Episode 3 : Oren Jus

1783 Words
Ruang kerja Azura berada tepat di depan ruang kerja Danian. Bedanya, ketika ruang kerja Danian berupa ruangan luas yang dinding sebelah ruang kerja Azura berupa hamparan kaca tebal sekaligus anti peluru hingga Danian bisa mengontrol apa yang Azura lakukan dari dalam ruangannya dengan leluasa, ruang kerja Azura hanya berupa meja konter. Sebuah minuman berwarna oren ada di meja kerja Azura. Ada satu gelas berkaki panjang yang terisi nyaris penuh, bersanding dengan teko kaca terbilang cukup tinggi. Tanpa pikir panjang, Azura menyambar gelas tersebut bahkan menenggak isinya hingga habis. “Ini namanya rezeki. Rezeki orang yang hidupnya selalu dihina!” gerutu Azura dalam hatinya. Kesal bahkan dendam rasanya jika ia ingat perbincangan Loly dengan Sendar. “Kamu sudah datang?” Suara Danian terdengar dari belakang Azura yang memang membelakangi keberadaan ruang kerja Danian. Azura langsung mengerjap tegang, sedangkan bibir tipisnya yang masih basah dengan rasa oren jus yang baru saja diminum, refleks mengerucut. Sebelum menjawab, Azura sengaja berdeham. Mengingat sebelumnya, perbedaan suaranya sempat dipermasalahkan oleh Danian. “Iya, Pak.” “Ya sudah. Sebelum kamu mengantarkan berkas-berkas yang saya minta, antarkan minuman di mejamu ke kamar saya!” tegas Danian lagi dan bisa Azura pastikan, pria itu berteriak dari bibir pintu. Jarak mereka tak kurang dari tiga meter! Namun, bukan semua itu yang Azura khawatirkan. Melainkan minuman yang nyatanya harus diantar ke kamar Danian, tapi justru sudah Azura tandaskan. “Sudah, Ra. Jalan saja. Mumpung Danian belum lihat gelasnya kosong! Gampang nanti diisi lagi kalau sudah sampai kamar Danian!” batin Azura menyemangati dirinya sendiri. Dengan tangan bahkan tubuh gemetaran, di mana Azura juga sampai menahan napas saking tegangnya, Azura memboyong nampan berisi satu poci oren jus yang bersanding dengan gelas kosong karena isinya sudah Azura tandaskan. Sebisa mungkin, Azura yang bahkan belum menurunkan tote bag dari pundak kanannya, memboyong nampan sambil terus menghindari pantauan Danian. “Taruh gelasnya di sebelah piring berisi salad. Di meja sebelum tempat tidur, terus pocinya ditaruh di tengah meja dekat lilin!” seru Danian masih dari bibir pintu dengan salah satu tangannya yang menahan knop pintu. “Siap, Pak!” jawab Azura yang dalam hatinya kemudian berkata, “Sudah, Pak, masuk ruang kerja saja biar Pak Danian enggak lihat gelasnya! Ya Alloh, … jantungku nyaris copot gara-gara asal minum minuman orang!” **** Di hotel tempat Azura bekerja, Danian memang memiliki kamar pribadi. Kamar yang bahkan kerap menjadi tempat tinggal Danian ketika pria berberewok tipis itu tidak sempat pulang, atau memang memiliki kepentingan khusus yang membuat Danian lebih memilih tinggal di hotel ketimbang pulang. Kamar Danian ada di lantai paling atas, tepat di atas lantai keberadaan ruang kerja para karyawan penting, termasuk ruang kerja Danian maupun Azura. Di kamar Danian, di meja bersantai sebelum tempat tidur, sudah dipenuhi sajian internasional berhias rangkaian lilin yang belum dinyalakan. Bisa Azura pastikan, semua itu akan menjadi bagian dari makan malam romantis antara Danian dan Velery sang kekasih. Terlebih dulu, Azura memastikan gelas bekasnya minum, tidak sampai ternoda akibat bibirnya. Azura mengelap gelas bagian atas tersebut menggunakan tisu kering yang juga sudah tersedia di meja menemani hidangan. “Danian mana?” Suara wanita yang terdengar agak berat cenderung malas, sukses mengejutkan Azura bertepatan dengan Azura yang menaruh poci oren jus sesaat setelah mengisinya ke gelas. Dan kembali, Azura refleks menahan napas. “Pak Danian masih ada di ruang kerjanya, Non.” Azura menjawab sesaat setelah melipir, sambil menunduk sekaligus membungkuk sopan. Ia mendekap erat nampannya di depan perutnya. Velery refleks menelan salivanya sambil menatap malas wanita di hadapannya dan tinggi tubuhnya jauh lebih pendek dari Velery. “Ya sudah. Bilang ke dia, suruh cepat soalnya aku enggak punya banyak waktu.” “Siap, Non!” Azura sedikit mengangkat tatapannya untuk melirik Velery. Hanya sebatas itu, lantaran ia tak punya nyali untuk melakukan lebih. Azura dapati, kaki jenjang Velery yang terbungkus boots kulit setinggi lutut berwarna hitam. Benar-benar penampilan seorang bintang dan sangat memukau. Belum lagi, aroma tubuh Velery yang diselimuti parfum super wangi, dirasa Azura sampai menempel ke tubuh Azura, hanya karena mereka berdiri di ruangan yang sama. “Pantas saja Pak Danian klepek-klepek dan enggak mau berpaling dari Velery. Normal!” batin Azura. Jangan tanyakan seperti apa sosok Velery selaku kekasih Danian. Sebab di mata semua orang apalagi Azura yang sangat mengidamkan memiliki fisik sempurna, Velery yang merupakan artis TOP di negara mereka, memiliki fisik sempurna. Dan meski tubuh Veleri kelewat semampai, Velery memiliki pinggul bak gitar Spanyol dilengkapi dengan d**a yang ‘indah’ jauh dari kata ‘rata’. Begitulah selera Danian; sangat tinggi, sempurna. *** Setelah kembali ke ruang kerja, Azura segera mengetuk pintu Danian. Di sana, Danian baru saja meninggalkan kursi kerjanya. Tanpa menjawab, Danian yang memiliki tatapan berikut wajah kelewat tegas, langsung menatap Azura dengan serius. Kenyataan tersebut membuat Azura sadar, Danian langsung menunggu maksud sekaligus tujuan kedatangannya. “Pak, Nona Velery sudah menunggu di kamar.” “Dia sudah datang?” “I-ya, Pak.” Azura menjawab sambil refleks mengangguk. “Kenapa kamu baru bilang?” Tak hanya suara Danian yang terdengar ketus sekaligus kesal, sebab tatapan pria itu juga mengalami hal serupa. Seajaib itu memang seorang Danian yang baru saja berlalu dengan salah satu lengan sampai menabrak pundak Azura. Sudah tahu, Azura baru datang, masih saja mempermasalahkan kinerja Azura yang sebisa mungkin selalu bekerja dengan cepat. Anehnya, kenapa Velery langsung ke kamar, tidak mampir ke ruang kerja Danian lebih dulu, layaknya biasa? Azura melepas punggung kokoh Danian yang kali ini disempurnakan dengan setelan jas warna abu-abu. “Jadi bawahan memang selalu salah.” Azura refleks menghela napas. Ia menunduk pasrah dan refleks tersentak lantaran teringat alasannya kembali ke perusahaan. “Terus, laporannya gimana? Berkas-berkas yang harus aku serahkan ke Pak Danian, langsung ditaruh di meja kerja Pak Danian, apa harus bagaimana? Kalau langsung ditaruh, nanti kalau ada yang salah, ujung-ujungnya aku harus balik ke sini. Tapi kalau menunggu, … lha, aku saja enggak tahu acara Pak Danian beres kapan? Iya kalau cukup satu atau dua jam, kalau seperti biasa, besoknya baru pada keluar dari kamar? Ya Alloh ya Robbi ….” Merasa serba salah, Azura yang menjadi lemas karena pasrah, melangkah sempoyongan dan memilih duduk di kursi kerjanya. Setengah jengkel, Azura meletakan tas kerjanya di pangkuan. Rasa lelah berikut sedih membuat Azura kembali menangis. Kenyataan tersebut terjadi akibat kata-kata Sendar dan Loly, kembali terputar di ingatannya. Menyakitkan, tapi lagi-lagi, Azura berusaha tegar. Benar-benar hanya itu yang bisa Azura lakukan, meski sesekali, air matanya juga kerap berlinang. Azura menyeka tuntas air matanya menggunakan kedua jemari tangannya. Namun dirasanya, ia mendadak merasa sangat letih bahkan gerah, padahal jelas, AC di ruangannya menyala. “Sejak kapan aku rakus ke AC, padahal tiap pulang saja, aku wajib kerokan?” gumam Azura sembari meraih remote AC di meja kerjanya. Ia sengaja membuat AC di tembok atas hadapannya, menjadi paling dingin. Anehnya, usaha Azura tetap membuat wanita itu merasa kepanasan. Azura sampai membuka dua kancing di bawah kerah kemeja lengan panjang warna putih yang dikenakan. Dan dikarenakan keringatnya terus mengucur, Azura juga sampai menyekanya menggunakan tisu yang tersedia di konter meja kerjanya. *** Danian tersenyum bahagia ketika mendapati Velery berangsur melepas jaket bulu warna putih yang sempat membuat penampilan wanita cantik nan seksi itu semakin sempurna. “Akhirnya, rencanaku berhasil,” batinnya ketika mendapati gelas berisi oren jus telah kosong. “Sori, Vel. Aku enggak punya pilihan lain selain main curang dan kasih kamu obat perangsang, biar kamu enggak terus menghindari pernikahan kita. Malam ini juga, aku pastikan, kita akan punya anak. Kita hidup bahagia dan kamu hanya akan fokus dengan keluarga kita,” batin Danian yang langsung mendekap mesra Velery seiring senyum di wajahnya yang semakin mengembang. “Please, deh, Dan. Aku tuh gerah … capek. Lepas ih ….” Ketika hampir semua wanita yang mengenal Danian begitu mengharapkan Danian bahkan meski untuk hubungan tanpa status, tidak dengan Velery yang lebih sering menghindar, dan tak jarang mengabaikan layaknya sekarang. Namun, sebelum benar-benar melepaskan Velery, Danian sengaja mengendus dalam kepala calon istrinya itu, yang memiliki aroma khas dan selalu membuatnya rindu, tak ubahnya candu. “Kamu gerah?” tanya Danian sambil menatap Velery penuh kepastian. Kedua tangannya yang awalnya mendekap sang pujaan hati, kini sibuk membelai kepala berikut wajah oval Velery yang kadang ia bingkai. Bisa ia pastikan, obat yang telah ia taruh di segelas oren jus Velery, mulai bereaksi jika wanita itu sampai kegerahan layaknya sekarang. Velery yang sudah bersedekap, mendengkus kesal dan menepis tatapan Danian dengan lirikan sinis. “Ini sebenarnya ada apa, sih?” keluh Velery. Bagaimanapun cara berikut sikap Velery, Danian telanjur mencintai bahkan tergila-gila kepada wanita di hadapannya. Tak peduli apa pun, bahkan meski sahabat-sahabat Danian meminta Danian mencari wanita yang jauh lebih menghargai Danian. Bukan seperti Velery yang terlihat jelas tidak mencintai Danian. Apalagi semua orang tahu, kepopuleran dan menjadi pusat perhatian dengan sederet pujian, selalu menjadi nomor satu bagi seorang Velery. “Tiga minggu lagi, kita menikah.” “Tapi aku enggak mau nikah, Dan!” “Enggak boleh ngomong gitu! Ayo duduk. Kita makan dulu.” “Aku harus diet. Minum oren jus saja takut bikin kalori tambah. Tadi aku sudah habis segelas.” “Sudah, jangan bahas yang lain. Kita fokus ke kita saja. Aku sudah mengumpulkan beberapa referensi buat bulan madu terbaik. Kamu mau pilih mana saja, terserah. Kamu yang nentuin.” Setelah susah payah membimbing Velery duduk, akhirnya wanita cantik itu duduk hingga Danian juga melakukan hal serupa. Danian yang duduk di kursi tepat di hadapan Velery, terus menanggapi kemarahan sekaligus kemanjaan wanita itu dengan senyum penuh cinta. Senyum khas orang yang sedang kasmaran. Danian sengaja menyalakan lilin-lilin di meja hingga suasana remang kebersamaan mereka menjadi semakin romantis. **** Di luar, Azura sudah mondar-mandir kegerahan. Wajah berikut leher Azura sudah dipenuhi peluh. Sesekali, Azura menatap pintu kamar Danian yang masih kelewat sepi. “Ya Tuhan … aku di sini kayak orang gila bin bloonn, padahal aku enggak tahu apa yang sedang mereka lakukan di dalam?” Azura menatap arloji yang menghiasi tangan kirinya, membuatnya mendapati waktu yang berlangsung sudah nyaris pukul setengah sembilan malam. “Kalau sampai setengah jam lagi tetap enggak ada yang keluar dari kamar, mending aku tinggal,” pikir Azura. Ia memilih melipir ke lorong seberang dan berhenti di tangga darurat. Azura yang masih mendekap tas berikut berkas-berkas yang Danian minta, duduk di sana. Sebab Azura tidak mungkin menunggu Danian tepat di dekat pintu. Tentunya, Azura sengaja mengawasi pintu kamar Danian agar ia tak kecolongan jika seandainya, penghuni di dalamnya keluar. “Ini aku kenapa, sih? Sepertinya hormonku naik drastis. b*******h begini berasa mau mens. Tapi aku baru beres mens dua hari lalu ….” Dalam diamnya, Azura yang merasa tak karuan, semakin bertanya-tanya. Mengenai perubahan dirinya yang menjadi haus sentuhan bahkan belaian. Azura merasa dirinya tidak baik-baik saja dan sebelumnya, Azura belum pernah begitu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD