Malam merangkak begitu cepat. Safira membanting tubuhnya di atas kasur. Pikirannya terbebani dengan semua hal yang tidak wajar di rumahnya.
Ia yakin kalau rumahnya sudah menjadi sarang para setan. Ia berpikir semua itu gara-gara Karin, istri pertama Azam.
"Sudah cukup! Aku tidak akan membiarkan wanita itu selalu membuat hidupku tidak tenang. Karin harus mati, malam ini juga!"
Safira bangun dari kasur. Dengan kesal, ia keluar kamar. "Bang Azam sepertinya tidak ada di rumah, ke mana dia malam-malam begini. Ah ... Itu bagus, tidak ada yang menghalangiku untuk mengusir istri pertamanya itu," gumam Safira dengan sinis.
Safira bergerak menuju kamar Karin. Ia buka kamar yang berjarak 3 langkah dari kamarnya itu. Kamar Karin selalu gelap. Tak ada bedanya antara pagi atau pun malam. Kamarnya pun sudah sangat tua, perabotannya lusuh semua. Lagi pula, Safira tidak mungkin mau mengganti barang-barang Karin dengan yang baru.
Safira sudah berdiri memandangi Karin dengan wajah kemarahan. "Tidak ada yang bisa menyelamatkanmu dariku, mayat hidup!" ketusnya.
Ketika Safira hendak menyentuh Karin, tiba-tiba mata Karina terbuka. Hal itu membuat Safira terkejut. Bagaimana tidak, wajah Karin yang keriput membuat matanya ikut menua.
Umur Karin masih sekitar 30an. Tapi wajahnya sudah seperti nenek-nenek umur 60an. Mukanya sepucat mayat. Ia hanya bisa memasang wajah ketakutan ketika melihat Safira berdiri di sampingnya. Padahal, jika orang lain melihat wajahnya, malah takut sendiri. Dia seperti mayat hidup di atas ranjang.
Safira mencekik leher Karin. Begitu kuat hingga wanita lumpuh itu tak bisa bernapas dengan tenang. Safira terus mencekiknya dengan kedua tangannya.
"Matilah kau, istri pertama yang tak diakui. Kau adalah racun bagi kebahagiaanku. Harusnya dari dulu aku melakukan ini!"
Karin tak bisa bernapas. Ia hanya bisa mangap dan memasang mata melotot. Wajahnya bahkan lebih seram dari sebelumnya. Napasnya terus terpenggal-penggal, dan akhirnya ia tak lagi bernapas. Tubuhnya kaku.
Safira tersenyum nyengir. Dia telah dikuasai nafsu setan, hingga melakukan hal-hal yang tidak benar. Termasuk membunuh istri pertama suaminya. Dendam dalam diri Safira begitu mendidih, hingga ia gampang untuk menuruti perintah setan. Dia telah menjadi budaknya. b***k nafsu setan!
Safira menggeret tubuh Karin hingga terjatuh dari kasur.
"Tempatmu bukan di sini, tapi di kuburan!" ketus Safira pada mayat Karin.
Ia menyeret tubuh Karin dengan kasar keluar kamar. Lalu ia seret menuruni tangga. Terlihat begitu berat, namun Safira tak peduli. Ia menggeret tubuh Karin menuju keluar rumah melalui pintu belakang. Ia takut ada orang yang melihat aksinya jika lewat depan rumah.
Tak membuang waktu lagi, Safira terus menyeret paksa tubuh Karin, menerjang semak-semak belukar. Begitu brutal dan tak kenal ampun. Sifat kemanusiaannya sudah hilang, hanya setan yang menguasai nafsunya.
Sampai di sebuah pemakaman tua, ia berhenti. Ia menengok ke kanan dan ke kiri, tak ada siapa pun. Hanya beberapa pohon yang saling ribut akibat angin yang menerjang.

Udara malam itu sangat dingin. Keadaan langit juga sangat gelap. Bahkan kerap terdengar suara guntur, dan petir.
Safira melihat ke arah kuburan tua yang berlubang. Sepertinya kuburan itu sudah keropos, akibat dimakan cacing tanah. Ia melirik sebuah cangkul yang tergeletak di dekat pos.
Ada sebuah pos atau tempat untuk menaruh keranda. Safira bergerak dan mengambil cangkul itu, lalu ia membongkar kuburan tua yang berlubang itu. Dia tidak takut. Bahkan ia tak peduli jika penghuni kuburan itu marah dan menerornya. Lagi pula ia sudah terbiasa dengan teror-teror makhluk halus di rumahnya.
Kuburan tua itu sudah terbongkar. Terdapat tengkorak dan sisa-sisa kain kafan yang lusuh dimakan rayap. Tulang-belulangnya juga sebagian keropos. Bau anyir mulai menguap ke atas.
Safira melirik ke arah Karin yang kaku, dengan mata melotot dan mulut terbuka. Ia tersenyum nyengir. Membongkar kuburan tua sudah menguras tenaganya. Hal itu terlihat dari peluh keringat yang terus merembes disertai napas ngos-ngosan.
Safira mengusap keringatnya dengan punggung tangan. Lalu ia bergerak ke arah Karin. Ia menarik rambut Karin, dan menyeretnya masuk ke dalam liang kuburan.
"Di sinilah tempatmu yang sebenarnya, Kakak. Semoga Allah mengampuni dosa-dosamu."
Safira tertawa terbahak-bahak. Ia mengambil cangkulnya kembali, dan segera mengubur tubuh Karin bersamaan tulang tengkorak itu. Dengan brutal ia menimbun Karin hingga tak terlihat lagi.
"Masalahku sudah selesai. Aku menang." sinis Safira.
Hahaha ... Kau tidak bisa mengusirku dari rumahmu, Safira. Kau adalah budakku, dan nafsumu aku kendalikan. Kau tidak bisa mengusir majikanmu sendiri!
Suara itu muncul begitu saja. Menggema bersamaan angin malam yang menerjang.
Safira sedikit merinding. Ketika ia hendak pergi, tiba-tiba sebuah tangan muncul dari dalam kuburan tadi. Tangan itu begitu mengerikan dengan jari-jari yang panjang dan kuku yang runcing. Seperti tangan Karin, namun berwarna biru bersemu hitam.
Tangan itu mencengkram kaki Safira hingga ia terjatuh. Safira mencoba melarikan diri, namun tangan itu terus menahannya. Sesuatu dari dalam kuburan juga terlihat ingin keluar. Kuburan itu bergoyang dengan sendirinya.
Safira tak habis pikir. Ia meraih cangkul di dekatnya, dan dengan keras ia memotong tangan yang terus mencengkram kakinya tadi, hingga tangan itu putus memuncratkan darah segar di baju Safira. Namun tangan itu masih bergerak-gerak.
Safira segera bangun, dan berlari. Akhirnya ia bisa meninggalkan kuburan seram itu. Setiba di rumah, ia masuk dari pintu belakang. Karena rasa takut, ia segera masuk ke kamar.
Begitu ia membuka kamar, kamarnya itu sudah gelap. Terlihat juga Azam tertidur lelap dengan balutan selimut. Safira masuk dengan diam-diam dan pelan, agar Azam tak menyadari semuanya. Ia harus bisa membuat alasan jika suaminya besok menyadari kalau istri pertamanya sudah tiada.
Safira membaringkan tubuhnya di samping Azam dengan hati-hati. Ia mengehela napas pelan. Ketika ia hendak menutup matanya, hidungnya mencium bau anyir menyerupai mayat busuk. Sama seperti bau yang ia hirup di kuburan berlubang tadi.
Safira memainkan indra penciumannya untuk merangsang bau anyir itu. Ia mengendus pakaiannya, namun baunya tidak sebusuk itu. Hanya berbau tanah kuburan saja. Kemudian ia menengok ke longan tidurnya.
Betapa terkejutnya Safira, ia melihat tubuh Azam tengah terbaring di bawah longan. Tubuhnya begitu pucat dan tersenyum menyeringai ke arahnya.
Bukankah tadi ia melihat Azam tidur di sampingnya? Lalu siapa yang ada di bawah sana? Atau jangan-jangan yang di sampingnya itu?
Safira melonjak. Ia menyalakan lampu tidurnya, dan melihat ke samping. Safira begitu terkesiap. Ia mendapati yang terbaring di sampingnya itu bukan Azam, suaminya. Melainkan sesosok pocong dengan wajah yang hancur.
Balutan kain kafan lusuh itu berlumpur tanah kuburan. Matanya putih menyala. Sedangkan mulutnya mangap dengan terus mengeluarkan darah kental. Wajahnya membiru lengkap dengan belatung yang menggerogotinya. Pocong itu menyeringai ke arah Safira.
"Aaaaa!" Safira teriak histeris.
Pocong itu terbangun. Tangan yang mulanya terbelenggu kafan, kini mulai keluar. Bunyi retakan tulang juga terdengar dari balik kafannya. Tangan itu begitu hitam hendak meraih Safira.

Safira segera berlari keluar kamar. Ia menuruni tangga dengan terseok.
Pintu depan terbuka, menonjolkan sesosok Azam yang keheranan melihat tingkah istrinya.
"Kau kenapa?"
"Bang! Bang!" Safira langsung memeluk Azam.
"Ada apa? Kenapa kau sangat ketakutan?"
"Pocong. Ada pocong, Bang. Dia di kamar kita!"
"Ah, kau ini ada-ada saja. Mana ada pocong di kamar kita, pocong itu adanya di kuburan." Azam tak percaya dengan ucapan istrinya.
"Abang dari mana saja tadi?" tanya Safira dengan napas ngos-ngosan.
Azam terdiam sejenak. "Em ... Aku ... Aku tadi habis dari masjid."
"Jam 12 malam, Abang masih di masjid?"
"Kau kan tahu, Abang ini seorang ustadz. Sudah sepantasnya Abang selalu bermunajat di dalam masjid. Lagian kau ini kenapa belum tidur?" Azam melihat baju Safira yang berbau tanah kuburan dan juga terdapat bekas darah.
"Itu baju kau kenapa? Kenapa bisa ada tanah kuburan? Dan noda darah ini? Kenapa? Tadi aku lihat bajumu masih bersih, tapi kenapa sekarang ...."
Azam tak jadi melanjutkan kata-katanya ketika mereka mendengar suara benda jatuh dari kamar atas.
"Suara apa itu? Mungkin itu Karin," pikir Azam.
Safira terkejut ketika mendengar nama Karin. Ia baru sadar kalau ia telah membunuh Karin dan menguburnya di pemakaman tadi. Jika Azam mengetahui segalanya, ia bisa kena masalah besar. Azam bisa marah padanya.
"Itu pasti suara pocong tadi, Bang. Bukan suara Karin," sergah Safira.
"Ah, tidak mungkin. Biar Abang cek coba."
"Jangan, Bang! Itu bukan suara Karin. Tidak mungkin Karin yang melakukannya, dia kan sudah ...."
"... Sudah apa? Ada apa dengan Karin?" Azam semakin keheranan.
Dalam hati, Safira bergumam, "Mati aku. Celaka! Jangan sampai Bang Azam tahu kalau sebenarnya Karin sudah tiada. Tidak! Ini tidak bisa dibiarkan!"
TO BE CONTINUED