POV Rafa
Malam ini senyum Nisa sangat merekah. Dia tampak sangat cantik. Bahkan kami dinobatkan sebagai pasangan paling serasi dan sensasional, aku menyebutnya demikian. Dia tak menolak ketika berdansa denganku. Apakah Nisa sengaja menutupi semua pelik hatinya di depan teman-temanku, ataukah hati Nisa memang sudah mencair. Yang pasti aku juga sangat bahagia melihat senyumnya.
Ini sudah hampir tengah malam, kulihat Nisa sudah mulai mengantuk. Aku pun mengajaknya pulang lebih dulu sebelum acara selesai.
“Sayang, kau sepertinya sudah sangat lelah. Kita pulang sekarang ya.” Nisa mengangguk. Ia sama sekali tidak menjawab, tapi pergerakan tubuhnya membuktikan jika ia memang sangat lelah
Aku pun pamit kepada tuan rumah dan rekan-rekan yang lainnya yang masih mau menikmati malam ini. Beberapa diantara mereka tampak sedikit kecewa, namun mereka memaklumi.
“Rafa, maaf, bolehkah aku menanyakan sesuatu?” Nisa mengatakan itu sesaat setelah mobil ini melaju meninggalkan area parkir hotel.
“Ya, silahkan. Apa yang ingin kau tanyakan?”
“Tadi teman wanitamu mengatakan perihal undangan, pesta pernikahan mewah, apa maksud mereka mengatakan semua itu?” Nisa tampak menguap berkali-kali.
Aku tidak langsung menjawab pertanyaan Annisa. Aku memikirkan jawaban yang tepat sebelum memberikan jawaban kepada Nisa. Aku fokus menatap jalanan yang mulai sepi.
“Jadi aku sudah memper—” Belum selesai aku berucap, aku melihat Annisa sudah terlelap di atas mobil.
Annisaku begitu menggemaskan. Ia pasti sangat lelah karena menangis seharian ini. Biarkanlah ia menikmati mimpinya bersama indahnya malam. Aku berharap besok akan jadi hari yang paling membahagikan untuknya dan yang pastinya untukku.
Mobil kami sudah sampai di pekarangan rumah, namun Annisa belum juga terjaga. Aku ingin membangunkan, tapi melihat wajahnya yang tampak teduh ketika tidur, membuatku mengurungkan niatku.
“Pak Rafa ....” Indra sang Penjaga rumah, menghampiriku.
“Sssttt...” Aku menyuruhnya berhenti bicara, aku tidak ingin dia menganggu tidur Annisa.
“Ada yang bisa saya bantu, Pak?” Indra berbicara setengah berbisik.
“Ibu sedang tertidur, aku akan menggendongnya. Tolong bantu tutup kembali pintu mobil dan tolong bukakan pintu rumah.”
“Baik Pak.”
Aku berusaha mengangkat Annisa dengan sangat hati-hati. Aku tidak ingin menganggu tidurnya. Tubuh ini kini sangat ringan. Sungguh berbeda dengan Nisa yang sudah aku tinggalkan dua tahun lalu.
Baru saja aku masuk ke dalam rumah dan pintu ditutup lagi oleh Indra dari luar, tiba-tiba Nisa terjaga. Ia langsung turun dari gendonganku.
“Apa yang kau lakukan, Rafa?” Nisa tampak kaget ketika ia berada dalam gendonganku.
“Apa yang aku lakukan? Aku ingin membawamu ke kamar. Kamu tadi tertidur, aku tidak ingin membangunkanmu. Dasar tidak tahu terima kasih.” Aku mencebik dan memalingkan muka. Aku pura-pura merajuk.
“Maaf, aku tidak bermaksud menyinggungmu.” Nisa menunduk. Aku tidak tega melihatnya dengan wajah tertekuk seperti itu.
“Sudahlah, aku tidak akan marah.” Aku kembali menggenggam tangannya menuju lantai dua.
“Kenapa rumah ini sepi sekali? Kemana mbak Rena?”
“Sudah tidur mungkin, atau sedang bertempur dengan pak Doni, hahaha. Bagaimana kalau kita juga ....” Aku menatap Annisa seraya mengarahkan wajahku ke wajahnya.
“Rafa ....” Nisa mencubit pinggangku.
“Auhh... Maaf, aku cuma bercanda, Sayang.” Aku begitu bahagia melihat senyum Nisa. Senyum yang sudah hilang semenjak aku meninggalkannya. Senyum yang begitu aku rindukan.
Perlahan, aku menuntunnya menuju kamarnya. Tangan lembut itu tidak sedikit pun terlepas dari genggamanku.
“Selamat tidur, Sayang. Beristirahatlah, jangan lupa kunci pintu dari dalam.” Aku membelai lembut kepala Annisa di depan pintu kamarnya.
“Kau tidak mengurungku lagi?”
“Untuk apa aku mengurungmu lagi? apa kamu akan kabur tengah malam begini? Kalau pun kamu kabur, kamu akan melarikan diri kemana? Ke rumah orang tuaku? Itu tidak mungkin, bukan? Ke rumahmu? Dengan gampang aku akan mengangkatmu lagi ke sini.”
Annisa tampak tersenyum, “Bailklah, selamat beristirahat.”
“Jangan lupa kunci pintunya dari dalam sebelum aku berubah pikiran dan satu lagi, beristirahatlah dengan tenang karena besok aku akan menghajarmu habis-habisan.” Aku mengulangi perkataanku sambil berlalu.
“Maksudmu?”
Aku tidak memedulikan pertanyaan Nisa. Aku segera masuk ke kamarku sendiri. Aku menyandarkan diriku di salah satu Sofa besar dan menyalakan televisi. Aku belum mengantuk, aku ingin melihat wanitaku lewat CCTV.
Aku melihat Annisa duduk di tepi ranjang. Entah apa yang dia pikirkan. Sebelum kemudian aku tak mampu mengerdipkan mataku walau sekejap. Annisa masuk ke kamar mandi dan mulai membuka satu persatu pakaiannya.
“Ah, sial...” celanaku mulai menyempit melihat Annisa melakukan ritualnya di dalam kamar mandi.
Apalagi kali ini dia tidak masuk ke dalam bathtub. Ia begitu menikmati air yang menyirami rambut dan setiap inci tubuhnya. Andai saja aku tidak menyuruh Nisa mengunci pintunya, mungkin aku akan menerkamnya saat ini juga. Aku pun akhirnya menuju kamar mandi untuk mendinginkan diri dan menidurkan juniorku yang sudah tegak menantang.
-
-
-
Jam dinding sudah menunjukkan pukul dua malam. Aku masih belum mengantuk, sementara kulihat Annisa sudah terlelap di ranjangnya. Aku tidak sabar menunggu hari esok. Hari dimana Annisa akan menjadi milikku lagi seutuhnya.
Tok ...
Tok ...
Tok ...
Aku mendengar suara ketukan pintu, ada seseorang di luar sana.
“Maaf pak, kami baru datang.” Mereka adalah Bimo dan Rafles, Pegawaiku yang bertugas menangani Rehan, mantan suami Annisa.
“Baiklah, kita bicara di ruang kerjaku saja. Ayo kita ke bawah.” Aku mengajak mereka berbincang di ruang kerjaku yang terdapat di lantai satu.
“Ini Pak, surat yang anda butuhkan sudah ditanda tangani oleh Rehan.” Rafles memberikan selembar kertas berisi pernyataan cerai yang sudah ditanda tangani di atas materai.
“Oke, baguslah, bagaimana keadaan pria itu? Kalian tidak menyakiti anaknya ‘kan?”
“Tidak pak, sesuai perintah anda. Kami hanya mengancam. Tapi mungkin anak itu sedikit trauma.”
“Kalian sudah memberikan ganti rugi? Bagaimana keadaan pria itu sekarang?”
“Maaf pak, sesuai perintah anda. Awalnya laki-laki itu ngotot tidak mau menceraikan Ibu Annisa. Kami terpaksa memberikan bogem mentah kepadanya. Tapi dia tetap bersikeras tidak akan menceraikan Ibu Nisa sebelum kami menculik anaknya.”
“Apa dia terluka parah?”
“Sedikit parah pak, tapi kami yakin tidak lama pria itu akan kembali pulih.”
“Tapi mereka mau menerima uang ganti rugi’kan?”
“Awalnya tidak mau menerima pak. Tapi setelah kami sedikit memaksa, akhirnya pria itu menerima ganti rugi dan pernyataan damai.” Aku bernapas lega mendengarkan penjelasan mereka.
“Baiklah, terima kasih atas bantuan kalian. Maaf kalau aku melibatkan kalian dalam rencana jahat ini. Aku tidak bermaksud menyakiti pria itu atau putrinya. Aku hanya ingin Nisa kembali. Justru aku harus berterima kasih kepadanya.”
“Ya pak, kami mengerti. Kami pamit sekarang ya pak. Anda harus istirahat. Bukankah anda besok akan menikah?”
“Ya, sekali lagi terima kasih.”
Mereka berdua meninggalkan ruang kerjaku, sementara aku kembali ke kamarku. Aku menyadari tindakanku ini sangat jahat dan egois. Aku bahkan tega menyakiti Nisa dan menodainya. Semua karena kecemburuanku. Rasa cinta yang dalam membuatku menjadi hilang akal.