PART 12 - ATASAN GILA

1711 Words
Seminggu sebelumnya. Sebelum kesengsaraan menimpa Jamal!! Langkah kaki itu beriringan dengan napasnya yang memburu. Mungkin hanya perasaanya saja, tapi sepertinya gedung tempatnya semakin lama semakin bergerak menjauh. Ia sudah berlari kencang tapi gak juga sampai pintu masuk!! Ia yakin kali ini pasti terlambat. Salahkan dirinya yang tak bisa tidur karena kebanyakan berkhayal. Astaga! Gadis dengan rambut panjang dikuncir itu mengerang. Kebanyakan nonton sinetron di televisi membuatnya mengkhayal yang tidak-tidak. Selalu membandingkan hidupnya dengan orang yang ada di televisi. Berharap suatu hari akan bertemu lelaki tampan, gagah dan tajir, yang pasti akan membuat hidupnya enak. Tak perlu lagi bekerja dan tak perlu lagi dibentak seperti ini. “Freya Ivanka!” Teriakan itu membuat langkah Freya berhenti, suara yang sangat familiar sekali, karena seperti biasa teriakan itu bak simpony indah yang mengalun di telinganya. Ibarat di rumah ia sudah terbiasa mendengar musik jaipong, maka di sini ia harus menyesuaikan dengan musik rock n roll. Terkecuali di rumah Jamal, ia harus terbiasa dengan musik dangdut yang diselingi house musik yang membuatnya nyaris ikut bergoyang. Bedanya di rumah Jamal, ia akan melihat Mak Jamal lenggak-lenggok ikutan bergoyang mengiringi irama. Mau protes gak mungkin, gak protes kasihan . Bukan apa! Mak Jamal itu orangnya baik sekali, tapi kalau berjoget mirip ondel-ondel yang keliling kampung minta sumbangan. Semula Freya sebodo amat, tapi ketika mendengar tukang kreditan berucap tentang Mak Jamal, mau gak mau Freya geleng kepala sambil meringis pilu. “Neng, itu Maknya kasih tahu jangan joget gitu. Udah berumur, harusnya setel qasidahan di rumah, atau minimal marawisan, biar setan di rumah pada ilang lenyap dan gak betah balik lagi.” Andai Mak Jamal tahu jika rumahnya dibilang ada setan, bisa dipastikan kepala kang kredit bakal kena timpuk mic yang dia pegang. Masa iya rumah ada setan, sedang yang ada di rumah itu kan penghuninya cuma Jamal dan Maknya aja. Stop pembahasan Mak Jamal dan anaknya. Kini Freya fokus pada teriakan semula. Ia masih mematung demi mempersiapkan telinga untuk ceramahan yang akan datang sebentar lagi. “Jam berapa ini!” Kini teriakan itu seiring dengan sepatu yang berbunyi nyaring menghampiri tempatnya berdiri. Freya yakin sepatu itu tingginya pasti lebih dari lima centi. Demi apa atasannya yang pendek gemuk ini ingin terlihat tinggi bak peragawati? Pastinya demi sebuah penampilan! Padahal belum lama ia kesleo kakinya dan ribut besar menyalahkan semua pelayan di sini. Jelas-jelas semua salahnya yang berjalan gak lihat-lihat sekitar. Berjalan layaknya peragawati di catwalk. Mungkin walaupun benar cocoknya wanita ini peragakan kostum musim banjir! Hah! Membayangkan tubuh mungil gendut itu berjalan dan terbelit kabel lalu jatuh menimpa rak dan tergulung baju yang banyak bergantung, membuat Freya ingin sekali terbahak. Tahan Yaya! Kamu gak mungkin tertawa di depan orang yang tengah bersiap memarahimu bukan? “Saya tanya jam berapa ini?” Kembali pertanyaan yang kali ini diiringi tatapan emosi tampak di depan Freya. Sita, kepala divisi Freya menatap dengan mata menyipit. Hidungnya kembang kempis layaknya banteng yang siap menyeruduk. Bibirnya manyun disertai polesan menor karena lipstik warna merah terang menyala. Penampilannya semakin menyeramkan. Ups! Freya! Dilarang hina orang! Freya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Maaf bu, saya tidak melihat jam, karena saya tidak pakai jam tangan.” Wajahnya ikutan menyeringai lemas, tak lupa ia memperlihatkan lengannya yang memang tidak memakai jam tangan. Bukan tidak suka, tapi memang ia tak mampu beli! Mubazir ketika tangan memakai jam dan harus rusak akibat terkena air. Mending dia belikan bakso dan perutnya kenyang, bukan? “Lalu kenapa kamu terlambat hari ini?” Freya melirik ke arah belakang tubuh Sita demi bertemu mata Lola temannya yang berucap tanpa kata. Tapi Freya bisa membaca ketika bibir Lola bergerak mampus. “Hmmm saya ... saya ....” Masih mencari alasan, itu yang Freya lakukan sekarang ini. “Kenapa dengan saya?” selidik Sita yang sebenarnya sangat tidak menyukai keberadaan gadis di gedung departemen store ini. Yah, katakanlah Sita membenci Freya karena gadis ini bisa membuat mata kekasihnya berpaling dari dirinya. Padahal apa hebatnya gadis ini selain ceroboh, pelupa, dan bodoh mendekati sedikit dungu. Kelebihan wanita ini hanya satu, ia masih muda dibandingkan dirinya! “Ah.” Seketika ide mampir di kepala Freya. “Nenek saya sakit.” Senyum terbit di bibir Freya demi ide yang ia temukan secara mendadak. “Nenek kamu sakit?” Sita menyeringai. Freya mengangguk. Gak salah kan alasannya? Dan ia menganga ketika melihat Lola mencekik lehernya sendiri. “Kamu bilang nenek kamu hilang.” Mampus! Beneran gue mampus ini! “Ya, iya sih. Memang he he he. Nenek saya hilang.” “Hilang apa pergi dari rumah?” Freya melihat Lola menutup mulutnya. Menahan tawa. “Ah itu-itu.” Aduh, kemarin gue alasan nenek itu kenapa ya, hilang, pergi apa minggat? Duh itukan sama aja artinya, kenapa dibuat susah! Sita melipat tangan di depan d**a. “Sebenarnya nenek kamu itu hilang apa pergi dari rumah sih?” Sita menikmati sekali raut wajah Freya. Ini kenapa jadi bahas nenek ya. Telat masuk doang padahal, cuma lima belas menit aja padahal! “Ng … itu gini bu, nenek saya memang hilang dari rumah tapi bukan berarti menghilang ya. Karena nenek saya gak punya ilmu menghilang.” Freya menggigit bibirnya ragu. “Jadi saya anggap dia pergi dari rumah, semacam minggat karena saya juga gak tahu dia dimana? Ya ampun saya sedih banget bu, cuma nenek yang saya miliki di dunia ini.” Raut wajahnya dibuat semenderita mungkin. “Kalau memang nenek kamu pergi, hilang atau minggat sekalipun, terus kenapa kamu bilang tadi kesiangan karena nenek kamu sakit?” Menghembuskan napas sekali sambil berusaha tersenyum padahal hati ketar-ketir, Freya menjalin jemarinya. “Hmm ya kan nenek gak sama saya bu.Yah siapa tahu dia sakit. Jadi ... semalaman saya mikirin nenek terus dan saya tidur malam lalu kesiangan.” Sita mendengus. Ia tahu gadis ini pintar berbohong. Alasan yang selalu dicari-cari. “Saya kasih peringatan sekali lagi, awas ya kalau sampai kamu kesiangan lagi. Terpaksa saya kasih surat peringatan kamu.” “Baik bu. Terima kasih.” Freya menghela napas. “Ya sudah, terus untuk apa masih berdiri di sini? Cepat sana ganti seragam!” “Baik-baik bu.” Tanpa menunggu lama, Freya langsung berlari ke ruang ganti. Dasar atasan gila! Perasaan sama aku marahnya luar biasa! Pilih kasih banget sih! Dengan bergegas ia mengganti kostum. “Aduh, gara-gara ngayal yang gak-gak kesiangan deh gue.” “Emang lo ngayal apa Ya?” Pertanyaan dari belakang tubuh Freya membuat gadis itu tersentak. “Lola? Lo buat gue kaget aja. Untung gue gak jantungan.” “Lah lo kan biasa jantungan, tapi gak mati-mati.” Lola terkikik. Freya melotot tak terima. “Lo nyumpahi gue mati? Teman macam apa sih lo.” “Lipstik lo.” Mata Freya berbinar. Lipstik yang sudah sangat lama ia idamkan. Ia tidak jadi marah. “Empat kali bayar ya La.” Mata Freya sontak meredup. “Hmm jangan absen, kena bunga.” Kepala Freya menggeleng. “Ya ampun sama teman juga.” “Duit is duit. Hutang is hutang. Gak ada teman apalagi saudara. Ingat, kita gak ada hubungan darah sama sekali. Emak lo sama gue beda, bapak lo juga, nenek dan kakek lo juga.” Freya menyeringai. “Giliran masalah duit aja gak ada hubungan saudara, giliran perlu aja-“ “Jadi lo gak mau lipstiknya.” “Eh mau-mau.” Buru-buru Freya tersenyum. Repot kalau diambil lagi sama Lola. “Gue coba pake ya.” Dengan memonyongkan bibirnya Freya memoles perlahan warna maroon ke bibirnya. “Cantik gak gue?” Ia menoleh ke kanan dan ke kiri. “Sudah buruan, nanti kena tegur lagi.” Membenarkan apa kata Lola, membuat Freya bergegas keluar. Bisa repot kena omel lagi. Hari ini ia menjaga stand pakaian laki-laki. Seperti biasa, menjaga stand pakaian laki-laki harus extra sabar ketika bertemu pembeli iseng. Padahal Freya berharap ada pembeli yang tampan, kaya dan baik hati yang awalnya bertanya-tanya lalu membeli barang dan mereka bertukar nomor telepon, dan hubungan berlanjut di luar toko. Hah! Ngayal terus Yaya! Sepertinya ia harus ganti pekerjaan. Menjaga barang-barang branded, tidak seperti barang murahan begini. Mana ada orang kaya belanja barang murahan gini. “Ayo kakak dilihat barangnya, barangkali cocok.” “Gak apa lihat doang juga. Habis lihat kan bisa diraba terus cocok dan dibawa pulang.” Begitulah Freya mulai mencari pembeli. Tak lupa senyum manis ia persembahkan. Sekalipun lalu lalang orang silih berganti, tapi tak ada yang beli. Minimal memilih. “Kalau mbaknya boleh aku lihat?” tanya seorang laki-laki. Freya yakin hidung belang. Tak perlu ia ragukan lagi, walau saat matanya mendelik lelaki itu malah mengulum senyum. “Aku kan sudah terlihat Mas, emang Mas gak kelihatan?” Walau ingin sekali ia sembur dengan air comberan, tapi Freya tetap mengedepankan kesopanan. “Kalau sudah terlihat, boleh aku raba dan aku bawa pulang?” Hah! Freya menganga. “Mas yakin mau bawa pulang aku? Anak aku lima lho mas, dari tiga bapak.” Seketika lelaki itu menggeleng, dan beranjak pergi. “Dasar pepede!” gerutu Freya. “Apa tuh Ya pepede?” Lola bertanya sambil merapikan baju yang sudah dilihat tapi tidak jadi dibeli. Resiko jadi SPG pakaian ya begini, merapikan pakaian yang sudah di acak-acak pembeli yang gak beli tapi hanya melihat-lihat. “Pegang-pegang doang, alias kere gak punya duit.” Lola terkikik geli. Tak lama Pak Yanto sang manajer mendekat. “Selamat siang semua.” Lelaki ini aslinya ramah, alias rajin menjamah. Wajahnya yang sudah memasuki usia empat puluh harusnya semakin bersahaja, bukan semakin liar menatap para karyawannya dengan mata berkilat nakal. Sayangnya Freya sudah paham istilah itu. Jadi ketika lelaki bernama lengkap Puryanto yang biasa dipanggil Pak Yanto mendekat, Freya langsung menjaga jarak. “Selamat siang juga pak.” Serentak Freya dan Lola menjawab. “Saya dengar kamu kesiangan lagi, Freya?” Freya melirik Lola bingung. Pasti dapat aduan dari Bu Sita. “Oh, maaf Pak. Saya kesiangan karena memikirkan nenek saya yang menghilang.” “Tapi saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Beneran.” Janji yang seringkali Freya ucapkan dan juga dilanggar. Beruntung Pak Yanto pelupa, tapi tidak dengan atasannya yang sering mencari muka. Siapa lagi kalau bukan Bu Sita. “Kan saya sudah bilang kalau saya bisa membantu kamu." Yanto menjeda ucapannya demi sebuah senyum yang ia berikan pada gadis cantik ini. Lalu tatapannya melahap habis Freya dari ujung rambut hingga ujung kaki. "Asalkan ... kamu mau menginap semalam bersama saya."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD