidak salah lagi, itu motor Yayuk dan dibelakang gadis itu adalah istrinya. Motor berhenti tepat di depan Aryo. Mata Aryo terlihat membelalak, rahangnya mengeras. "Makasih ya, Yuk. Aku cukup senang hari ini." Sri turun dari motor Yayuk, agak kewalahan membawa barang belanjaan di tangannya. Yayuk mengangguk, dan melirik Aryo sekilas. "Mas?" "Kenapa rambutmu, Dek?" Sri agak tergagap, dia meraba rambutnya. Memang, sepulang bekerja mereka singgah ke salon, Yayuk mengatakan kalau rambut Sri tak bermodel, jadi dia menyarankan Sri untuk memotongnya dan langsung di iyakan oleh Sri. "Oh, aku memotongnya, Mas." "Kenapa kau tak bilang dulu pada Mas?" Jujur merasa kehilangan, rambut panjang Sri adalah salah satu yang paling disukainya dari istrinya itu. "Nanti aja aku jelaskan ya, Mas. Aku capek." Sri berjalan mendahului Aryo yang masih menampilkan wajah tidak puas. Sesampai di pondok, Sri langsung membuka tudung saji. Dia bernafas lega, ada nasi dan lauk serta sayur yang masih hangat di sana. Aryo hanya diam menunggu istrinya itu menyelesaikan makan malamnya. Setelah selesai, Aryo mendekati Sri, dia ingin berbicara serius dengan istrinya itu. "Dek," "Hmmm?" Sri menjawab pelan, matanya terlihat mengantuk. "Seminggu ini, mas lihat kau terlalu banyak berubah." "Perubahan dibutuhkan, Mas. Begitu kata Yayuk. Oh ya! Tadi Yayuk sempat membawaku mampir ke toko baju." "Uang dari mana?" "Yayuk yang pinjamkan. Boleh dibayar pas gajian." Sri tersenyum semangat. Dia mengeluarkan gaun bewarna biru muda dari kantong belanjaannya. "Cantik kan, Mas?" Sri menunjukkan gaun biru itu. "Cantik, tapi apa nggak terlalu terbuka, Dek? Mas lihat, nggak ada lengannya." "Ini masih sopan, Mas. Besok malam kami ada acara perusahaan, jadi semua karyawan wanita wajib pakai gaun." "Besok malam?" "Iya." Sri mengangguk semangat. "Artinya kau takkan pulang?" "Acaranya diadakan di hotel, Mas. Dan kami langsung menginap di sana." "Tapi, Dek. Mas tidak izinkan kamu nginap di sana." "Mas," Sri mulai menunjukkan wajah serius. "Mas sudah mengizinkan aku untuk bekerja, artinya Mas juga harus siap dengan segala kewajiban yang dilimpahkan kepadaku. Termasuk mengikuti acara perusahaan." "Tapi, kau wanita bersuami, mana mungkin kau meninggalkan suamimu di rumah sendiri." "Mas, hanya satu malam. Ini pun sekali setahun. Tolonglah, Mas. Mengertilah." Sri menggenggam tangan Aryo. Mau tak mau, laki-laki itu hanya mengangguk walau terpaksa. "Entah kenapa, Mas lebih suka kau menjadi ibu rumah tangga, setiap saat kita bertemu." "Kita sudah bicarakan ini, Mas. Kita takkan maju kalau hanya bergantung pada belas kasih orang lain." "Maafkan mas, Dek. Jika kau menderita selama ini karena hidup kita yang miskin." Sri tersenyum, menyandarkan kepalanya pada d**a bidang suaminya. "Jangan bicara begitu lagi, Mas. Aku bahagia dengan Mas." "Sykurlah, Dek." Aryo membalas pelukan Sri. Tapi, di sudut hatinya yang paling dalam, ada kegelisahan yang tak bisa dijelaskan oleh Aryo. Entah apa. *** Sri berjalan tidak percaya diri di antara kerumunan tamu undangan yang hadir di pesta ulang tahun perusahaan itu. Jujur, ini lah pertama kalinya dia pergi ke pesta yang begitu modern dan sangat berkelas. Dia sampai tak bisa menutup mulutnya melihat dekorasi yang di tata begitu apik dan indah. Sri tersadar saat sikutnya di senggol Yayuk. Yayuk yang malam ini begitu cantik dan elegan. "Ada Pak Bos." Yayuk merelakan senyum namun, Novan malah terpaku pada gadis yang bergerak canggung di samping Yayuk. Malam ini wanita itu sangat cantik, bahkan Novan mengabaikan panggilan Laura yang selama ini berusaha merebut perhatiannya. "Malam, Pak!" Yayuk mengangguk berlebihan, sedangkan Sri hanya tersenyum hormat sekedarnya. "Malam." Mata Novan melirik ke arah Sri. "Silahkan nikmati pestanya." "Oh, terimakasih, Pak." Yayuk mengangguk lagi. Sedangkan Sri malah asik menatap kolam renang yang memantulkan indahnya lampu warna-warni. "Sri Rahayu?" "Oh, iya, saya, Pak." "Bisa ikut saya sebentar?" Sri mengerjap, dia melirik Yayuk untuk minta pendapat. Yayuk malah mendorongnya, terlihat memberikan dukungan. "Ehm, saya," "Saya tunggu di taman hotel." Novan berlalu begitu saja. "Pergi sana!" Yayuk menyemangati Sri. "Mana tau kamu langsung naik jabatan." "Ah! Nggak mungkin kerja baru seminggu langsung naik jabatan." "Itu makanya, temui aja dulu." Sri hanya pasrah, tak ada pilihan lain selain mengikuti Novan dari belakang. Beberapa orang menatap Sri ingin tau sejak Novan sengaja mendekatinya. Sri akhirnya sampai di tempat yang dimaksud. Novan tersenyum hangat, lalu menepuk kursi yang dicat dari besi yang di ukir begitu cantik dan dilapisi cat putih. "Duduk!" "Saya," Sri menggigit bibirnya sendiri, rasanya begitu canggung. "Jangan terlalu kaku, saya hanya ingin berbincang dan mengenalmu lebih jauh, ini bukan urusan kantor, jadi, santai saja. Oke?" Novan kembali tersenyum ramah. Mau tak mau Sri meletakkan bokongnya duduk di samping laki-laki itu. Novan semakin takjub, wanita ini bahkan seribu lebih cantik jika dilihat dari dekat. "Sri Rahayu," "Panggil Sri aja, Pak." "Hmm, Sri." Novan mengutuk dirinya yang kehilangan kosa kata di dekat wanita itu. "Ya, Pak." Sri menunduk meremas jemarinya canggung. "Kamu berasal dari mana?" "Oh, saya tak jauh dari sini, Pak. Tetanggaan sama Yayuk." "Oo, pantas saja kalian selalu pergi dan pulang bareng." Sri mengangguk. "Oh ya, saya ada sesuatu." Novan mengeluarkan kotak kecil dari balik jasnya. "Ini, untuk kamu." Novan menyodorkan kotak kecil itu pada Sri dan dilihat wanita itu dengan binggung. "Apa ini, Pak?" "Anggap saja hadiah." Novan tersenyum lagi. "Hadiah? Tapi saya?" "Kata supervisor kamu, selama seminggu ini kamu berhasil menjadi karyawan terbaik." Novan mencari alasan, yang jelas mengada-ada. "Saya," "Buka saja dulu!" Sri hanya menuruti, saat membuka kotak kecil itu, dia hanya bisa menganga, sebuah kalung, cantik, sangat cantik, memiliki liontin bermata biru muda. "Sini! Saya pakaikan." Dan bodohnya, Sri hanya bisa pasrah tanpa menolak. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD