BAB 7 – Membujuk Amanda

1133 Words
POV Rafa Aku melihat Nisa masih sangat hormat pada kedua orangtuaku. Nisa langsung menghampiri mama dan papa dan menyalami mereka. Mama tampak memeluk Nisa dan sepertinya mama membisikkan sesuatu. Entahlah, lagi pula aku tidak peduli. Aku hanya ingin Nisa kembali menjadi milikku. “Rafa, ikut mama sebentar, mama mau bicara.” Mama mengajakku menjauh dari meja makan. “Kau tidak menyakiti Nisa’kan, Nak? Mama lihat matanya sembab dan wajahnya menyimpan kesedihan. Suaranya juga berat seperti menyimpan banyak beban.” Mama menginterogasiku. “Tidak mamaku sayang, dia mungkin stress karena sudah Rafa culik.” Aku memegang lembut pipi mama. Sesekali mata kami menoleh kearah Nisa. “Kau tidak melakukan apa pun terhadapnya ‘kan, Rafa? Rafa sudah berjanji sama mama kalau Rafa tidak akan menyentuh Nisa sebelum kalian menikah lagi.” Aku hanya tersenyum. “Rafa?” Mama menatapku sengan sangat tajam. “Tidak, Mama.” Aku terpaksa berbohong. Aku tidak mau melukai hati Ibu yang begitu aku cintai. “Rafa, mama hanya ingin Rafa menahan diri sebentar saja. Mama tidak ingin nanti Nisa mengandung di luar Nikah. Nisa wanita yang sangat santun dan terhormat, dia begitu menjaga dirinya.” Netra mamaku berkaca-kaca. “Rafa tidak akan melakukan apa pun terhadap menantu kesayangan mama itu, percayalah.” Kembali aku membohongi mama. Aku tidak yakin bisa menepati janjiku yang satu itu, sebab Aku sungguh sangat merindukannya. Dua tahun aku hanya mampu memandanginya dari jauh. Walau ada sedikit penyesalan sebab aku sudah menodainya. Namun aku tidak mampu mengendalikan emosi dan birahiku. Apalagi ketika aku membayangkan Nisa bersama suami barunya. Aku hanya berharap dia tidak hamil saat ini. Tidak denganku tadi atau dengan suaminya itu. Sore ini Nisaku tampak sangat ceria. Ia begitu bahagia bertemu dengan Amanda. Aku ingin melihat senyum itu setiap hari. Aku sadar selama ini aku begitu sering menyakitinya. Menghambat kebebasannya dan tidak mampu membahagiakan Annisa secara materi. Aku ingin menebus semua kesalahanku itu. Aku ingin membahagiakan Annisa hingga akhir hayatnya. “Amanda sayang, ini sudah sangat sore. Kita pulang ke rumah nenek ya.” Aku memang sudah sepakat dengan mama agar mama segera membawa Amanda pulang sebelum jam 6 sore. Karena malam ini aku mau mengajak Nisa kesuatu tempat. “Nggak Mau Nek, Amanda mau di sini sama bunda.” Amanda tak mau melepaskan pelukannya dari Annisa. “Manda sayang, ayah’kan sudah bilang kalau hari ini bunda mau bantuin ayah. Ada pekerjaan yang ayah gak bisa selesaiin sendiri, jadi mau minta bantuan sama bunda. Makanya bunda hari ini ada di sini.” Aku menggendong Amanda agar dia mau melepaskan pelukannya dari Annisa. “Tapi Manda janji tidak akan gangguin ayah dan bunda. Manda mau di sini sama bunda, Ayah. Manda mohon ....” Gadis kecilku ini merajuk. Tatapannya penuh harap sembari memegangi kedua pipiku. “Manda sayang, sini dech dengerin bunda.” Aku pun menurunkan Amanda dari gendonganku karena Nisa memanggilnya. “Manda sayang sama bunda’kan? Kalau Manda sayang sama bunda dan Ayah, bebarti Manda harus mendengarkan perkataan ayah dan bunda. Bunda tau, Manda tidak akan mengganggu bunda, tapi nanti Manda sedih kalau bunda tidak bisa perhatiin Amanda karena sangat sibuk.” Nisa tampak meyakinkan putri kecilnya itu. Aku tidak percaya Annisa akan melakukan itu. Aku pikir dia akan memanfaatkan keadaan ini. “Terus bagaimana dengan ayah baru? Memangnya ayah baru nggak marah bunda lama-lama di sini?” Aku tersentak mendengar perkataan Amanda. Aku kembali panas, dadaku tiba-tiba kembali dipenuhi amarah. Aku melihat Nisa melirik ke arahku. “Bunda sudah izin kok sama ayah yang di rumah. Ayah yang di rumah tidak akan marah sama bunda. Kan di sini bunda kerja?” aku semakin tak terkendali mendengarkan perkataan Annisa. “Ayo sayang, nanti kita mampir ke toko es krim kesukaan Manda. Kakek janji akan beliin manda es krim yang banyak.” Papaku pun ikut meyakinkan Amanda. Aku tau, Amanda sangat rindu kepada Ibunya, tapi aku tidak mau rencanaku kacau jika Amanda ada di sini sekarang. “Baiklah, Amanda sayang Ayah dan Bunda. Bunda hati-hati ya kerjanya. Bantuin kerjaan sampai selesai agar ayah nggak bingung lagi.” Gadis enam tahun itu memang sangat polos. Ia akhirnya menuruti perkataan kami semua. “Itu baru namanya anak pintar. Nanti akan ayah pesankan mainan baru lagi dari luar negeri, Amanda mau’kan?” “Oiya? Mau ... mau ... aku mau mainan yang lebih banyak lagi, biar bisa bawa teman-temanku ke sini semua.” Gadis kecilku tersenyum bahagia. Senyum yang sangat manis, semanis senyum Annisa. Amanda menoleh ke arah mama dan papaku. Gadis itu memegangi tangan ke dua orang tuaku dengan lembut, “Ayo kek, kita pulang sekarang. Tapi jangan lupa mampir ke toko es krim ya ... Amanda mau beli es krim cokelat dan strawberry.” “Iya, Sayang ... Oiya Rafa, mama dan papa pulang dulu. Annisa, papa pulang dulu ya.” Annisa tampak mengangguk, “Iya, Pa, Ma, hati-hati di jalan.” Annisa memperlakukan ke dua orang tuaku dengan sangat hormat. Aku semakin mengaguminya. “Ingat Rafa, jangan lakukan apa pun terhadap Annisa, kalian belum menikah, tolong jangan kecewakan mama.” Mama kembali membisikkan hal itu ke telingaku. “Siap, mamaku sayang ....” Entahlah, apa aku mampu untuk mengendalikan hal yang satu itu. setiap bersama Annisa, aku tidak tahan untuk tidak mencumbunya. Tapi aku akan berusaha untuk menepati janjiku kepada mama. Setiap memikirkan Annisa, otakku tidak mampu berpikir jernih. Keinginanku untuk segera memilikinya kembali membuat akalku tidak mampu bekerja dengan baik. Aku tidak peduli jika yang aku lakukan itu adalah salah. Yang pasti, Annisa harus bisa menjadi milikku, selamanya. Itu adalah sumpahku semenjak aku mengenal dan mencintai wanita itu. Perjalanan cinta yang panjang dan perjuangan yang rumit. Itulah yang sudah aku hadapi selama ini demi Annisa. Aku mendapatkan wanita bitu dengan susah payah dan hanya karena sebuah kesalahan, aku terpaksa meninggalkannya. Kini, aku ingin memilikinya kembali. Harus, bagaimana pun caranya, Annisa harus kembali menjadi milikku. Takdir Annisa adalah hidup bersamaku selamanya hingga kami menua dan siapa pun tidak bisa merubah takdir itu. Akhirnya Amanda dan kedua orang tuaku berlalu dan Nisa tampak mengikuti mereka. “Mau kemana kamu!” Aku dengan cepat menggenggam lengan kiri Annisa untuk mencegahnya mengikuti Amanda keluar rumah. “Auhh ... sa—sakit ... Aku hanya ingin melihat Amanda pulang. Tidak lebih.” Annisa mencoba melepaskan genggamanku. “Ikut aku!” Aku menggenggam pergelangan tangannya cukup keras dan menariknya dengan paksa menuju lantai dua. Aku tau dia kesakitan, tapi emosiku sudah memuncak. “Rafa, mbak mohon, jangan sakiti Nisa lagi.” Aku melihat Mbak Rena berkata di bawah tangga dengan tatapan memelas. “Mbak tenang saja.” Aku tidak terlalu menanggapi perkataan mbak Rena. === ===== Man teman yang baik, Please tinggalin komen di setiap bab ya, biar bulan depan aku bisa semangat update-nya ... buat yang belum follow, kuy ah follow dulu akun author dan jangan lupa TAP LOVE cerita ini juga. Salam sayang penuh cinta, KISS ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD