*******************
Sienna membuka pintu kulkas berlapis stainless steel itu. Dinginnya menusuk, seolah kulkas itu jarang dibuka. Ia tersenyum getir, melihat botol-botol wine mahal dan saus kemasan mendominasi, seperti isi hati pemiliknya.
Namun, di rak terbawah, ia menemukan harta karun: sekeranjang telur cokelat dan seikat brokoli hijau tua yang segar—bekas peninggalan Aunty Celine.
"Kamu mau ngapain?" Suara SAMUEL datang dari belakangnya, datar dan penuh curiga.
"Masak. Aku bosan makan pizza basi. Sudah tiga hari, Sam," jawab Sienna tanpa menoleh. Ia mengambil tiga butir telur, brokoli yang masih embun, dan sedikit seledri.
Ah, Cheline pasti yang mengisinya kemarin. Samuel tidak berkomentar lagi, hanya mengamati Sienna yang mulai bekerja di meja pantry marmer. Dapur high-end itu tampak hidup, sesuatu yang jarang terjadi.
Di meja makan, Nick menarik ujung kemeja Samuel.
"Dady, aunty namanya siapa?" Nick mendesak. Ia mendengar suara pisau yang cepat, suara familiar saat seseorang membuatkannya makanan enak.
Samuel menyendokkan pizza yang sudah dingin. Nick menggeleng, matanya terfokus pada punggung Sienna..
"Namanya siapa, Dady?"
"Dady juga nggak tahu. Dia teman Dady," Samuel berbohong lagi. Ia sendiri bingung mengapa harus menyembunyikan identitas Sienna dari putranya. Mungkin karena ia tidak ingin Nick terikat pada orang yang akan segera pergi.
Nick terdiam, kebingungan kecil membebani bahu kecilnya. Ayahnya berbohong. Tadi Tante, sekarang teman. Ia memilih untuk diam dan mengamati.
Penyajian yang Mencurigakan
Tak lama kemudian, aroma gurih dan hangat memenuhi ruangan. Sienna membawa dua piring berisi Omelet Brokoli Hijau yang tebal.
Kontras warna yang segar itu membuat suasana ruang makan menjadi lebih hidup.
Samuel menatap omelet itu. Sederhana, namun tampilannya terasa tulus. Ada rasa hangat yang tidak pernah diberikan pizza dingin.
"Kenapa cuma buat dua?" tanyanya.
"Kan aku nggak suka brokoli," Sienna menyeka tangan.
"Lagipula aku sudah kenyang. Aku nggak akan ikut-ikutan makan sayur kalau aku nggak mau."
Samuel mengernyit. Ia menatap omelet itu lagi, lalu ke Sienna. Keraguan muncul, bukan karena rasa, tapi karena kebiasaan. Sienna, memasak untuknya? Ini terasa seperti jebakan.
"Nick, do you want to try eating it?
"What?" Nick tertarik pada warna hijau mencolok itu.
Samuel menusukkan garpunya sangat pelan ke permukaan omelet. Gerakan itu terasa lama, menguji elastisitasnya.
Sienna meremas tisu di tangannya. Sikap Samuel jelas meremehkan.
"Hm... semacam omelet, tapi... hijau," ujar Samuel, nadanya berlebihan.
"I wanna try, Dady!" pekik Nick, bersemangat.
Samuel menatap Sienna, matanya menyipit penuh selidik.
"Kamu nggak kasih apa-apa, 'kan? Jujur."
Sienna tertawa dingin, tawa yang menusuk.
"Apa? Kamu pikir ini adegan film thriller? Emangnya di rumahmu ada Sianida, ada racun tikus, hah?" Ia meninggikan suaranya, berdiri tegak.
"Aku cuma buat sarapan sehat. Kalian perlu vitamin! Aku ini ibu-ibu, bukan pembunuh bayaran!"
"Bukan itu maksudku, Sienna," Samuel tetap tenang, tapi tegas.
"Aku hanya meragukan keahlianmu. Kamu terakhir masak kapan?"
"Setahun lalu! Kenapa? Apa kamu pikir telur dadar pun bisa aku racuni? Astaga, Samuel!" Sienna frustrasi.
"Kalau begitu, buktikan. Coba dulu," Samuel menyodorkan garpu dengan sepotong omelet ke bibir Sienna.
Sienna langsung menolak, menjauhkan
kepalanya.
"Oh, please, Sam. No. Aku benci brokoli! Aku paling jijik sama sayuran hijau ini. Kamu tahu itu!" Ia meringis melihat potongan brokoli.
Samuel menarik garpunya, seringai tipis muncul.
"Itu dia. Kalau kamu yakin masakanmu aman, kenapa kamu takut makan? Kalau kamu nggak mau makan, berarti..."
"Enggak ada, Samuel! Aku nggak kasih apa-apa, serius!" Sienna hampir merengek, wajahnya memerah karena kesal dan marah.
"Aku cuma pakai brokoli, telur, sedikit seledri, dan garam. Garamnya juga sisa dua sendok teh! Di mana aku bisa dapat racun?!"
"Ya makanya coba! Satu suap. Biar aku percaya," desak Samuel. Ia perlu melihat bukti nyata.
"Enggak Sam. Please, oke..."
Samuel mengangkat piring Nick, bersiap menuju tempat sampah.
"Kalau begitu, buang saja."
Sienna memekik.
"Tunggu! Jangan buang!" Ia berdecak sebal. Ia tidak rela karyanya, meskipun hanya omelet, berakhir mengenaskan di tempat sampah.
Ia maju, wajahnya tertekuk antara jijik dan marah, lalu dengan mata terpejam dan napas tertahan, ia menyambar omelet di garpu Samuel.
Tawa yang Membawa Penyesalan
"Hahaha!"
Tawa NICK meledak, tawa yang paling lepas dan tanpa beban yang pernah Samuel dengar dalam waktu yang lama. Nick tertawa melihat wajah Sienna yang menderita saat makan.
Samuel menoleh, hatinya mencelos. Ia tidak pernah melihat putranya sebahagia ini, hanya karena perdebatan konyol.
Mungkin memang benar yang dikatakan Celine... Nick membutuhkan sosok ibu.
Ibu yang bisa membawa keceriaan. Ibu yang menemaninya saat ia sibuk. Samuel membandingkan Celine dan Sienna. Celine hangat, tapi kadang terlalu manja. Sienna dingin, tapi bisa membawa energi yang tak terduga ke rumah.
Mungkin memang bukan Celine yang Nick butuhkan. Samuel menepis pikiran itu cepat-cepat.
Sienna mengunyah omeletnya secepat kilat. Ia menelannya bulat-bulat, takut jika ia mengunyah brokoli itu, ia akan muntah.
"Cepat makan!" katanya, suaranya sedikit serak karena menahan mual.
"Ini aku sudah makan. See... nggak ada racunnya, kan? Cepat habiskan!"
Samuel mulai menyantap. Rasanya sungguh enak. Ia melahap omeletnya tanpa suara.
Sienna menatapnya, lalu beralih ke Nick. Bocah itu masih tersenyum kecil, menatap lurus ke depan seolah menunggu sesuatu. Ia mengabaikan piringnya, hanya menikmati
drama.
"Itu dia nunggu kamu suapin!" sindir Sienna,
"Nggak perhatian banget sih! Coba deh, lihat. Dia nunggu suapanmu, bukan pizza-mu!"
Samuel tersentak. Ia menyodorkan omelet ke bibir Nick, tetapi putranya menggeleng.
"Aku mau makan sendiri, Dady," ujar Nick.
"Tidak. Kamu tidak bisa memotongnya. Dady tidak mau ada drama hari ini," tolak Samuel. Ia berusaha memasukkan potongan omelet, tetapi Nick mengatupkan bibirnya rapat-rapat.
Samuel tahu, penolakan ini akan berujung pada tangisan.
Samuel memijat pelipisnya. Ia tidak mau bertengkar dengan Nick. Ia menatap Sienna.
"Huhhp... bagaimana kalau disuapi Aunty? Mau?"
Sienna terperangah."What...? Tentu saja tidak! Aku sudah memasak! Aku nggak mau tanganku bau brokoli lagi!"
"Nick, mau disuapi Aunty?" Samuel mengabaikan Sienna.
Nick menatap Sienna. Aunty yang galak itu baru saja membuat Dady-nya tertawa, dan Dady-nya menyerah. Nick mengangguk kecil, senyumnya kembali merekah.
"Iya, mau!"
Sienna melongo. Ia kalah telak.
"Baiklah. Suapi dia," Samuel memberi perintah, nadanya kembali menjadi seorang bos.
"Aku bukan babysitternya, Sam!"
"Kamu yang memasak. Dan aku tidak mau dia rewel di pagi hari. Suapi dia, Sienna."
Sienna mendengus kesal. Ia terpaksa duduk di samping Nick, mengambil garpu kecil di tangan Nick, dan mulai memotong omelet hijau itu dengan kasar.
To be continue....