Aku masih bisa mendengar kekacauan yang terjadi di lorong apartemen ketika aku menjatuhkan diri di sofa dan menutup mataku dengan lengan. Aku butuh menenangkan diri sejenak.
Ini kenyataan. Benar-benar kenyataan. Jika ini semua hanya mimpi aku tidak mungkin mendapatkan sakit kepala seperti ini.
Abangku, Alaxander Kim dan istrinya mengelola sebuah rumah peternakan setelah mereka menikah. Alec mewarisi rumah peternakan itu dari mertuanya. Letaknya di Piedmont, Virginia. Sedangkan orangtuaku tinggal di Queens dan aku tinggal di apartemen sendiri di Brooklyn...
Dan informasi untuk diriku sendiri, aku tidak punya mobil dan tidak pernah menimbang untuk memilikinya juga. Pertama, karena aku tinggal di New York. Kedua, karena aku jarang sekali keluar rumah.
Ibu mungkin benar. Mungkin aku harus ikut bersama mereka ke rumah peternakan abangku. Seingatku rumah peternakan bernilai jutaan dolar Alec itu betul-betul terletak di antah-berantah dan hanya ditemani oleh sapi, ayam, dan kebun anggur.
Tapi pertama-tama bagaimana caranya aku bisa keluar dari sini?
Rasanya aku tidak bisa terus seperti ini. Jadi aku kembali memeriksa apa yang terjadi di luar gedung apartemen. Aku hanya bisa melihat sekelebat apa yang terjadi di jalan utama. Hanya dari itu aku bisa katakan di sana benar-benar kacau. Seorang pria dengan pakaian sangat kotor mencoba menembaki kumpulan zombi dengan senapan. Tapi seperti yang sudah diduga ia kalah jumlah dan ia sudah kehabisan peluru. Pria itu tampak panik dan mulai berlari dengan para zombi yang menyusul rapat di belakangnya.
Aku terlalu serius menyaksikan kejadian itu membuatku berjengit keras begitu mendengar suara keras yang bedentum sangat dekat. Ketika aku menyadari dari mana suara itu berasal, membuatku membeku di tempat. Seseorang tengah mencoba mendobrak pintu apartemenku dengan sangat keras. Begitu aku mendapatkan kembali kesadaranku aku mengambil pisau pemisah daging yang terletak di konter dapur.
Walau aku benci sekali ketika ibu mengatakannya, tapi untuk saat ini satu-satunya senjata yang aku punyai hanyalah pisau-pisau. Dan pisau yang tengah aku pegang saat ini bisa dipakai untuk memisahkan daging dari tulangnya.
Aku hanya butuh cukup cepat untuk dapat melakukannya.
Siapapun yang tengah mencoba mendobrak itu sudah kehilangan banyak tenaga dan tidak berpengalaman. (Kenapa pula aku pikir ia memiliki pengalaman mendobrak pintu?) Aku bersyukur mengingat pertama kali ketika aku membawa ayah ke apartemen ini. Ia membawa seluruh peralatannya. Sepanjang ia bekerja memperbaiki kunci-kunci yang ada di setiap pintu dan jendela ia menggerutu tentang aku yang sama sekali tidak tahu tentang “pekerjaan pria.” Sebagai ucapan terimakasih aku selalu memastikan aku mengunci setiap pintu dan jendela dengan baik. Apalagi setelah aku memulai pekerjaan sebagai food blogger. Aku tidak ingin seorang follower fanatik mencoba menerebos masuk ke sini.
Maksudku aku juga tidak tahu followers seperti apa yang aku miliki di luar sana.
“Dengan wajah seperti itu, aku yakin orang-orang berpikir kau mudah dirampok.” Ayah berkomentar setelah ia selesai memasang kunci-kunci itu. Tidak lupa ia juga memberiku ekspresi datar sebagai bonus.
Aku ingat hari itu aku cukup tersinggung, namun sekarang aku hanya ingin memeluk erat beliau.
Perlahan aku mendekat ke arah pintu yang untungnya masih tidak bergeming sama sekali. Sayup-sayup aku mendengar suara wanita bergetar, “Ia mungkin sudah pergi. Sebaiknya kita pergi saja...”
“Tapi ia pasti masih punya beberapa makanan yang tertinggal atau apapun yang bisa kita makan di dalam sana!” sahut seorang pria diikuti oleh sebuah dobrakan lebih lemah. Membuatku berjengit, mundur selangkah. Pisau masih teracung di depan tubuh.
“Tinggalkan saja, oke? Ayolah, kita harus bergegas!”
Aku bisa mendengar sang pria bersumpah-serapah sebelum suaranya dengan cepat menjauh, “Aku tahu kau menyukainya. Aku pernah melihatmu menonton salah satu videonya.”
Setelah aku yakin mereka telah cukup jauh. Aku menurunkan pisau dari depan tubuh kemudian menarik napas panjang. Aku bahkan bisa mendengar denyut nadiku yang bedenyut-denyut di dekat telinga.
Pintuku masih utuh. Aku hanya berdoa ia tetap dalam keadaan seperti itu hingga aku bisa memutuskan apa yang ingin aku lakukan untuk hidupku. Karena aku tahu mau mau tidak mau aku harus segera keluar dari sini sebelum semuanya terlambat.
***