BAB 2

1343 Words
Farhan meletakkan cangkir di meja, sambil menunggu kedatangan Arnold dan Alan. Ia sengaja mengundang kedua sahabatnya itu untuk menyelamatkan hidup dan matinya. Ia memandang lurus ke depan. Ia melihat Arnold, laki-laki berambut gandrong itu berada di depan pintu masuk. Tatapan Arnold beralih ke arah laki-laki di pojok ruangan. Cafe Aroma inilah yang menjadi tempat  pertemuan mereka. Laki-laki itu jauh-jauh dari London ke Jakarta untuk mengembalikan pernikahannya yang hilang. Arnold menyungging senyum dan berjalan mendekati Farhan. "Apa kabar men ?," Farhan menyambut kedatangan Arnold dan memeluk tubuh bidang itu. Ya, mereka memang jarang sekali bertemu, terakhir ketika pernikahan Farhan dan Putri tahun lalu. "Lo liat sendiri men, gue baik lah. Emang lo," Arnold terkekeh. Arnold mendaratkan pantatnya di kursi, ia memanggil waitress untuk memesan secangkir kopi tanpa gula. Waitress itu mencatat pesanan Arnold. Beberapa detik kemudian pelayan itu menjauh darinya. Arnold menatap Farhan yang sedang memikirkan sesuatu. "Alan mana?," tanya Farhan. "Lagi di jalan mungkin, soalnya macet jam pulang kerja," Arnold melirik jam melingkar ditangannya menunjukkan pukul 17.30 menit. "Jadi bagaimana?," Arnold melirik Farhan, ia melipat tangannya di d**a. Dirinyalah orang pertama yang memberitahu Farhan bahwa Putri di Jakarta, karena bintang tamu Master Chef berikutnya adalah Putri Arkadewi. Mengetahui itu ia lalu menghubungi Farhan, mengatakan bahwa istrinya yang hilang kini akan melakukan off air bersamanya. "Kita tunggu Alan," Siapa yang tidak kenal Putri Arkadewi, dia adalah salah satu artis ternama bersih dari gosip. Putri Arkadewi bukanlah artis sensasional, dia merupakan artis yang tidak pernah terkena sekandal dan hampir tidak memiliki haters. Imej positif selalu dia perlihatkan di depan publik, citra ramah, cantik dan anggun selalu disematkan oleh Putri. Siapa sangka wanita cantik itu resmi menikah dengan sahabatnya ini. Farhan memandang lurus kedepan, ia melihat Alan melambaikan kearahnya. Laki-laki itu seperti biasa terlihat begitu rapi dengan jas hitam yang selalu dikenakannya. Ia tidak sia sia memiliki sahabat seorang pengecara yang siap membantunya dalam segala apapun. "Itu Alan," Farhan berdiri menyambut kedatangan Alan. Arnold mengucapkan terima kasih ketika waitress membawa kopi pesananya. Ia memandang Farhan dan Alan saling berpelukkan, sungguh sudah lama sekali mereka tidak ngumpul seperti ini. Ini seperti acara reuni dadakan, "Apa kabar men ?," "Baik, gimana kabar lo," Alan menepuk bahu Farhan, ia tahu di sini mereka akan mendiskusikan permasalahan hidup Farhan. "Lo liat sendiri gue gimana men. Gue enggak perlu jelasin lagi sama lo berdua," Farhan terkekeh, memang kenyataanya seperti itu. Ia tidak bisa berpura-pura baik-baik saja setelah Putri melarikan diri. Mendengar Putri di Jakarta dari Arnold, maka ia memutuskan untuk mengambil cuti saat itu juga. Ia mengerahkan ke dua sahabat ini untuk mendapati Putri kembali dalam hidupnya. Alan tertawa ia melirik Arnold, walau mereka satu kota yang sama, tapi jarang sekali bertemu. Terlebih jam terbang dia dan Arnold begitu padat. Ia memeluk tubuh Arnold karena, ini seperti ajang reuni. "Apa kabar lo?," "Biasalah baik," Arnold melepaskan pelukannya. "Kapan nikah?," Alan meninju bahu Arnold, dia salah satu sahabatnya yang masih betah melajang. "Gue nunggu janda Putri," "Kampret lo," sahut Farhan. "Ya iyalah men, ribuan laki-laki di luar sana termasuk gue, menunggu janda Putri, secara cantik gitu. Ya Putri nya aja yang apes laki kayak lo," "Tai lo !," Tawa Alan dan Arnold lalu pecah, melihat Farhan emosi. "Jangan pernah berharap, itu enggak akan pernah terjadi !," Farhan tidak terima. Ia sama sekali tidak berniat membuat status Putri menjadi Janda. Mereka lalu duduk sambil menikmati secangkir kopi di sore hari. Jika membicarakan permasalahan hidup memang tidak ada habisnya. Permasalahan seolah datang silih berganti. Permasalah itu sendiri adalah sebuah ujian yang harus di hadapi. Baik itu problem keluarga, pekerjaan. Ketahuilah bahwa sejatinya kehidupan itu memang penuh dengan cobaan. Jika ingin bahagia selamanya, maka nanti di surga bukan di bumi. Alan tertawa menatap Farhan ia yakin laki-laki itu kacau luar biasa semenjak Putri meninggalkannya. Ia tidak tahu strategi Farhan untuk mendapati Putri seperti apa. Di sini ia memang murni untuk membantu sahabatnya ini. Ia juga merasa iba melihat rumah tangga Farhan yang hancur ketika di awal pernikahannya. "Jadi bagaimana?," tanya Alan, langsung ke topik pembicaraan. "Kami di sini siap membantu, rencana lo bagaimana, gue ikut aja?," Arnold menyesap kopi secara perlahan. Lalu meletakkan cangkir itu kembali. Farhan menarik nafas, memandang kedua sahabatnya. Ia hanya ada waktu tidak lebih 12 hari untuk membawa Putri kembali ke London. Ia akan membawa istri berserta anaknya. Ia di sini menginginkan keluarga yang utuh. Baginya keluarga adalah segalanya. Farhan melirik Arnold, ia memang perlu tenaga Arnold di sini. "Gue tahu Putri, dia enggak pernah sendiri men, dia selalu sama Mince. Gue ingin lo mengalihkan perhatian Mince. Lo harus pisahin dia sama istri gue, bagaimanapun caranya," Farhan menunjuk Arnold. Arnold mengerutkan dahi, "Gue," "Iya lo," "Siapa Mince?," Arnold seakan tidak terima di beri tugas mengalihkan perhatian Mince. Mengalihakan perhatian Mince, sudah pasti nyerempet ke dalam hubungan asmara. Masalahnya nama wanita itu seperti waria yang sedang ngamen di jalan. Secara nama wanita itu sama sekali tidak elit seperti wanita-wanita yang dikencaninya. Mendengar namanya saja ia sudah ilfeel. Oh, tidak bagaimana ia bisa mendekati wanita itu jika tampang ancur seperti yang ia bayangkan. "Manajernya Putri," Arnold mengedikkan bahu, masih bingung dan ia juga tidak bisa menolak karena ia murni ingin membantu Farhan. Ia mengusap tengkuk yang tidak gatal, mamandang Farhan. Oke, ia akan bersikap tenang, karena ini hanyalah sementara. "Cantik enggak?," tanya Arnold penasaran, karena ia yakin kedua sahabatnya ini mengenal wanita bernama Mince. "Lumayan sih," sahut Alan. "Lumayan ancur maksud lo," "Ya enggak lah men, beda tipis lah sama Putri, cuma dia di balik layar aja. Enggak pernah nongol di TV, mereka selalu berdua kemanapun," "Serius !," Arnold merasa tidak yakin. "Serius lah men, ngapain juga Farhan nyuruh lo dekatin Mince, kalau tampang tuh cewek enggak cantik. Kalau lo seriusin juga enggak apa-apa," Alan mencoba menjelaskan. "Tapi masalah namanya itu men, enggak keren, mirip banci !," Tawa Farhan lalu pecah, ia memanggil waitress memesan kopi untuk Alan. "Pengalaman sama banci lo !," "Ya enggaklah," "Ngaku ajalah, lagian banci sekarang lebih cantik, dari cewek beneran,," Alan menyungging senyum, memandang Arnold, "Dari tampang lo, kayaknya pernah sih," "Kampret lo !," Farhan seketika tertawa, begitu juga Alan, "Lo liat aja besok, kalau enggak percaya," "Lo enggak nyuruh gue pacaran sama cewek namanya Mince itu kan," "Ya pacaran lah, biar mereka pisah men. Lo tau sendiri, waktu pertama gue nikah. Orang yang harus dia bawa adalah Mince. Gila kan lo, gue mana mau di rumah gue ada orang ketiga," "Yah, apes gue," "Belum tentu juga tuh cewek suka sama lo. Tuh cewek deket banget sama istri gue, dia bela mati-matian demi sahabatnya itu, udah kayak bodyguard," "Dengan lo mengalihkan perhatian Mince, otomatis gue maju dong dapetin Putri," "Terus," "Ya terserah bagaimana cara lo dekatin Mince," Arnold mulai berpikir keras bagaimana caranya ia bisa mendekati Mince. Ia mengetuk meja dengan jemari, ia sungguh penasaran bagaimana rupa wanita itu. Oke, ia akan mempercayai ucapan Farhan dan Alan, karena selera wanita sahabatnya level tinggi. Semoga saja bukan semata-mata karena Farhan ingin mendekati Putri kembali. "Oke," Farhan melirik Alan, ia memandang penuh harap terhadap sahabatnya yang satu ini, "Lo satu-satunya orang yang buat gue menang men. Lo kuasa hukum gue, buat berjaga-jaga aja, jika sewaktu-waktu Putri melayangkan surat cerai sama gue," "Gue bener-bener minta bantuan lo," Alan tersenyum melihat waitress membawa kopi pesanannya, ia tidak lupa mengucapkan terima kasih, "Sejak kapan gue enggak bantu lo," "Kalaupun dia bersikeras mau cerai, hak asuh anak harus jatuh di tangan gue men," "Gila, jadi kalian mau cerai," Arnold tidak percaya. "Gue ambil buruknya aja," Farhan kembali menyesap kopi. "Lo tau Putri tinggal di mana?," Alan menyandarkan punggungnya di kursi, ia menyesap kopi secara perlahan. "Ya enggak lah, kalau tau gue udah samperin dari kemarin. Besok setelah lo syuting, kita ikutin dia dari belakang," "Besok gue ada sidang, lo berdua aja gimana?," "Gue sih bisa aja," Arnold siap mendampingi Farhan. Farhan menyungging senyum, percakapanpun berlanjut mengatur strategi mendapati Putri kembali. Di satu sisi ada seseorang yang berharap, di satu sisi orang berusaha ingin lari dari kenyataan. Kebahagian memang tidak sesederhana itu. Di sini ada satu sisi ada yang ingin memahami mengapa kebahagiaan tidak pernah tercipta. Sedikit tidaknya memiliki nyali untuk berusaha meraih kembali. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD