Satu

2661 Words
Senin (16.27), 22 Maret 2021 ------------------------ Carissa menggerutu sambil membawa setumpuk berkas dengan kedua tangannya. Kalau bukan karena permintaan sang Papa, Carissa tidak akan sudi magang di perusahaan Green Land Property Tbk., tempat Fachmi Aditama Effendi menjadi bosnya. Menurut Carissa, tidak ada lelaki yang kelakuannya lebih b***t dari seorang Fachmi. Entah sudah berapa kali Carissa memergoki lelaki yang sepuluh tahun lebih tua darinya itu berciuman dengan kekasihnya yang selalu berganti tiap hari. Dan Carissa semakin tidak menyukai Fachmi setelah tahu bahwa lelaki itu seorang pemberi harapan palsu. Sudah beberapa kali dia hendak bertunangan tapi mendadak dia membatalkannya tanpa alasan yang jelas. Bahkan Carissa pernah melihat sendiri seorang calon tunangan Fachmi berlutut di bawah kaki lelaki itu, memohon agar rencana pertunangan mereka tidak dibatalkan. Namun dengan tanpa perasaan, Fachmi menyuruh tim keamanannya menyeret wanita itu pergi. Carissa menghela napas. Mengingat kelakuan Fachmi selalu membuat emosi Carissa memuncak. Akhirnya dia menggeleng pelan, mengenyahkan bayangan si bos, lalu bergegas menuju ruangan si tuan besar Fachmi untuk meminta tanda tangan. Klek. Susah payah Carissa membuka pintu karena kedua tangannya penuh. Begitu pintu terbuka, Carissa segera masuk. “Sudah berapa kali kubilang, ketuk pintu dulu.” Sejenak Carissa tertegun mendapat teguran dari Fachmi yang sedang duduk di balik meja besarnya. Tapi lalu dia hanya mengangkat bahu, meneruskan langkah ke hadapan Fachmi lalu meletakkan tumpukan berkas dengan kasar di meja. BRUKK. Gerakan Fachmi yang tampak sedang menulis sesuatu berhenti. Dia mendongak, menatap tajam mata kecokelatan di hadapannya. “Jangan karena kau putri sahabat Papaku, aku akan mengistimewakan dirimu. Jadi, bersikaplah yang sopan padaku.” Nada suara Fachmi terdengar dingin. Ingin sekali Carissa mendengus kesal. Tapi dia menahan diri karena tidak ingin nilainya buruk. Dia bukannya tidak tahu cara bersikap sopan pada atasannya. Yang membuat Carissa tidak suka adalah fakta Fachmi ingin dirinya mengetuk pintu dulu sebelum masuk agar tidak memergoki si bos sinting itu saat sedang bermesraan dengan seseorang. Ya, Carissa pernah memergokinya. Beberapa kali malah. Itu juga yang membuat Carissa semakin tidak ingin mengetuk pintu sebelum masuk. Biar saja semua orang tahu bagaimana kelakuan si tua m***m ini. Carissa mencoba menampilkan senyum lalu menanggapi ucapan Fachmi tadi. “Iya, Pak. Maaf atas kelancangan saya.” “Kedengarannya kau tidak benar-benar menyesal.” Memang. “Saya benar-benar menyesal.” Salah satu alis Fachmi terangkat tidak percaya. “Baiklah, terserah.” “Kalau begitu saya permisi dulu.” “Tunggu!” Carissa yang hendak berbalik, urung melakukannya. Dia kembali berdiri di depan meja Fachmi, menunggu apa yang akan dikatakan si bos. Fachmi tidak langsung mengutarakan maksudnya. Dia meletakkan bolpoin di atas meja, lalu bersandar dengan nyaman di sandaran kursi, masih dengan tatapan lurus ke arah Carissa. “Apa kau tidak keberatan tinggal di apartemen?” “Hah?” “Kalau ada yang mengajakmu tinggal di apartemen, apa kau tidak keberatan?” Fachmi berusaha menyamarkan pertanyaannya. Kening Carissa berkerut. Dia tidak paham mengapa Fachmi bertanya demikian tapi tetap berusaha menjawab. “Saya akan senang sekali. Sudah lama saya ingin tinggal di sebuah apartemen. Bahkan salah seorang teman pernah mengajak saya tinggal di apartemennya. Tapi Papa dan Mama melarang.” Nada suara Carissa berubah kesal mengingat betapa orang tuanya overprotective padanya. Jangan begini, jangan begitu. Membuat Carissa merasa tertekan. “Baguslah.” “Bagus?” Fachmi mengabaikan pertanyaan Carissa dan bertanya hal lain. “Apa Papamu tidak mengatakan sesuatu padamu?” “Mengatakan apa? Papa selalu banyak bicara, terutama mengenai larangan-larangan yang dia buat untuk saya.” Bibir Carissa mengerucut kesal. Fachmi tersenyum. Senyum manis yang entah mengapa membuat jantung Carissa berdetak lebih kencang dari biasa. “Itu karena dia menyayangimu.” Carissa tidak langsung menanggapi. Perhatiannya masih tertuju pada bibir Fachmi yang memang jarang menampilkan senyum, selain senyum sinis atau mengejek. Lalu mendadak dia seperti tersadar. Mengapa pembicaraan ini jadi terasa sangat pribadi? Padahal mereka berdua nyaris tidak pernah bicara selain urusan pekerjaan. Bahkan bisa dibilang, Carissa dan Fachmi tidak pernah berinteraksi secara langsung meski keduanya kerap kali bertemu mengingat betapa akrabnya orang tua mereka. Carissa hanya tahu Fachmi dari pengamatan jarak jauh dan cerita orang-orang sekitar. Begitu pula Fachmi, hanya tahu Carissa dari pengamatan dan cerita orang tuanya. Berbeda dengan Farrel, Carissa cukup akrab dengan adik kembar Fachmi itu. Dia bahkan tidak segan merengek jika menginginkan sesuatu dari Farrel karena sudah menganggap lelaki itu kakaknya sendiri. “Hm, sepertinya saya harus kembali bekerja. Anda benar, saya harus bersikap layaknya pegawai yang sebenarnya.” Buru-buru Carissa berbalik lalu berjalan cepat menuju pintu. Fachmi tidak mencegah. Hanya memperhatikan punggung Carissa yang semakin menjauh. Sadar betul gadis itu tidak nyaman dengan pembicaraan mereka. Fachmi tersenyum seraya meraih bolpoinnya kembali. Sudah hampir satu bulan berlalu sejak ia mengusulkan pernikahan untuk Carissa. Usulan asal yang ternyata mendapat persetujuan dari keluarga besar Fachmi dan Carissa. Dan setahu Fachmi, persiapan pesta pernikahan sudah hampir selesai. Tinggal menyebar undangan beberapa hari lagi. Tapi lucunya, sampai detik ini sang calon mempelai wanita belum tahu bahwa dirinya akan menikah. Benar-benar pernikahan konyol dan tidak disengaja. Bahkan Fachmi sendiri masih tidak percaya bahwa dirinya sebentar lagi akan menikah. *** Carissa mendesah lega begitu pekerjaannya selesai. Padahal dirinya hanya siswa magang, tapi ternyata kebagian lembur juga. Ada banyak kumpulan data yang harus dia rekap dan hasilnya diminta besok pagi. Jadi tidak ada waktu selain menyelesaikannya hari ini. Selesai berkemas, Carissa berpamitan pada beberapa pegawai lain yang juga terpaksa lembur. Meskipun Carissa tergolong gadis yang suka berkelahi dan melakukan kegiatan yang memacu adrenalin, namun dia tahu caranya bersopan santun. Dengan santai Carissa berjalan menuju lift. Tapi tiba-tiba sebuah tangan mencekal lengannya, membuat Carissa refleks hendak melayangkan tinju dengan tangan yang lain. Tapi ternyata, orang di depannya juga bergerak sigap dan tepat waktu menggenggam pergelangan tangan Carissa yang sudah siap dengan tinjunya. “Wow! Nyaris saja hidungku patah.” Suara maskulin yang familiar itu membuat Carissa terkesiap. Segera dia menarik tangannya lalu menyatukannya di depan dengan sikap memohon. “Maaf, tapi salah Anda juga yang muncul tiba-tiba.” Fachmi berdecak. “Kau minta maaf tapi juga meyalahkan.” “Memang Anda yang salah.” “Baiklah, aku yang salah.” Mata Fachmi berkilat geli melihat bibir Carissa mengerucut kesal. “Kita gunakan lift khusus direksi saja. Aku akan mengantarmu pulang.” “Kenapa?” selama bekerja di sini, tidak pernah sekalipun Fachmi menawarkan tumpangan padanya. “Saya bawa motor.” “Sudah malam.” Tanpa penjelasan lebih lanjut, Fachmi kembali mencekal pergelangan tangan Carissa lalu menariknya menuju lift khusus direksi. Meski masih merasa heran, Carissa menurut saja. Dia membuntuti Fachmi ke dalam lift lalu menunggu lift tersebut membawa mereka berdua ke lantai dasar. “Kalau saya meninggalkan motor di sini, besok saya naik apa?” akhirnya Carissa kembali bersuara. “Aku akan menjemputmu.” Mata Carissa melebar lalu dia menoleh ke arah Fachmi, menatap lelaki itu dari samping. “Rumah kita tidak searah. Anda pasti akan repot.” “Kenapa padaku kau takut merepotkan tapi pada Farrel kau senang sekali merepotkan?” tanpa bisa dicegah, nada suara Fachmi terdengar ketus. “Itu—itu karena…” Karena kita memang tidak sedekat itu, dasar si tua m***m. “Eh, Anda tidak bersama kekasih Anda hari ini?” Fachmi tersenyum miring menyadari Carissa mengalihkan pembicaraan. “Ternyata kau cukup memperhatikanku.” “Bukan begitu. Sudah rahasia umum bahwa Anda memiliki banyak kekasih yang selalu berganti tiap hari—ups!” Carissa menutup mulut dengan satu tangan menyadari kelancangannya. Saat itulah dia baru menyadari bahwa tangannya yang lain masih berada dalam genggaman Fachmi. “Begitu, ya. Jadi saat tidak sedang bekerja, kalian menggosipkan bos kalian.” “Tidak setiap hari kok.” Carissa meringis. Tampaknya mulut Carissa butuh saringan. Fachmi terkekeh. Lalu yang tidak Carissa duga, dengan tangannya yang bebas lelaki itu mengacak lembut rambut Carissa. DEG. Jantung Carissa seolah berhenti. Tapi momen itu tidak berlangsung lama karena pintu lift terbuka dan Fachmi kembali menarik lembut tangan Carissa. Mereka menyusuri lobby kantor dalam hening, menuju parkiran khusus untuk para petinggi perusahaan. Sampai di mobil, mendadak Carissa jadi salah tingkah melihat Fachmi membukakan pintu untuknya lalu menunggunya masuk. Baru setelahnya Fachmi masuk ke sisi pengemudi. “Pakai sabuk pengamanmu!” “Oh!” buru-buru Carissa memakai sabuk pengaman lalu duduk dengan gelisah. Kedua tangannya saling meremas di pangkuan. Entah mengapa Carissa merasa sikap Fachmi berubah. Lelaki yang biasanya cenderung mengabaikan dirinya itu mendadak jadi sangat perhatian. Bahkan tanpa bisa dicegah, Carissa menurut saja atas ajakan dan perintahnya. Padahal biasanya Carissa adalah seorang pembangkang. Jangankan orang lain, orang tuanya saja sering tidak ia turuti nasihatnya. “Mau makan dulu sebelum pulang?” Fachmi bertanya, memecah keheningan. Buru-buru Carissa menggeleng. “Tidak, langsung pulang saja.” Makan malam berdua? Rasanya seperti kencan. Fachmi hanya mengangguk kecil. “Kau tahu alamat apartemenku?” Kening Carissa berkerut tidak mengerti lalu ia menggeleng. “Tidak.” “Nanti kukirimkan alamat apartemenku,” ujar Fachmi santai, tanpa melirik Carissa. “Untuk apa?” Carissa terbelalak. “Kalau kau butuh bertemu denganku, kau tahu di mana menemukanku.” Carissa menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Terserahlah. Toh Carissa tidak pernah memberikan nomor ponselnya pada Fachmi. Setelah itu tidak ada lagi yang mereka bicarakan. Keduanya sama-sama tenggelam dalam pikiran masing-masing. *** “Terima kasih.” Carissa berkata canggung setelah Fachmi membukakan pintu lalu ia turun. “Kau tidak menawariku mampir?” tanya Fachmi dengan kilat geli di matanya, namun raut wajahnya tetap datar. Carissa terbelalak. “Eh, itu—” Lalu senyum itu lagi. Senyum yang entah mengapa seolah memporak-porandakan perasaan Carissa. “Lupakan. Aku pulang dulu.” Kemudian Fachmi kembali ke mobil, menyalakannya lalu melaju pergi. Meninggalkan Carissa yang masih membeku di tempat. Ada apa dengan si tua m***m itu? Apa dia salah memakan sesuatu saat sarapan tadi pagi? Menggeleng pelan, Carissa masuk ke rumah melalui pintu dekat pos jaga. Sejenak ia tersenyum pada satpam yang membukakan pintu. Di dalam rumah, tampak Alan dan Destia sudah menunggu di ruang tengah. “Sayang, kamu tidak terluka lagi, kan?” tanya Destia cemas seraya menghampiri putrinya lalu memperhatikannya dengan seksama. Carissa berdecak. “Tadi kan Carissa sudah kirim pesan harus lembur malam ini.” Destia mendesah. “Mama hanya khawatir kamu mampir ke suatu tempat.” Sebelum Carissa sempat mengatakan sesuatu, Alan lebih dulu berkata, “Carissa, duduk sini. Papa ingin mengatakan sesuatu.” Carissa menahan dengusannya. Pasti lagi-lagi berhubungan dengan larangan ini dan larangan itu. Apa Papanya tidak pernah merasa lelah? Dengan langkah lesu, Carissa duduk di kursi tunggal di hadapan kedua orang tuanya sementara ranselnya ia letakkan di pangkuan. “Carissa, kamu tahu Papa dan Mama menyayangimu, kan?” Alan memulai. Carissa hanya mengangguk. “Rasanya kami akan terkena serangan jantung mendadak tiap kali melihatmu terluka.” Carissa mendesah pelan. Selalu saja tentang hal ini. apa salahnya kalau dia memiliki hobby? Mungkin hobbynya memang tidak biasa bagi seorang gadis. Tapi tetap saja, itu adalah apa yang Carissa sukai. Toh dia tidak merugikan orang lain atau membuat orang tuanya malu. “Tapi kamu selalu menganggap larangan kami berlebihan,” lanjut Alan. “Padahal Papa dan Mama hanya tidak ingin kehilanganmu seperti kehilangan Kakakmu.” Mendadak suara Alan berubah serak. Sementara Destia yang duduk di sebelah Alan diam-diam menyusut air mata. Jemari Carissa saling meremas. Orang tuanya selalu begitu. Menjadikan kematian sang Kakak sebagai pembenaran untuk mengurung dirinya dalam sangkar emas. Tidak jauh beda dengan Carissa, Clara juga menyukai kegiatan yang memacu adrenalin. Gadis yang lebih tua delapan tahun dari Carissa itu terlempar ke dalam sungai dalam aksinya bermain arung jeram. Dia meninggal seketika, di usia yang baru menginjak delapan belas tahun karena kepalanya tepat menghantam bebatuan sungai. Carissa mengerti ketakutan orang tuanya. Tapi rasanya berlebihan sampai melarangnya melakukan berbagai hal yang dia sukai. “Karena itu kami sudah membuat keputusan demi masa depanmu.” Carissa yang semula hanya menunduk, perlahan mendongak mendengar nada final dalam suara Papanya. Mendadak perasaan takut merambati hati Carissa melihat sorot mata sang Papa yang begitu serius. “Kamu akan menikah satu minggu lagi.” DEG. Seperti ada bom yang meledak tepat di jantung Carissa, membuat pendengarannya menjadi pekak. Matanya melebar tidak percaya dan bibirnya terbuka, berpikir pasti dirinya salah dengar. “Tadi—Papa bilang apa?” Kali ini sorot mata Alan tidak lembut seperti biasa, saat ia kerap memberi Carissa banyak nasihat. Alan menatap tajam, serius, pertanda dia tidak mau dibantah. “Papa sudah menyiapkan pesta pernikahan untukmu.” “Papa bercanda, kan?” tanya Carissa dengan nada lemah. “Sama sekali tidak.” Mendadak rasa panas menusuk mata Carissa. Dia ingin menangis keras. Dia merasa Papanya berusaha melemparnya ke sangkar lain karena sangkar emas milik sang Papa tidak berhasil mengurung Carissa. Memangnya dia tidak boleh memilih untuk masa depannya? Tega sekali sang Papa melakukan hal ini. “Siapa?” Lalu Carissa bertanya dengan suara lebih keras. “Siapa lelaki yang Papa pilihkan untukku? Yang menurut Papa sanggup menahanku dalam kurungan.” Alan menghela napas berat. “Fachmi Aditama Effendi, putra Om Rafka.” DEG. “Apa?” pertanyaan itu hanya berupa bisikan tidak percaya. Fachmi? Fachmi si tua m***m yang mendadak sok baik padanya? Apa sang Papa sedang menghukumnya? Karena selama ini Carissa tidak pernah menurut perintah Papanya, jadi dia menghukum Carissa dengan cara seperti ini. Melempar dirinya ke mulut buaya yang siap mencabik-cabik tubuhnya sebelum makan dengan lahap. Menikah di usia semuda ini sudah terdengar amat mengerikan di telinga Carissa. Ditambah lagi calon suaminya adalah Fachmi. Bahkan wanita dewasa dengan otak waras pastilah akan berpikir panjang dulu sebelum menerima pinangannya. Belum menikah saja seorang Fachmi bisa dengan tega mempermainkan perasaan banyak wanita. Apalagi setelah menikah. Mungkin terasa semakin menyenangkan baginya karena bisa selingkuh dari istri. Mendadak Carissa berdiri seraya menghapus dengan kasar air mata di pipinya. “Kenapa harus melakukan ini jika Papa dan Mama ingin Carissa pergi? Bilang saja, dan dengan senang hati Carissa akan keluar dari rumah ini.” “Tidak, sayang. Bukan seperti itu.” Destia berkata dengan suara serak. Kembali Carissa menyusut air matanya. “Kalian tidak perlu repot mengeluarkan biaya untuk sebuah pernikahan. Carissa akan pergi, tanpa membawa apapun.” Setelah berkata demikian, Carissa melangkah menuju pintu depan. “Cara! Papa mohon sekali ini saja, turuti permintaan Papa. Setelah itu Papa tidak akan minta apapun lagi.” Langkah Carissa terhenti. Air matanya semakin deras mendengar panggilan sayang sang Papa saat dirinya masih kecil. Rasanya sudah lama sekali sejak saat itu. Masa-masa ketika dia masih suka bermanja dalam pelukan sang Papa. Masa-masa saat dia tidak sabar menunggu kue hangat buatan sang Mama diangkat dari oven. Masa-masa saat orang tuanya adalah pusat dunianya. Lagi-lagi Carissa menghapus air matanya untuk menjernihkan penglihatan. Lalu dia berkata seraya berbalik, “Carissa sudah bukan anak ke—” DEG. Carissa ternganga dengan hatinya yang terasa pedih. Tidak pernah seumur hidup dia membayangkan sang Papa akan berlutut memohon padanya seperti itu. Ya, di depan sana Alan sedang berlutut dengan air mata yang ia biarkan mengalir di pipi. Sementara itu Destia hanya bisa menutup mulut sambil terisak di belakang Alan. “Papa—” “Kalau kamu ingin Papa bersujud di bawah kakimu, Papa akan melakukannya. Asalkan kabulkan permintaan terakhir Papa ini.” Alan sudah menekuk kakinya dan siap bersujud. Saat itulah Carissa tersadar dari keterkejutannya. Dia menggeleng seraya bergegas kembali ke hadapan sang Papa, turut bersimpuh lalu memeluk Papanya erat. “Jangan lakukan itu, Pa. Carissa akan menuruti permintaan Papa.” Carissa terisak seraya mengalungkan lengan di leher Papanya. “Sungguh?” Carissa mengangguk dengan wajah terbenam di lekukan leher sang Papa. “Terima kasih, Sayang. Kau pasti akan bahagia bersama Fachmi.” Carissa meringis dalam hati. Namun kali ini dia tidak membantah. Biarlah sekarang dia mengalah. Melihat putri dan suaminya saling memeluk, Destia turut berlutut lalu memeluk keduanya sekaligus. Sebenarnya dia merasa buruk saat ini. Bukankah dulu dia kabur dari rumah karena hendak dijodohkan oleh Papanya? Tapi sekarang Destia juga sama frustasinya dengan Alan. Lagipula tujuan pernikahan ini bukan karena kepentingan dirinya dan Alan. Tidak seperti Papanya dulu yang menginginkan kekuasaan. Ini demi kebaikan Carissa. Itu sebabnya Destia yang awalnya sangat menentang, berubah setuju dengan rencana ini. Yah, semoga apa yang ia dan suaminya lakukan ini benar-benar membawa kebaikan bagi putri mereka.  ------------------------ ♥ Aya Emily ♥
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD