PROLOG

1200 Words
Lara yakin sudah menyembunyikan pot bunga terakhir di rumah itu. Tapi tetap terdengar suara pecahannya tepat di depan pintunya. Mengiris tajam indra pendengarannya dan menggelapkan matanya. Lara yakin bunga terakhir yang ditanam ibunya adalah bunga mawar. Dengan batang yang sudah besar dan duri yang sangat tajam. Bunga itu ditanam ibunya dua bulan yang lalu - dan Lara yakin, ibunya tak akan menyangka bunga itu kini menjadi senjata ayahnya untuk melukainya. "Kak, aku takut..." lirih anak kecil di depan Lara. Lara membalik buku bacaannya. Buku yang ia pinjam dari satu-satunya gereja di dekat rumahnya dan harus ia kembalikan besok. Lara harus tidur sebelum tengah malam, itu artinya ia harus cepat menyelesaikan buku itu. Tapi sekuat apapun ia membaca, yang terdengar di telinganya hanyalah suara tangis ibunya di luar. "Cepat keluar dari sini! Kau tak pantas menyebut dirimu sebagai Ayah! Jangan pernah datang ke rumah ini, b******n!" "b******n?! Kau menyebutku b******n?! Dasar wanita, Jalang!" Terdengar suara pecahan lagi. Entah apa yang kali ini yang ayahnya pecahkan. Lara hanya berharap bukan akuarium kecilnya ataupun kotak musik yang ia temukan di jalan kemarin. Itu satu-satunya barang milik Lara yang tersisa di rumah itu. "Beraninya kau memanggilku b******n, Jalang! Kau wanita Jalang yang tak tahu diri! Ini rumahku! Tidak ada yang berhak mengusirku!" Pintu kamarnya terbuat dari kaca yang sudah menghitam, jadi Lara bisa melihat bayangan ibunya dari samping. Rambut wanita itu berantakan dan wajahnya penuh keringat dingin. Sepertinya hari ini, ayahnya tidak akan pergi sebelum mendapatkan uang dari ibunya. "Kalau begitu, biarkan aku dan anak-anak pergi! Aku akan pergi dari sini! Biarkan aku dan anak-anak pergi! Aku tidak akan membawa apapun, aku juga tidak ingin apapun. Hanya saja, lepaskan kami. Biarkan aku pergi, Marlin! Aku mohon..." Buku yang ia pegang berkerut karena Lara menggenggamnya terlalu kuat. Lara melihat pria yang selalu menjadi mimpi buruknya itu tengah melempar akuarium kecil milik Lara ke arah ibunya. Lara menarik anak kecil di depannya ketika dengan penuh air mata - anak kecil itu membekap mulutnya sendiri. Ibunya meminta mereka tidak bersuara ketika ayah mereka pulang. Karena itu, Lara selalu membekap mulut adiknya dengan sepotong kain jika adiknya itu menangis. Tapi seiring berjalannya waktu, adiknya menutup mulutnya sendiri. Seperti tahu jika menangis, ia harus melakukan itu. "Tak apa. Sebentar lagi Ayah akan pergi. Tidak apa," kata Lara sambil memeluk adiknya. Pertama kali Lara melihat ayahnya menyakiti ibunya, anak itu menangis dengan keras. Berlari menahan ayahnya dan seketika, pria itu menampar Lara. Membuat anak kecil itu menangis sesenggukan dan tangannya terkilir karena jatuh. Ibunya dengan panik membawa Lara ke rumah sakit. Lara sadar di rumah sakit dan ibunya menjadi orang pertama yang ia lihat. "Lain kali, jangan melakukan apapun ketika ayahmu datang! Jangan melakukan apapun! Jangan menangis! Jangan bersuara! Jangan bergerak! Dan jika perlu - jangan bernapas! Kau paham, Lara?" Lara tak mengerti. Ia hanya anak berusia enam tahun yang tak tahu apapun. Anak kecil yang bahunya terbungkus perban dan rasanya sangat menyakitkan hingga ia ingin berteriak. Tapi ibunya seakan tak melihat itu dan menamparnya dengan kuat. "Katakan kau mengerti!" Lara mengangguk. Air matanya turun dengan keras. Melihat ranjang di kanan kirinya yang kosong. Kalau ada orang di kiri kanannya, ibunya tidak akan menamparnya seperti itu, kan? Apakah ibunya juga mulai gila seperti ayahnya? "Jangan menangis! Sudah kubilang jangan menangis! Karena hanya dengan begitu - kau, aku, dan adikmu bisa hidup! Hanya dengan begitu, aku bisa membunuh ayahmu suatu saat nanti!" Lara tak mendengar ucapan terakhir ibunya, karena suara tangisnya lebih keras. Sejak dari rumah sakit itu, Lara menuruti perkataan ibunya tanpa bertanya lagi. Jika ayahnya pulang, Lara segera menarik adiknya masuk ke kamar, mengunci kamarnya, dan menutupi telinganya dengan bantal- yang hanya meredam suara tangisan ibunya, tapi bukan teriakan ayahnya. Lalu setelah bertahun-tahun, akhirnya Lara mulai terbiasa dengan semua itu. Lara tak membutuhkan bantal lagi. Lara hanya mendengarkannya - satu persatu teriakan ayahnya dan Lara melihatnya - satu persatu air mata yang keluar dari mata ibunya. Ketakutannya menjadi sebuah kebiasan. Dan kebiasaan itu menjelma menjadi mimpi buruk bagi Lara. Setiap malam, Lara hanya melihat kamar di seberang kamar kecil mereka. Kamar miliki keluarga lain yang satu gedung dengan mereka. Tepat pukul delapan malam, pintu kamar itu selalu terbuka. "Ayah pulang membawa apel," teriak seorang pria paruh baya yang menyerupai ayah Lara. Lalu seperti adegan film yang ia lihat dari lubang kecil di jendelanya, seorang anak kecil seusianya memeluk erat ayahnya. Begitu juga ibunya yang cantik - lari dari dapur untuk menyambut pria itu. Pria yang menyerupai ayah Lara - tapi bukan. Karena Lara tahu, Ayahnya bukanlah manusia - ia hanya iblis yang menyerupai manusia. "Kau tahu apa keinginan Kakak, Ran? Kakak tidak akan menjadi seperti ibumu. Kakak tidak akan bertemu pria iblis seperti ayahmu! Kakak akan menikah dengan pria seperti ayah tetangga itu - seorang pria yang membawa apel, dan memeluk anak dan istrinya ketika pulang bekerja. Itulah keinginan Kakak," kata Lara pada adiknya yang masih kecil. Lara menyimpan erat keinginannya itu - bersama mimpi buruknya yang dipenuhi wajah ayahnya. Hingga mereka berhasil keluar dari rumah kecil itu dan kabur dari pria itu. Malam itu, mereka berjalan kaki, menaiki bus, lalu kereta, hingga kapal - tak tahu kemana mereka akan pergi. Dengan tatapan ibunya yang mulai berubah dan tangis adiknya yang tak kunjung berhenti - Lara hanya diam. Menikmati perjalanan pertamanya - yang terasa menyenangkan. Lara mulai berpikir keinginannya itu akan terwujud. Semakin jauh mereka pergi, Lara semakin tenang. Semakin dekat perempuan itu pada angan-angannya - untuk menemukan laki-laki yang tak seperti ayahnya. Mencari kehidupan baru dan hidup - tak seperti ibunya. Lara yang seumur hidup tak pernah membiarkan laki-laki masuk ke hidupnya - tak bisa lari dari iblis yang kini tengah mengikat pergelangan kakinya. Iblis tampan yang anehnya bisa menghapus mimpi buruknya, tapi menggantinya dengan mimpi buruk yang lain. Mimpi buruk bahwa Lara mencintai pria yang seperti ayahnya itu - dan ia tahu tak seperti ibunya, Lara tak akan bebas sampai kapanpun. Karena Lara bahkan tak bisa menyakiti pria itu seperti yang ibunya lakukan pada ayahnya - barang sedikit pun. "Kalau kau pergi meninggalkanku, aku hanya perlu mengikat pergelangan tanganmu, pergelangan kakimu, mengurungmu di kamar ini. Dan jika kamu tetap pergi - aku akan mematahkan kakimu hingga kau tak bisa berjalan, memotong pita suaramu, membuatmu tidak bisa bersuara hingga tak ada yang mendengarmu. Dan jika kamu tetap pergi, aku akan membunuh semua orang yang kau kenal - keluargamu, temanmu, musuhmu, siapapun itu. Aku akan membakar semua tempat yang kau kunjungi, aku akan membuat seluruh dunia membencimu hingga tidak ada tempat lagi untukmu selain di sisiku. Dan jika kamu tetap pergi, Lara --" Lara memotong laki-laki di depannya. "Kau akan membunuhku?" "Jika kau tetap pergi dariku setelah semua itu, aku akan membunuhmu dan aku akan membunuh diriku sendiri setelahnya. Itulah yang akan kulakukan dan aku tidak bercanda sekarang." Lara tahu. Laki-laki itu tak pernah bercanda. Karena itulah, perempuan itu mundur saat laki-laki di depannya mendekatinya. Seperti respon otomatis saat seekor binatang buas memburu manusia lemah sepertinya. Mundur, tapi tak pernah bisa benar-benar menjauh. Karena bagi Lara - laki-laki itu adalah orang yang ia takuti, sekaligus orang yang ia cintai untuk pertama kalinya. Kedua perasaan itu sama-sama kuat, hingga Lara tak bisa tak bisa bernapas dengan benar di depan laki-laki itu. Di depan iblis yang ia cintai - Damian Lavingston.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD