Cinta Untuk Benci

1649 Words
“Kenapa tidak mau hadir di acara prom night, kamu masih belum berubah pikiran?” tanya Valeri yang melihat Vanya masih belum bersiap, justru tengah merapikan pakaian yang akan di bawa ke Italia. Kepalanya menggeleng pelan, “tidak Mom. Aku tidak igin pergi.” Mamah menghela napas, “tapi, Anna telepon Mamah dan Aric akan datang menjemput—” “Mah!” Vanya tersentak mendengar ibunya mengatakan Aric akan datang menjemputnya. Ia berpikir cepat, pasti Mamah dan Tante Anna yang memaksa Aric. Sudah pasti setelah ini Aric akan kian membencinya. “Lho kok marah, Aric juga setuju. Sudah sini, simpan dulu semua ini. Mamah akan bantu kamu bersiap.” Valerie tidak mendengarkan penolakan Vanya. Vanya pasrah di bantu ibunya bersiap, memakai dress manis berwarna biru, memiliki detail di bagian pinggang. Vanya make up natural. Beberapa waktu kemudian, Aric sungguh datang menjemputnya. Di depan Valeri dan Dillan, ia terkesan sopan seperti biasa. Tetapi, saat mobil sudah melaju menuju sebuah hotel, tempat prom night perayaan kelulusan sekolah diadakan. Aric bersikap berbeda, seperti dugaan Vanya, kembali dingin. Menunjukkan sekali jika ia tidak suka Vanya dekat dengannya. “Sebelum kamu marah, aku harus luruskan ini.” Vanya memulai, “aku sudah tidak minat untuk datang ke acara prom night, tapi tiba-tiba Mamah bilang Tante Anna mengabari kamu akan menjemputku.” Aric tidak menjawab sampai mobilnya berhenti di sisi jalan, Aric pernah menurunkannya di jalan, Vanya sudah bersiap, tetapi terkesiap saat Aric mendekat. “Apa, kamu akan menurunkaku di sini? It’s oke.. aku akan cari taksi-“ Aric tidak menjawab selain menarik sabuk pengaman, memasangkan di tubuh Vanya. “Kamu ingin membuatku terkena pelanggaran lalu lintas dan gagal pergi ke prom night?” Vanya menggelengkan kepala cepat, “aku lupa, tidak sengaja—” “Diam! Kamu sangat berisik! Atau aku akan benar-benar menurunkanmu di jalan seperti yang pernah aku lakukan!” ancam Aric, membuat Vanya diam lalu ia melajukan mobilnya lagi. Kejadian itu sebelum acara makan malam di rumah Lais, yang jadi puncak perpisahan Vanya dengan Aric sampai sekarang. Vanya pikir hubungan mereka saat pergi ke prom night bersama akan membaik, tetapi ternyata semakin berjarak bahkan ada jurang membentang sangat lebar antara setelah makan malam bersama orang tua… "Vanya!" Sebuah seruan membuat Vanya tersenyum lebar, ia berjalan cepat menyambut keluarga dari Indonesia. Ia sedang di bandara Malpensa. Fay dan suaminya serta dua kurcaci berusia jalan empat dan satu tahun. Sky dan Sagara. Fay adalah Kakak dari Aric, pria yang sudah dua tahun ini tidak pernah lagi komunikasi apalagi bertemu dengannya. Seperti yang Aric inginkan dan Vanya mewujudkannya dengan senang hati. Aric melanjutkan pendidikan bisnis di Inggris, sementara Vanya pilih Italia lebih tepatnya di Milan. Komunikasi yang masih terjalin hanya sesekali antara ia dan Tante Anna juga Fay. Sebulan lalu Fay mengabari bila ia akan ikut dengan Alyan, suaminya yang ada pekerjaan di Italia sekaligus mengajak anak-anaknya liburan. Bertepatan dengan musim gugur yang membawa suhu dingin. Selama mereka tiga hari di Italia, Vanya yang kebetulan libur akan menemani liburan mereka. Sayangnya, Vanya tinggal di asrama jadi tak cukup menampung keluarga Fay. Vanya akan ikut menginap di hotel yang sudah Fay dan Alyan reservasi. Hotel di pusat Milan, Italia. Vanya memeluk Fay, erat. Kemudian Fay memegangi bahu sambil menatap Vanya dengan lekat sekaligus kagum, dari ujung kaki hingga kepala. Melakukan berulang-ulang. "Ini sungguh kamu, Vanya Raizel?! Putrinya Tante Valerie dan Om Dillan?!" decak tidak percaya sekaligus kagum akan perubahan Vanya. Vanya tahu arti kalimat dan tatapan Fay, ya berada jauh dari keluarga selain membuat Vanya belajar mandiri juga ia belajar mengurus diri sendiri. Wajahnya sudah tidak berjerawat, dan Vanya berhasil menurunkan berat badannya sedikit walau masih berisi. Rambut pirangnya membuat Vanya lebih menyatu seperti orang lokal sana. "Ka Fay, apa sih?!" decak Vanya. Fay terkekeh gemas, gadis itu sudah tumbuh lebih dewasa, kemudian Vanya beralih pada Alyan. Memeluk singkat. "Kamu setuju kalau Vanya lebih stunning, kan?!" Fay meminta dukungan suaminya. Alyan mengangguk kecil, buat pipi Vanya kian memanas. Menahan malu-malu. Vanya kemudian berjongkok, menyamakan tinggi dengan Sky. Melihat Sky buat Vanya ingat Aric karena tahu jika kesayangannya. "Sky, kok udah tinggi aja sih?! Terakhir bertemu masih setinggi ini." Tangan Vanya mengukur kira-kira tinggi Sky waktu itu masih berusia dua tahun saat Vanya berangkat ke Milan, Italia untuk kuliah. Sementara Sagara masih di kandungan Fay. Ini jadi pertama kali Vanya bertemu Sagara. Sky tersenyum kecil, wajahnya lebih lembut dan banyak senyum sementara Sagara, ekspresi dinginnya mengingatkan Vanya pada Aric. Huft! Dia menarik napas dalam-dalam. "Kamu sih, hampir dua tahun tidak pernah pulang ke Indonesia!" decak Fay, walau tahu alasan Vanya tidak pernah pulang. Vanya hanya menanggapi dengan senyum tipis, mengajak mereka ke mobilnya. "Kamu menyetir sendiri?" "Ya, aku sudah dapat surat ijin resmi kok." Vanya membantu Alyan menaikkan koper-koper. Fay memerhatikan mandirinya Vanya patut diacungi dua jempol. Vanya menyetir santai, Fay dan anak-anak duduk di kursi tengah sementara Alyan di samping Vanya. Lebih banyak diam. "Kalau sehari-hari?" "Aku lebih suka ke mana-mana naik transportasi umum aja." Jawabnya, mata Vanya tetap fokus pada jalur yang mereka lalui menuju hotel. Fay tersenyum kecil, "aku dulu pas kuliah di California juga lebih suka ke mana-mana tanpa bawa mobil pribadi. Kecuali saat harus keluar malam-" "Hm!" dehem kecil dari suaminya mengantar senyum pada Fay. Sementara Vanya melirik tertarik. "Kamu haus, sayang?" Fay meski tahu maksud deheman kecil Alyan mengandung maksud lain, tetap saja bertanya, memberi lirikan nakal. "Tidak." Irit menjawab seolah sudah jadi curi khas Alyan. Vanya tersenyum, merasa jika Fay beruntung menemukan pasangan yang mengerti dirinya. "Bagaimana kabar Tante Anna dan Om Kai?" "Mereka baik, sehat. Titip salam buat kamu." Fay menjeda kalimatnya kemudian menatap Vanya, "Aric juga baik, dia rencananya akan pulang ke Indonesia dalam waktu dekat." Sembari mengatakannya, Fay menatap Vanya. Mencari maksud dari ekspresinya. "Oh.." singkat, dan menahan diri. Vanya melakukannya selalu setiap kali membahas Aric. "Dia menanyakan kamu, titip salam-" Vanya terkekeh sumbang, lebih tepatnya memaksa diri untuk menutupi. "Ka Fay berbohong. Aric tidak akan melakukannya." Fay menarik napas lebih dalam, "kenapa kamu bilang begitu? Bagaimana bila memang Aric titip salam, ia tahu kok kami ke Italia dulu sebelum nanti mampir menjenguknya." Rencananya memang Fay setelah dari Italia, akan mampir menjenguk adiknya, walau tahu dalam waktu dekat Aric akan pulang. "Aku mengenal Aric dan tidak mungkin ingat diriku sampai menitipkan salam." "Vanya.." Vanya memberi tatapan memohon pada Fay melalui kaca spion tengah. Berharap Fay berhenti membahas pria yang sedang ia perjuangkan untuk disingkirkan dari hatinya. Di banding siapa pun, Vanya lebih tahu cintanya tak akan pernah terwujud sebab Aric sangat sulit dijangkau. *** Vanya menatap hasil potret yang ia ambil dari kamera milik Fay. Selain jadi juru pertunjuk jalan, ia juga jadi tukang foto selama Fay dan keluarga kecilnya liburan di sana. Mengunjungi beberapa tempat dengan bangunan bersejarah yang khas, hari ini mereka berada di Galeri Vittoro Emanuele II sebuah pusat perbelanjaan di Milan yang telah resmi dibuka pada tahun 1867, menjadi magnet besar bagi para pengunjung baik lokal maupun dari berbagai negara lainnya. Fay berbelanja banyak di sana untuk Anna dan Kai juga, serta Om Kaflin dan Tante Ami, beberapa untuk sepupunya. Jemari Vanya sedang melihat-lihat hasil fotonya sampai tiba-tiba berhenti pas sebuah potret seseorang yang sangat dihindari. Aric bersama anjing kesayangannya. Tatapan Aric yang tajam tetapi nakal selalu buat jantung Vanya berdentum bagai isyarat arti Aric untuknya. Fay mendekat dan menemukan alasan mematungnya Vanya. "Kamu tidak bisa terus menghindar, Anya.." Fay memang kadang memanggilnya 'Anya'. Vanya terkejut, segera ia mengalihkan dan keluar dari foto itu. "Ka-" "Sungguh, aku yang paling sedih melihat kalian berjauhan begini. Aku yang turut menjadi saksi sedekat apa kalian dulu.” "Dulu yang Ka Fay maksud saat kami anak-anak." Bahkan Aric lebih dekat dengan Vanya di banding si kembar, sepupunya dari Om Kaflin dan Tante Ami yang seusia dengan Aric. "Jika Ka Fay, bertanya-tanya alasan kami yang kini sejauh bumi dan langit.. pertanyaan itu lebih cocok Ka Fay tanyakan pada Aric. Dia yang mulai membenciku, bukan aku yang membencinya." Kata Vanya dengan tarikan napas beratnya. Fay tahu hati Vanya sangat sesak. Bahkan bisa dikatakan Vanya mengalah, pilih kuliah di Italia dibanding Inggris karena Aric memilih di sana dan tidak mau satu tempat sekolah lagi. Vanya kemudian memaksa tawanya, "lucu ya Ka, aku merasa tidak salah apa pun.. tapi, Aric membenciku." "Aric tidak membencimu." Bantah Fay. Sementara mereka bicara, Alyan menjaga kedua putranya. Tidak ikut campur meski turut jadi saksi ego Aric yang telah menyakiti Vanya. "Jika bukan benci, apa namanya?" tanya Vanya, tak mau menaruh sedikit celah untuk berharap. Karena menunggu seseorang yang telah membenci untuk bisa mencintai sangat menyakitkan, membuatnya lelah. Sudah cukup. Vanya tak mau terus mencintai seseorang yang bahkan membenci tanpa alasan. "Aku udah belajar menata hati lho... Ka. Kumohon, jangan di runtuhkan lagi dengan terus memberi harapan jika Aric tidak membenciku." Fay diam, hanya bisa mendekat dan mendekap. Tangannya mengusap punggung Vanya. Memberinya kekuatan. "Kalau begitu, lanjutkan.. lupakan Aric. Kamu akan menemukan seseorang yang bisa menghargai perasaanmu, juga membalas cintamu dengan sangat besar sampai rasa sakit yang ada padamu sekarang tidak lagi dikenang. Kamu akan bisa melupakannya, Percayalah..." Vanya mengangguk, punya harapan sama sebab tidak semua seberuntung Fay yang bisa bersama dengan cinta pertamanya, hidup berbahagia. Selesai di sana, dinner dan mereka kembali ke hotel. Vanya bermain dengan Sky dan Sagara tanpa tahu jika Fay sedang panggilan video dengan Aric. Fay sengaja diam, tepat Vanya tertawa renyah. "Vanya.." ucap Aric pelan di telepon. "Ya, kamu masih hafal suara tawanya? Vanya sedang bermain dengan Sky dan Sagara." Aric diam, tidak menanggapi. "Vanya berubah banyak, dia stunning. Mau bicara dengannya-" "Apa tujuanmu mengatakannya, Fay?" potong Aric, ekspresinya tak suka, "jika meneleponku hanya untuk mengatakan tentang Vanya. Aku sudahi, aku masih ada ujian besok." Katanya, dan tanpa menunggu Fay, Aric benar-benar memutus panggulan video. "Aric.." panggil Fay, tidak sadar jika Vanya telah mendengar sedikit yang Aric katakan. Rasanya sangat sakit. Dia menunduk, meremas ujung kaus yang digunakan. Sudah menjauh, dan kamu tetap saja membenciku.. batinnya. Vanya semakin yakin untuk tidak kembali ke Indonesia sampai ia benar-benar Move on.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD