Pesawat yang membawa Leonor dan Derreck sudah lepas landas sejak beberapa menit yang lalu, tetapi Andrea masih betah memandang ke luar jendela kaca raksasa bandara.
"Kamu masih kau di sini? Kalau iya, saya tinggal. Saya masih ada pekerjaan."
Terdengar sangat tidak berperasaan. Andrea tersenyum kecut dalam hati mendengarnya. Satu minggu usia pernikahannya dan Damian, dia nyaris sudah terbiasa mendengar kalimat-kalimat pedas dan tajam pria itu.
Tanpa menjawab sepatah kata pun, Andrea mengikuti Damian meninggalkan bandara. Kesunyian terus berlanjut di sepanjang perjalanan sampai mereka tiba di rumah. Damian juga tidak berkata apa pun, pria itu langsung memasuki ruang kerja, bahkan tanpa menolah ke arahnya.
Andrea mengabaikan, tak ingin peduli untuk membentengi harinya agar tidak merasakan sakit. Sebenarnya bukan sakit, hanya rasa tidak nyaman saja yang terus bercokol di dadanya.
Rasa sakit hadir bila kita memiliki perasaan lebih terhadap seseorang itu, sementara perasaannya pada Damian masih biasa-biasa saja. Andrea hanya merasa Damian tidak menghargainya sebagai istri dan pernikahan mereka.
"Nyonya Muda, Anda ingin makan siang sekarang? Saya akan menyiapkannya untuk Anda."
Seorang asisten rumah tangga menghampiri Andrea. Perempuan berusia sekitaran awal kepala empat itu menundukkan kepala hormat.
Andrea menggelengkan kepala. Dia masih kenyang, tak ingin memakan apa pun. Yang diinginkannya sekarang hanyalah berbaring dan beristirahat. Dia sangat lelah, tenaganya seakan banyak terkuras, padahal hanya ke bandara saja mengantarkan mertuanya yang kembali ke negara asal mereka.
"Bik Wati, bisa jangan panggil saya kayak gitu, nggak?" punya Andrea. Ini adalah yang kesekian kali dia meminta. Rasanya sangat tidak nyaman mendengar seorang yang berusia lebih tua darinya memperlakukan dirinya seperti itu.
Untuk yang satu ini, Andrea tidak akan pernah terbiasa. Mereka —para pelayan, menurutnya, memperlakukannya terlalu berlebihan. Mereka juga memanggilnya dengan sebutan nyonya yang —lagi-lagi— menurutnya, sangat tidak pantas untuknya.
Mereka berusia jauh di atasnya, tidak perlu menghormati dan memanggilnya dengan sebutan itu. Cukup memanggil namanya saja, atau jika masih merasa kurang nyaman memanggil nama, mereka bisa memanggilnya dengan menggunakan kata Mbak.
Andrea sudah beberapa kali meminta untuk dipanggil Mbak saja, tetapi mereka menolaknya dengan alasan tidak berani membantah tuan dan nyonya rumah. Sekarang, Leonor dan Derreck susah kembali ke negara mereka, dan para pelayan di mansion ini masih memanggilnya dengan sebutan itu yang membuatnya sangat tidak nyaman.
"Panggil nama saya aja nggak apa-apa, kok."
"Nggak berani, Nyonya Muda!" Bik Wati menggeleng cepat. Kedua tangannya mengibas sama cepat. "Nyonya itu istri Tuan Muda Damian, udah sepantasnya dipanggil nyonya muda,x katanya menjelaskan.
Penjelasan yang tidak perlu, sebenarnya, karena Andrea sudah sering mendengarnya. Setiap kali dia meminta para pelayan di mansion ini untuk tidak memanggilnya nyonya muda, mereka pasti akan memberikan penjelasan seperti ini. Dia bahkan sudah hafal dengan setiap katanya.
"Nggak ada orang, Bik, cuma ada kita berdua," kata Andrea menggenggam tangan Bik Wati. "Bibik sama yang lain panggil nama saya aja kalo nggak ada Damian. Kalo di depan dia, baru panggil saya ... nyonya itu."
"Tapi, Nyonya...."
"Nggak ada tapi-tapian lagi!" potong Andrea cepat. Selama satu minggu ini, indra pendengarannya selalu berdengung setiap kali mendengar para pelayan memanggilnya nyonya muda. "Panggil nama saya atau Mbak juga bisa."
"Nggak berani, Nyonya Muda. Nyonya Besar nggak mengizinkan." Bik Wati lagi-lagi menggelengkan kepalanya yang tertunduk.
Andrea mengembuskan napas. Dia tahu siapa itu nyonya besar. Siapa lagi jika bukan Leonor.
Ibu mertuanya adalah seorang Dutchess, wajar jika para pelayan memanggilnya nyonya besar. Namun, panggilan nyonya muda untuknya terdengar sangat lucu karena dia bukan siapa-siapa.
"Ya, udah, gini aja, Bik. Bibik panggil saya Bu Andrea aja, gimana?" Andrea memberikan saran. Dia benar-benar merasa sangat tidak nyaman dengan panggilan nyonya muda itu.
Tinggal di mansion ini juga sebenarnya Andrea merasa kurang nyaman. Dia sudah membicarakannya pada Damian, meminta pria itu membawanya tinggal di rumah yang lebih kecil dari tempat tinggal mereka sekarang.
Dia tidak akan pernah terbiasa tinggal di mansion ini. Terlalu besar baginya yang terbiasa tinggal di rumah sederhana.
"Bisa, kan, Bik?" tanya Andrea menatap Bik Wati serius.
Perempuan bertubuh besar itu tidak seberapa menjawab. Beberapa detik kemudian, senyumnya terbit dengan lebar membuat pipinya yang tembam semakin terlihat bervolume.
"Bisa, Nyonya, eh, Bu Andrea!" jawab Bik Wati mengangukkan kepala.
Kedua sudut bibir Andrea melengkung membentuk senyum tipis. "Makasih, Bik," katanya menepuk lembut punggung tangan Bik Wati.
"Makasih buat apa, Bu?" tanya Bik Wati bingung. Alisnya berkerut menatap majikannya. Dia tidak merasa melakukan sesuatu yang penting untuknya.
"Makasih karena udah mau nurutin permintaan saya," kata Andrea tersenyum. Kali ini, senyumannya lebih nyata dan lebar. "Saya mau istirahat dulu, capek. Makan siangnya nanti aja."
Bik Wati mengangukkan kepala, tubuhnya sedikit membungkuk saat Andrea melewatinya menaiki tangga. Lebih dari separuh usianya dihabiskan dengan mengabdikan diri di keluarga ini, baru kali ini ada yang memintanya untuk memanggil ibu.
Bik Wati tersenyum, tangan mengusap dadanya yang bergemuruh gembira. Ia bergerak menuju dapur dengan langkah ringan.
Sementara itu, di kamarnya, Andrea langsung berbaring begitu tiba. Dia benar-benar lelah, lahir dan batin. Baru satu minggu usia pernikahannya, dia sudah seperti kehabisan tenaga saja. Bukan karena Damian yang selalu menuntut haknya sebagai seorang suami di atas ranjang, melainkan karena hal lainnya.
Pria itu tidak pernah menyentuhnya lagi setelah malam pertama mereka seminggu yang lalu. Mereka bahkan tidur terpisah. Tempat tidur untuknya, sedangkan Damian di sofa bed.
Mereka juga jarang berkomunikasi, Damian yang sangat irit bicara membuatnya malas untuk memulai percakapan. Selain itu, dia juga tidak tahu harus berbicara apa di depan suaminya itu. Dia tidak tahu apa pun tentang Damian, apa yang disukainya dan tidak disukai, dia tidak tahu sama sekali.
Baru beberapa detik mata Andrea terpejam, dia kembali membukanya saat indra pendengarannya menangkap suara pintu yang didorong dari luar. Tanpa bangkit, dia menoleh ke arah pintu hanya untuk memastikan Damian yang memasuki kamar mereka.
Dia pasang mata berbeda warna bertemu. Andrea lebih dulu memalingkan muka, menghindari tatapan itu lebih lama.
"Saya sudah menemukan sebuah rumah seperti yang kamu minta, Andrea," kata Damian tanpa nada seperti biasa. Ia melemparkan sebuah map berwarna hitam ke atas meja. "Itu surat-suratnya, semuanya lengkap. Saya sudah membelinya atas nama kamu."
Mata Andrea melebar sedetik. Dia bangun dengan cepat, menurunkan kaki setelah menyibakkan selimut. Mengabaikan pandangannya yang sedikit berputar karena bangun terlalu cepat, dia turun dari tempat tidur, melangkah pelan menuju set sofa di mana map hitam berada.
Map itu terlihat dingin, persis seperti Damian. Tangan Andrea sedikit gemetar terulur mengambilnya. Dia ingin memeriksanya, ingin memastikan perkataan Damian jika rumah yang dibeli pria itu atas namanya.
Bukan. Andrea ingin memastikan berkas-berkas itu atas namanya bukan karena dia ingin memilikinya, melainkan karena tidak menginginkannya. Sangat aneh, menurutnya, Damian memberikan sebuah rumah kepadanya di usia pernikahan mereka yang masih bisa dihitung dengan jari. Itu dilihat dari sikap pria itu kepadanya selama seminggu ini.
Andrea menikah dengan Damian Oliver bukan karena harta pria itu. Dia hanya ingin menuruti wasiat almarhum kakeknya, juga karena memerlukan perlindungan dari pria dewasa. Kehidupan itu kejam bila tidak ada satu pun pria dewasa di sampingmu.
"Ke—kenapa?" tanya Andrea terbata. Dia mengulurkan map hitam yang terbuka pada Damian. "Kenapa atas nama aku?"
"Karena kamu istri saya, apa itu nggak cukup?" Damian balas bertanya. Ia paling tidak suka diinterogasi seperti sekarang, seperti seorang penjahat saja.
Damian seorang dominan. Ia paling tidak suka dengan sebuah pertanyaan yang menurutnya sangat tidak penting seperti pertanyaan Andrea barusan. Kenapa perempuan itu tidak menerimanya saja, kenapa harus bertanya.
Sebagai seorang dominan, Damian lebih menyukai perempuan yang penurut. Yang selalu patuh dan menerima apa pun yang ia berikan tanpa bertanya alasannya. Perempuan seperti Andrea yang terlalu banyak bertanya sama sekali bukan tipenya. Perempuan cerewet seperti itu sangat menyebalkan, menurutnya.
Andrea tidak lagi bertanya. Tangannya masih gemetar saat mengembalikan map hitam tersebut ke atas meja. "Makasih, tapi aku nggak perlu. Aku cuma mau tinggal di rumah yang biasa aja, bukan mau rumah atas nama aku," katanya sebelum melangkah kembali ke tempat tidur.
"Terserah!" Damian mengedikkan bahu tak peduli. "Anggap aja saya kasih rumah itu buat kamu sebagai ganti keperawanan kamu."
Damian memutar tubuh, melangkah lebar meninggalkan kamar tidurnya bersama Andrea, kembali ke ruang kerja. Masih ada beberapa berkas penting yang harus diperiksanya agar besok bisa pulang lebih awal. Ada hal penting yang harus dilakukannya besok malam.
Andrea hanya menatap punggung pria itu yang menjauh, lalu menghilang di balik pintu yang ditutupnya dengan cukup kuat. Wajahnya memucat, tubuh bergetar halus, detak jantung berpacu. Kata-kata Damian kali ini terlalu menusuk dan kejam.
Sebagai ganti keperawanannya Damian memberikan sebuah rumah? Jadi, pria itu menganggapnya apa? Istri atau jalang pemuas gairahnya?
Dua bulir bening menuruni pipi Andrea tanpa disadarinya. Tangannya terangkat, meremas d**a kirinya yang terasa perih seperti ditikam sembilu tak kasat mata.
Selama seminggu ini, dia masih dapat menahan diri dan hatinya dari kalimat-kalimat pedas Damian. Hari ini, benteng pertahanannya roboh, luluh lantak akibat mulut berbisa Damian yang setajam samurai.
Apakah di mata Damian, dia tak ubahnya seperti para perempuan kekurangan belaian di luar sana? Terlalu kejam, bahkan untuknya yang tidak menginginkan apa-apa.
Andrea mendongak, menumpukan belakang kepalanya di kepala ranjang. Kedua tangan saling meremas di pangkuan, matanya terpejam, memeras butiran air mata yang masih saja menggenang.
Padahal, dia tidak menginginkannya. Sebisa mungkin dia berusaha menyembunyikan sisi terlemahnya. Akan tetapi, air matanya jatuh dengan sendirinya. Sama seperti seminggu yang lalu di malam pertamanya, tubuhnya kembali berkhianat.