Mawar berduri.
Nama yang disematkan Maharaja terdahulu untuk kelompok yang menjadi dalang atas insiden yang menimpa Nata bertahun-tahun yang lalu. Kelompok pemberontak yang membuat ancaman di salah satu pesta, berniat melukai banyak petinggi kerajaan dalam pesta tersebut namun berhasil dicegah karena aksi heroik Nata saat itu. Walau sebagai gantinya, kerajaan harus menelan pil pahit bahwa putra mahkota yang selama ini mereka siapkan untuk memimpin negeri tak bisa lagi melakukan tugasnya.
Sejak insiden Nata terjadi, kabar soal kelompok tersebut hilang begitu saja. Tim penyelidik yang dibentuk Maharaja terdahulu tidak bisa menemukan informasi tambahan perihal kenapa dan siapa yang berkaitan dengan kelompok tersebut. Tidak ada jejak yang tertinggal. Seolah-olah kelompok tersebut memang tidak pernah ada sejak awal. Lantas, ketika sudah 10 tahun berlalu kelompok itu kembali muncul. Seolah meledek pihak kerajaan yang hingga saat ini tidak mampu mengungkapkan siapa mereka dan apa motif yang dimiliki.
Aydin melirik Nata yang terlihat tersentak di sofa. Kakaknya itu terlihat terkejut ketika diberitahu pelaku penyerangan siang tadi berasal dari kelompok Mawar Berduri yang dihadapinya bertahun-tahun lalu. Berbeda dengan Nata yang terdiam mendengar semua pemaparan Ranu perihal pelaku insiden Arnita, pamannya mendengar semua itu dalam diam. Sikapnya teramat tenang, hingga Aydin tidak bisa memprediksi apa yang sedang berkeliaran di otak pamannya tersebut.
"Lalu apa hukuman untuk pasukan pengawal Arnita?"
Pertanyaan sang paman, mengundang kernyitan dahi muncul di wajah maharaja muda tersebut. "Hukuman? Kenapa kita harus memberikan hukuman, ketika mereka sudah melakukan hal baik dalam melindungi Arnita tadi?"
"Yang mulia." Pamannya itu tersenyum kecil, seolah maklum kalau Aydin tidak tau protokol standar yang dimiliki kerajaan ketika insiden seperti ini terjadi. "Saya akui memang kepala pengawal berhasil menarik tuan putri, sebelum tembakan mengenainya. Namun, seharusnya pasukan pengawal memastikan hal ini tidak pernah terjadi. Apalagi jika terjadi di dalam istana. Menangkap pelaku saja tidak cukup, pasukan pengawal yang bertugas juga patut dihukum karena dianggap lalai."
"Pelaku menyelinap sebagai petugas kebersihan, kalaupun ada yang harus dihukum itu penjaga gedung keamanan. Bukan para pengawal yang telah berusaha semampu mereka untuk melindungi keluarga kerajaan." Aydin menjawab tenang, benar-benar tidak berniat menjatuhkan hukuman kepada pasukan pengawal Arnita ketika orang-orang itu sudah melindungi adiknya sebaik mungkin. Ia menoleh ke Fian, asisten pribadinya yang berdiri beberapa langkah di belakangnya. "Tolong panggilkan kepala keamanan istana dan Rana."
Fian mengangguk, berjalan menuju telpon yang ada di ujung ruangan. Meminta orang-orang yang dipanggil sang Maharaja untuk datang ke ruang kerja secepat mungkin. Hanya butuh waktu beberapa menit, hingga keduanya menampakkan diri. Baik kepala keamanan, maupun Rana langsung memberi penghormatan patuh pada keluarga kerajaan yang berada di dalam ruangan.
"Maaf atas kelalaian kami, Yang Mulia." Kepala keamanan istana menjadi orang pertama yang membuka mulut. Malu karena lalai menjaga keamanan anggota keluarga kerajaan yang sudah menjadi tugasnya. "Kami siap menerima segala hukuman yang diberikan pada kami."
"Kenapa dia terluka?"
Tatapan Aydin terarah pada Rana yang berdiri tegap di hadapannya. Tatapan perempuan itu datar, namun sudut bibirnya terlihat terluka dengan sudut mata membiru. Terlihat baru saja dipukul dengan keras. Dari bawah meja, tanpa sadar tangan Aydin terkepal.
"Hukuman untuk Nona Rana, karena telah menghajar pelaku tanpa persetujuan Yang Mulia. Sudah menjadi protokol kami." Kepala keamanan istana berucap tegas, tidak ingin menjelaskan secara lebih lanjut. Seolah wajar bagi seorang pengawal anggota keluarga kerajaan dihukum sedemikian rupa ketika mereka lalai menjalankan tugas. Rana yang merupakan ketua tim saja terlihat kacau, apalagi anak bawahnya. "Kami sudah memutuskan semua tim keamanan yang bertugas untuk Tuan Putri Arnita saat kejadian berlangsung akan dimutasi keluar dari jajaran keamanan istana."
"Sebelum itu saya ingin bertanya sesuatu ke Nona Rana." Tangan Aydin terangkat, meminta kepala keamanan istana untuk diam sesaat. Tatapannya tertuju lurus pada Rana yang menatapnnya lekat-lekat, tidak merasa gentar sedikitpun. "Apa kamu menyesali perbuatanmu?"
"Tidak, Yang Mulia." Jawaban itu diucapkan Rana secara lugas dan jelas. Dagunya terangkat tinggi tak sedikitpun menundukkan wajah. Benar-benar tidak menyesali keputusannya menghajar habis-habisan pelaku ketika mereka belum bisa mengambil informasi apapun dari orang tersebut. "Saya menghajar pelaku karena ingin mendengar pengakuan darinya, tapi laki-laki itu tidak berhenti mengumpati Tuan Arnita dengan kata-kata tidak pantas."
"Sebagai seorang pengawal seharusnya kamu-"
"Tugas saya adalah menjaga keselamatan dan kehormatan milik Tuan Putri Arnita." Rana tak peduli jika ia akan dianggap tak sopan dengan memotong kalimat paman Aydin yang kini bergelar pangeran kedua. "Sudah sepantasnya saya melakukan hal demikian ketika hal itu terjadi."
"Memangnya dia mengatakan kalimat apa ke adik saya?" Kini giliran Nata yang menyahut, penasaran juga akan apa yang diucapkan pelaku hingga Rana terlihat sangat marah. Seingatnya orang tua Rana kerap membanggakan seberapa anak-anaknya selalu mengedepankan pemikiran logis ketika dihadapkan akan suatu masalah. Maka, ketika melihat Rana yang notabene anak kebanggaan dalam keluarga itu mengedepankan emosinya daripada logika, jelas ada hal besar yang sedang terjadi.
"p*****r dan kata-kata tidak pantas yang saya rasa tidak sopan untuk di dengar Yang Mulia."
Suara decakkan terdengar, pelakunya siapa lagi kalau bukan Aydin. Siapapun tau seberapa besar kasih sayang yang dimiliki sang Maharaja untuk adik perempuannya tersebut. Fakta bahwa seseorang berusaha mencelakainya saja sudah membuat kemarahan Aydin diubun-ubun apalagi mendengar kalau adiknya dikatai dengan kalimat tidak pantas. Tindakan Rana terasa pantas saja untuk dilakukan.
"Saya tidak menyetujui mutasi tersebut." Aydin berucap final, sukses membuat kepala keamanan istan hendak protes sebelum ia melanjutkan ucapannya. "Semua pasukan penjaga yang berjaga tadi akan saya pertahankan. Justru saya ingin susunan pasukan itu menjadi tetap. Karena kejadian tadi sudah membuktikan seberapa mereka berdedikasi untuk Tuan Putri."
"Yang Mulia-"
"Atau anda punya maksud lain untuk memutasi mereka semua?" Pertanyaan yang diucapkan dengan nada sedikit menuduh itu, membuat kepala keamanan istana langsung bungkam. Laki-laki itu akhirnya mengangguk, paham akan perintah sang Maharaja. Aydin menghela napas, lantas kembali berucap.
"Sekarang saya ingin semua orang di istana ini diselidiki secepat mungkin. Tanpa terkecuali."
***
"Nona, saya tidak apa-apa."
"Kak Rana, diem dulu!"
Rana hanya bisa pasrah, ketika tubuhnya kembali dipaksa terduduk di tepian tempat tidur milik sang putri. Ketika Arnita melihat Rana kembali dengan wajah sedikit babak belur, tuan putri satu itu nampak panik. Meminta pelayan membawakan kotak obat secepat mungkin. Itulah kenapa sekarang ia hanya bisa pasrah membiarkan Arnita mengobati luka-luka di wajahnya.
Andai saja sang tuan putri tau, kalau luka di wajah hanya hal-hal sederhana yang lumrah didapatkan seorang pengawal sebagai imbas kelalaian mereka menjaga keluarga kerajaan. Kalau Arnita tau dibalik seragamnya ada banyak lebam-lebam akibat pukulan dan tendangan, sudah pasti ia disuruh membuka pakaian dan seluruh tubuhnya diobati. Rana tidak ingin sang tuan putri semakin merasa bersalah.
"Terkadang, Nona Arnita mengingatkan saya akan Yang Mulia Aydin."
Kalimat yang diucapkan Rana barusan, membuat gerakan Arnita untuk sesaat terhenti. Arnita memang tau kalau Rana adalah sahabat yang dimiliki sang kakak ketika menempuh pendidikan di sekolah formal. Namun, perempuan itu selalu enggan menceritakan kehidupan sekolahnya seberapa keras pun Arnita membujuk. Maka, ketika Rana mulai bercerita secara sukarela sang Tuan Putri tidak akan menyia-nyiakan kesempatan tersebut.
"Memangnya aku kenapa?" tanya Arnita sembari pelan-pelan mengoleskan salep di beberapa luka lebam yang ada di wajah Rana.
"Dulu saya pernah tidak sengaja terkena bola yang ditendang Yang Mulia, di tengah jam olahraga." Rana tertawa kecil, teringat seberapa pucat muka Aydin ketika menyadari bola yang ia tendang sekuat tenaga bukannya masuk ke dalam gawang malah meleset mengenai wajahnya. Salahnya juga sih duduk di tepian lapangan bersama murid perempuan lain ketika tau seberapa beringas murid laki-laki di kelas mereka ketika bertanding sepak bola. "Wajah paniknya persis seperti Tuan Putri saat ini."
"Tendangan Kak Aydin seingatku selalu keras, Kak Rana nggak papa waktu itu?" Arnita berjengit ngeri mengingat seberapa keras tendangan yang dilakukan sang kakak setiap melihat kedua kakaknya bermain di sela-sela waktu senggang. Terutama Aydin yang seolah mengerahkan seluruh tenaganya untuk menendang bola yang ada.
"Saya mimisan kok."
Ekspresi Arnita berubah menjadi ngeri, tidak percaya Rana menceritakan pengalaman mengerikannya dengan senyuman berseri-seri. "Wajah saya merah banget waktu itu, kejadiannya cepat banget. Jadi saya cuman bengong aja setelah bola itu nyasar ke muka. Tau-tau darah netes dari hidung. Yang Mulia langsung bawa saya ke UKS."
"Itupun setelah gue janji bakal traktir lo makan siang."
Sahutan itu membuat keduanya menoleh. Mendapati Aydin sudah berdiri di ambang pintu kamar masih mengenakan pakaian formal. Nampaknya baru kembali dari rapat yang sempat tertunda karena insiden Arnita tadi siang. Aydin tersenyum, mengacak pelan rambut Arnita sebelum menatap setiap sisi wajah Rana secara seksama. "Sakit?"
"Nggak sesakit tendangan lo waktu itu sih." Jawaban Rana jelas bermaksud meledek, sukses membuat Arnita tertawa mendengarnya. Mengusap luka di sudut bibir kepala pengawalnya untuk terakhir kali, sebelum menyudahi pengobatan kecil yang ia lakukan. Rana mengusap pelan rambut Arnita. " Terima kasih ya Nita."
Aydin dapati adik bungsunya itu mengangguk dengan pipi memerah malu. Tidak terbiasa mendengar namanya dipanggil tanpa embel-embel gelar oleh orang lain selain keluarga. Adiknya itu selalu memperingatkan para pengawal dan pelayan untuk tidak memanggilnya sebagai 'tuan putri' atau menyebut namanya diiringi panggilan 'nona'. Ia ingin setiap orang yang bekerja untuknya bersikap selayaknya seorang teman atau menganggapnya sebagai seorang adik yang patut dijaga. Namun, kebanyakan orang enggan melakukan hal tersebut. Tindakan Rana barusan jelas membuat Arnita sedikit merasa senang.
"Luka lo nggak cuman di wajah sama tangan kan?"
Bibir Rana terkunci, menatap Aydin untuk waktu yang cukup lama sebelum akhirnya mengangguk kecil. Membenarkan dugaan yang disampaikan sang Maharaja. Tau kalau tidak ada gunanya juga ia berbohong pada laki-laki itu. "Dua atau tiga hari juga sembuh. Justru kondisi gue lebih baik dibanding pengawal lain."
"Gue mau minta tolong," ucap Aydin berbisik setelah memastikan adiknya berada dalam jarak cukup aman hingga tak bisa mendengar pembicaraan mereka. "Tim penyelidik yang dibentuk ayah gue dulu, nggak pernah berhasil mengungkap siapa dan apa motif dari kelompok Mawar Berduri. Jadi gue mau lo selidikin itu diam-diam."
Sebuah plakat akrilik seukuran telapak tangan berukir simbol kerajaan berwarna merah berpadu putih, Aydin letakkan di tangan Rana. Gadis itu tau betul plakat apa itu. Sebuah tanda yang diberikan seorang maharaja ketika mereka memberi akses penuh seseorang akan segala arsip dan tempat yang ada di seluruh negeri. Itu artinya, Rana bisa menembus setiap tempat dan mencari informasi apapun tanpa dihalangi siapapun. Ia melirik Aydin yang entah kenapa terlihat resah.
"Untuk saat ini gue cuman bisa percaya sama lo. Jadi bentuk sendiri tim lo, dan tolong bawa semua informasi soal Mawar Berduri yang bisa lo kumpulin." Aydin menahan napas, entah kenapa merasa berat mengatakan kalimatnya.
"Entah kenapa gue merasa, orang di dalam istana berkaitan dengan kejadian ini."
TBC