Pekerjaan Baru

1828 Words
Nia, Dita, Lala, dan Ovi, empat sekawan itu tengah bersantai hari minggu di ruang santai rumah mewah milik Ovi. Keempatnya sudah bersahabat sejak duduk di bangku sekolah menengah atas. Meskipun berkuliah di tempat yang berbeda-beda, namun persahabatan mereka masih awet hingga kini ditengah kesibukan masing-masing. Sejujurnya sudah jarang mereka bisa berkumpul bersama seperti ini sejak masing-masing sudah memiliki kesibukan maupun pekerjaan. Tapi sesibuk-sibuknya mereka, pasti mereka menyempatkan untuk bertemu setidaknya satu kali dalam sebulan. "Kue sudah siap." Ovi datang membawa nampan besar berisi penuh kue. Inilah sebenarnya tujuan utama mereka datang, untuk mencicipi kue buatan Ovi yang sedang hobi-hobinya membuat kue. Mungkin karena tidak lama lagi akan menikah dengan pujaan hatinya, ia terlihat lebih sering berkutat di dapur. Tidak heran sebenarnya mengapa Ovi bisa lebih sibuk melakukan hobi ketimbang bekerja. Ia sudah kaya dan calon suaminya juga kaya. Jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan untuk urusan itu. Hanya tinggal bersenang-senang saja. "Akhirnya..." pekik Lala kegirangan langsung menatap lapar kue-kue buatan Ovi yang menggugah selera.  "Ayo buruan coba, kasih pendapat gimana rasanya. Kira-kira apa yang kurang?" Ovi menunggu dengan sabar sahabat-sahabatnya itu untuk mencicipi kue buatannya. Namun ia lebih serius menatap Nia sebeb Nia lah yang biasanya paling jujur dalam menilai. "Enak," kata Nia setelah memasukkan sepotong kue dengan rasa keju bercampur blueberry itu ke dalam mulutnya. "Beneran?" Nia mengangguk. "Lebih enak dari yang terakhir lo bikin. Yang waktu itu agak keras," lanjutnya diiringi cengiran tidak enak namun harus jujur. Ovi tersenyum sumringah, komentar itulah yang ia butuhkan. "Ada plastik gak sih Vi? mau bungkus," kata Dita yang langsung mendapat sorakan dari yang lainnya. Untuk urusan makan, Dita akan berada dalam urutan nomor satu. "Lo tenang aja, ntar gue buatin dan gue kirimin ke rumah lo." "Janji ya, janji hutang loh. Kalau gak bisa nepatin janji, bayarnya bisa pakai duit aja." Lagi-lagi Dita mendapat sorakan sementara ia langsung menyengir tanpa dosa.  "Gimana Nia wawancara lo waktu itu?" tanya Ovi disela-sela acara makan-makan mereka. Yang lainnya ikut menatap Nia menunggu jawaban. Mereka juga belum tahu kabar bagaimana wawancara kerja yang pernah Nia ceritakan waktu itu. "Yang waktu itu gagal, seperti biasa."  "Ya udahlah, lo kerja di perusahaan bokap gue aja. Ntar gue bilangin, bokap gue lagi di London sekarang, kalau dia udah pulang, nanti gue bicarain," ucap Ovi.  "Gak usahlah, gue udah banyak banget ngerepotin lo." "Ovikan emang buat direpotin Ni," sahut Lala dengan cengiran khasnya hingga mata sipitnya tidak terlihat sama sekali sementara Ovi hanya memutar bola matanya malas. Sejujurnya Nia, Dita dan Lala yang memiliki kehidupan menengah ke bawah merasa heran mengapa Ovi betah sekali berteman dengan mereka. Padahal dengan kehidupan Ovi yang seperti itu, ia bisa berteman dengan orang-orang yang memang satu kalangan dengannya. Namun gadis itu tampaknya sudah terlanjur nyaman, ia pun terlihat sangat sederhana. "Iya tapikan gak sering-sering juga. Lo kemarinkan yang ngasih Windi uang buat beli sepatu olah raga baru?" tebak Nia langsung tepat sasaran. Ovi hanya menyengir, ia pikir Nia tidak akan tahu. Namun tidak mungkin Nia tidak tahu. Ia tahu semua tentang adiknya itu. "Gue udah banyak banget ngerepotin kalian. Lagian besok gue mau ada wawancara lagi. Dokter yang menangani ibu gue ngasih tau ada lowongan gitu," cerita Nia. Itu memang benar adanya, ia sudah menghubungi pihak perusahaan dan diminta untuk datang besok.  "Bagus deh kalau gitu. Tapi kalau ada apa-apa jangan sungkan-sungkan ngomong ya," kata Ovi membuat Nia tersenyum hangat. Nia selalu bersyukur masih dikelilingi oleh orang-orang baik. "Bener Ni, meskipun gue gak kaya kaya banget kayak Ovi, tapi gue bisa bantu," kata Dita merangkul Nia yang berada di sampingnya. "Gaya banget lo. Hutang lo beli bakso sama es teh waktu itu belum lo bayar," ucap Lala menyela. "Yang mana sih La?" "Tuhkan, pura-pura anemia." "Amnesia..." kompak Nia dan Ovi membenarkan mem buat tawa Lala pecah menyadari kesalahannya. "Lo tu yang amnesia, gak ada ya hutang gue." "Adaaa..." Nia hanya bisa menggeleng melihat kelakuan teman-temannya itu. Hanya saat bersama teman-temannya ini ia bisa merasa kehidupan yang normal. Nia juga cenderung sangat ceria saat bersama teman-temannya seolah tidak sedang menghadapi masalah apa-apa. Lagi pula ia tidak ingin terlihat murung dan membuat mereka semua khawatir. Nia merasa hidupnya sudah cukup sulit untuk terus ia ratapi. Mungkin awal-awal terasa asing, berat, tidak sanggup. Namun entah mengapa lama kelamaan rasanya semakin familiar dan biasa saja. Bisa dikatakan Nia sudah bisa beradaptasi dengan kehidupan sulit yang selalu ia alami. Sejujurnya semangat Nia hanya satu, ia ingin membuat perekonomian keluarganya lebih baik karena ia sadar masalah terbesar yang terjadi dalam keluarganya adalah masalah ekonomi yang menimbulkan masalah-masalah lainnya. Namun Nia sadar betul betapa sulitnya mencari uang. Hidup memang seberat itu untuk dipikul sendirian.  *** Nia melangkahkan kakinya memasuki sebuah hotel mewah dengan perasaan agak ragu-ragu. Sebenarnya dari kartu nama yang diberikan ia sudah tahu bahwa perusahaan itu bergerak di bidang perhotelan. Namun ia tidak tahu posisi apa yang akan diberikan padanya di tempat ini. Nia langsung bertemu dengan seseorang yang sudah menunggunya dan diminta untuk menunggu di sebuah ruangan yang sangat besar di lantai paling atas hotel ini. Entahlah berapa banyak lantainya karena hotel ini sangat besar. Nia duduk dengan gelisah. Tiba-tiba berbagai macam pikiran buruk menghantui pikirannya. Jika dipikir-pikir mengapa ia harus menunggu disini? bukankah jika ia akan di wawancara, urusannya dengan pihak HRD saja? kenapa ia sekarang malah berada di ruangan seperti milik bos besar ini? ruangan ini terlihat mewah dan megah. Segala macam perabotannya didominasi warna abu-abu tua dan hitam. Terlihat beberapa lukisan yang pasti harganya tidak biasa. Nia terkesiap saat mendengar suara pintu ruangan terbuka yang membuat ia langsung bangkit dari duduknya untuk memberi sapaan menunduk sopan. Terlihat seorang pria memasuki ruangan. Dahi Nia sedikit mengernyit saat menyadari pria yang masuk itu menggunakan pakaian khas koki, apa ia akan diwawancara oleh seorang koki? Semuanya terasa semakin aneh. "Saya lupa kalau ada wawancara hari ini. Silahkan duduk," ucapnya terlihat tergesa-gesa. Nia mengangguk kecil sembari tersenyum kemudian kembali duduk di hadapan orang yang sudah duduk di kursi utama ruangan ini. Nia semakin tidak mengerti, apa hotel ini dipimpin oleh seorang koki? tapi dari wajah dan perawakannya dia memang lebih cocok menjadi pemilik hotel ini dari pada seorang koki. "Siapa nama kamu?" tanyanya membuat Nia terkesiap. "Nama saya Kamania Ditya Pak, biasa dipanggil Nia," jawabnya kikuk. "Kita santai aja ya, gak usah terlalu formal juga. Saya Evander Gibson, bisa dipanggil Evan, pemilik hotel ini. Jadi kamu ini kenalannya tante Hani?" Nia sempat tertegun sejenak, ternyata pria di hadapannya ini benar-benar pemilik hotel. Namun kenapa ia malah berpakaian seperti koki? untuk satu ini belum terjawab.  "Benar Pak," jawab Nia. Pria itu mengangguk-anggukkan kepalanya. "Kamu bisa menyelesaikan bilangan pecahan?" dahi Nia seketika mengernyit mendengar pertanyaannya. "Bisa Pak," meskipun ragu, Nia tetap menjawab. Kenapa malah menanyakan hal itu?  "Tau bagian-bagian anggota tubuh, perkembang biakan hewan dan tumbuhan, alat-alat indra dan fungsinya?" kali ini Nia tidak langsung menjawab. Ia dibuat melongo, pertanyaan aneh apa lagi ini? "Ta... tau Pak." "Bisa membuat kerajinan dari barang bekas?" "Bisa Pak. Tapi maaf sebelumnya Pak. Pekerjaan saya dibidang apa ya Pak kalau boleh saya tahu." "Asisten." Nia mengangguk-anggukkan kepalanya paham. Kini sudah jelas posisi apa yang akan ia dapat. Namun apa hubungannya dengan semua pertanyaan tadi. "Suka anak-anak?"  "Suka Pak, kebetulan saya punya adik perempuan."  Kali ini pria itu yang mengangguk-anggukkan kepalanya. "Baiklah, kamu bisa mulai bekerja besok. Saya akan beri alamat rumah saya nanti." "Baik Pak terima kasih. Apa saya bisa meminta rekapan tugas-tugas yang harus saya kerjakan dari asisten Bapak sebelumnya?" "Mantan asisten saya?" pria itu menggantung ucapannya. "Sampai sekarang dia masih asisten saya," lanjutnya. "Tapi bukannya kata Bapak saya akan bekerja sebagai asisten Bapak?" tanya Nia bingung. Pria itu terkekeh sejenak. Nia sempat terpaku melihat tawanya, Nia baru menyadari bahwa pria di hadapannya ternyata sangat tampan apalagi jika sedang tersenyum seperti itu. Ia pikir pria tampan seperti ini hanya ada di layar kaca. "Kayaknya saya lupa bilang. Kamu bukan bekerja sebagai asisten saya, tapi asisten anak saya." "Anak Bapak? maksudnya baby sitter?" "Anak saya udah terlalu besar buat punya baby sitter jadi kita bisa menganggapnya sebagai asisten," ucapnya.  "Kamu akan bekerja untuk membantu anak saya dalam belajar maupun menyiapkan kebutuhannya. Anak saya berusia 10 tahun. Dia home schooling jadi kamu bisa bantu mengarakan dia setelah sekolahnya selesai dan menemani dia sampai saya pulang kerja. Apa kamu bersedia?" Nia tampak berpikir sejenak. Ia tidak tahu apakah ia harus mengambil pekerjaan ini atau tidak. Apakah ia akan dibayar cukup untuk pekerjaan sesederhana itu? lagi pula kenapa pria ini tidak merekrut orang yang sudah ahli saja dalam bidang itu?  "Saya akan bayar kamu cukup besar untuk gaji pokok dan ada bonus jika kamu lembur sebab pekerjaan saya cukup fleksibel dan tidak jelas jam pulangnya. Apa sebanyak ini cukup?" pria itu mengeluarkan sebuah lembar cek yang sudah ia tulisi beberapa nominal dan menyodorkannya pada Nia membuat pupil Nia membesar. Apakah ia bisa dibayar sebanyak itu untuk hanya untuk menjaga dan mengajari seorang anak berusia 10 tahun? "Saya bersedia Pak." Nia tidak mungkin melewatkan kesempatan ini. Uang yang ia dapat sudah lebih dari cukup untuk membayar semua tagihan bulanannya maupun untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Mimpi apa ia semalam hingga mendapat pekerjaan semudah ini. "Baiklah, asisten saya akan menghubungi kamu lagi nanti." Evan bangkit dari duduknya membuat Nia ikut bangkit. "Terima kasih banyak Pak, saya permisi." "Sebentar," tahannya sebelum Nia berniat untuk berlalu. "Iya Pak?" "Apa di wajah saya ada tepung? saya tidak sempat berkaca tadi." Nia meneliti memperhatikan setiap inci wajah Evan yang mulus tidak ada noda sedikitpun. Bahkan pori-porinya pun tidak terlihat. Wajahnya sangat mulus untuk ukuran wajah seorang pria. "Enggak Pak. Tapi di ujung rambut bapak ada sedikit tepung," kata Nia setelah memperhatikan lebih teliti. "Oh ya?" ia terlihat mengusap-usap rambutnya namun tidak mengenai bagian tepung itu sama sekali. "Maaf Pak, tapi dibagian sana," tunjuk Nia. "Bisa tolong bersihkan?" ia mendekatkan kepalanya pada Nia membuat Nia terkesiap. Ia merasa canggung namun tetap melakukan sesuai permintaan. Nia bisa mencium aroma parfum Evan dari jarak dekat seperti ini. Ia tidak tahu mengapa pemilik hotel ini harus berkutat di dapur. Dari jarak dekat seperti ini Nia juga bisa melihat wajah Evan yang luar biasa tampannya. Wajahnya terlihat begitu teduh dan menenangkan. "Udah? saya nyuruh kamu ngelap tepung loh bukan nyari kutu saya," katanya membuat Nia langsung menarik tangannya menjauhi rabut Evan. Evan terkekeh melihat wajah Nia yang memerah malu.  "Permisi Pak." Nia langsung bergegas pergi keluar dari ruangan Evan sementara Evan masih tersenyum. Ia tidak tahu mengapa gadis itu terlihat begitu tegang berhadapan dengannya, padahal Evan sudah sebisa mungkin membuat suasana diantara mereka menjadi lebih santai. Evan bernafas lega akhirnya ia bisa menemukan orang yang bisa menjaga anaknya selama ia bekerja. Awalnya Evan bingung saat Hani memintanya untuk membantu kenalannya mendapatkan pekerjaan. Jujur saja, Evan tidak membutuhkan pekerja baru saat ini. Tidak mungkin ia memberhentikan atau menggantikan posisi seseorang untuk membantu kenalan Hani itu. Satu-satunya pekerja yang ia butuhkan adalah untuk menjaga putrinya, Aliya Gibson. Kebetulan orang yang dipekerjakan Evan untuk menjaga putrinya yang merupakan orang yang kesekian itu tiba-tiba saja berhenti, Tidak ada yang betah satupun. Evan harap yang kali ini akan bertahan sedikit lebih lama.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD