Bab 1

1567 Words
"Mas Naka." "Hening." "Ayah kenal sama Bu guru Nining?" Cerianya Qinara memecah keheningan antara mereka berdua yang seolah-olah masuk dalam dimensi lain meski pinggiran jalan tempat mereka berdiri dipenuhi kebisingan pada jam pulang sekolah ini. "Iya, Sayang, Ayah sama Ibu Guru kamu ini teman lama," jawab Naka seraya mengulurkan tangannya pada wanita yang terlihat masih terpaku menatap Qinara, Naka, dan Meisya yang terbingkai dalam keharmonisan di pandangannya. "Iya, Mas Naka apa kabar?" tanya Hening seraya menyambut uluran tangan Naka. Hangat. Hangat yang turut menjalar ke hatinya, walau pun hangat itu tidak bisa membuat tangan Hening yang terasa dingin seketika berubah rasa. "Kenalin ini Meisya," ucap Naka, kini Hening melepaskan tangan Naka dan beralih menyalami wanita yang berdiri tepat di samping Naka dengan memeluk Qinara yang berdiri di hadapannya. Kedua wanita itu saling menyebut nama, sebenarnya masih banyak yang ingin Naka bicarakan dengan teman lamanya itu, saling bertanya kabar atau saling bertukar cerita saat mereka lama tak bersua, tetapi datangnya seseorang dari balik pintu pagar sekolah membuyarkan segalanya. "Bu Nining, dipanggil kepala sekolah," ucap seorang lelaki berkepala agak botak itu. "Iya, Pak. Saya segera ke sana," jawab Hening dengan senyum hangatnya, lelaki itu lalu kembali ke dalam komplek sekolahan yang terdiri dari enam kelas dan bangunan penunjang kegiatan belajar mengajar lainnya. "Saya, permisi dulu, Mas Naka, Bu." Hening menganggukkan kepalanya dengan sopan sebelum membalikkan badannya meninggalkan mereka. "Terima kasih, Bu. Saya titip Qinara selama di sekolah, Qinara anak yang pintar tetapi agak sulit bersosialisasi, mohon ibu lebih sabar dalam menghadapinya," ucap Meisya membuat Hening membatalkan langkah. "Pasti, Bu, sudah menjadi kewajiban saya untuk menyayangi murid-murid saya dan bersabar dengan berbagai karakter mereka." Senyum Hening melukiskan betapa anggun dirinya, pribadi yang santun dan tertutup juga tergambar di sana. Sekilas Hening melirik Naka lalu kembali menundukkan pandangan dan kembali menyeret langkah memasuki gerbang sekolah. "Ayah sama Mama jemput aku, terus aku pulang sama siapa?" tanya Qinara yang berjalan dengan ceria kedua tangannya menggandeng tangan Meisya dan Naka. "Kita makan siang dulu, ya. Nanti abis makan siang Ayah mau pergi rumah makan yang di Gayungan," ucap Naka menyebut salah satu kecamatan yang ada di Surabaya di mana salah satu cabang rumah makannya berada. "Berarti Ayah pulangnya malem, dong? Nanti aku sama Qeila bobo sama siapa?" tanya Qinara yang berdiri di samping mobil hitam milik Ayahnya. "Ya, Qinara bobo sama Mbak Erni, Qeila bobo sama Mbak Tini," jawab Naka ringan, kini ia menatap Meisya. "Nanti tolong ajak Qinara pulang, ya, Sya," pinta Naka. "Tentu aja, Mas," jawab Meisya, ia melepaskan tangan Qinara lalu berjalan menuju mobilnya, membiarkan Qinara bersama sang ayah dalam perjalanan menuju rumah makan milik Naka yang berada tidak begitu jauh dari tempat itu. . "Gimana hari pertama jadi murid SD, Sayang?" tanya Naka pada sang putri yang duduk di sebelahnya. Qinara bersekolah di yayasan sekolah yang sama dengan taman kanak-kanaknya sehingga tidak banyak teman-teman baru di kelas semua murid taman kanak-kanak yang sama dengannya. "Seneng, aku punya kelas baru, bangku baru, meja baru. Tapi ... aku paling seneng punya Bu guru baru," jawab Qinara dengan ceria, seketika ingatan Naka kembali terbayang pada Hening. Ia sama sekali tidak menyangka bisa bertemu lagi dengan wanita itu setelah sekian lama, dan kini wanita itu menjadi wali kelas sang putri hingga tidak tertutup kemungkinan mereka akan sering bertemu. "Ayah, Bu guru Nining itu baik, deh. Sama baiknya sama seperti Mama, Bu Nining juga lembut banget seperti Bunda." Naka hampir saja tersedak napasnya sendiri saat mendengar apa yang Qinara ucapkan. "Semoga aja, Bu Nining mau mengabulkan apa yang aku minta." Tiba-tiba Qinara menengadah seraya menangkupkan kedua tangannya. Berdoa. Melihatnya Naka mengerutkan kening. "Emangnya kamu minta apa sama Bu Nining, Sayang?" "Aku minta Bu Nining jadi Bunda aku." "Apa?" Naka yang sangat terkejut refleks menginjak rem dengan keras hingga mobil berhenti seketika, Qinara sampai terhuyung ke depan, beruntung sabuk pengamannya terpasang sempurna hingga keningnya tidak terbentur dasbor. Tetapi apa yang terjadi padanya membuat Qinara ketakutan, ia menangis. Belum hilang rasa terkejut Naka karena ucapan sang putri kini ia dibuat bingung dengan tangis gadis kecil itu. "Sayang, maafin Ayah, Ayah enggak sengaja nginjek rem," ujar Naka seraya memeluk sang putri yang terlihat ketakutan. Mobil Meisya yang sedari tadi berjalan di belakang kini berhenti tepat di depan mobil Naka, beruntung Naka mengendarai mobilnya di sisi kiri jalan. Wanita itu terlihat tergopoh-gopoh mendekat. "Mas, kenapa?" tanya Meisya yang langsung membuka pintu yang kuncinya telah Naka buka, ia mendapati Qinara menangis dalam dekapan sang ayah. "Enggak apa-apa, tadi aku cuma kaget terus refleks nginjek rem," jawab Naka, Meisya menghela napas lega mendengarnya. "Enggak apa-apa, Sayang. Semuanya baik-baik aja." Meisya mengelus kepala Qinara. Gadis kecil itu melepaskan pelukannya dari Naka dan beralih memeluk Meisya yang berdiri di pintu. "Aku mau sama Mama," ucap Qinara seraya mengusap pipinya yang basah. "Ya udah," jawab Meisya, ia melepaskan sabuk pengaman Qinara lalu membopong gadis kecil itu berpindah ke mobilnya. "Qinara, kenapa kamu ngomong begitu sama Hening, itu bisa bikin luka di hatinya yang dulu kembali berdarah," gumam Naka setelah Meisya menutup pintu mobilnya, sesaat ia menunggu mobil Meisya melaju agar mobilnya juga bisa melaju. . "Mama ... Ayah marah sama aku," ucap Qinara pilu, Meisya mengerutkan kening mendengarnya. "Marah? Kenapa? Ayah enggak pernah marah sama kamu, Sayang." Tentu saja Meisya memberondong Qinara dengan banyak pertanyaan, ia benar tidak pernah sekali pun melihat Naka marah pada anak-anaknya jika kini Qinara merasa begitu maka ia merasa jika itu adalah hal yang aneh. "Gara-gara aku minta Bu Nining jadi Bunda aku," jawab Qinara polos. "Apa?" Kini Meisya juga merasakan terkejut, beruntung ia tidak sampai refleks menginjak rem seperti yang terjadi pada Naka, mungkin karena apa yang ada dalam hati Meisya tidak sama dengan apa yang ada dalam hati Naka. "Tadi Ayah juga begitu, bilang 'apa?' tapi kenceng, terus mobilnya berhenti kenceng. Berarti Ayah marah, sekarang Mama juga begitu," kata Qinara, matanya kembali mengembun. "Enggak, Sayang, Mama enggak marah. Mama juga yakin kalau Ayah enggak marah, kami cuma kaget aja." Saat ini otak Meisya sedang berpikir dengan cepat, ia tidak mau salah milih kata. "Hem ... emangnya kenapa, kok, Qinara pengen Bu Nining jadi Bunda-nya Qinara?" "Soalnya Bu Nining mirip sama Bunda Asih." Meisya hanya diam, ia bisa merasakan kegetiran dan kepahitan Qinara yang harus kehilangan ibu kandung di usianya yang masih dini. Selain apa yang dapat ia lihat dan rasakan, Meisya juga banyak mendengar dari Laura jika rasanya teramat sangat menyakitkan. "Nanti biar Mama yang bicara sama Ayah, ya." Hanya itu yang bisa Meisya katakan, Qinara mengangguk mendengarnya. * Dita Andriyani * "Maafin Ayah, ya, Sayang," ucap Naka saat menyambut sang putri yang baru turun dari mobil Meisya. "Ayah marah sama aku karena aku minta Bu Nining buat jadi Bunda aku?" tanya Qinara lirih, gadis itu menundukkan kepala tidak berani menatap sang ayah. "Kita masuk dulu, yuk, Mama laper. Harus isi ulang ASI buat Abraar," ujar Meisya, wanita itu menggandeng tangan Qinara dan menuntunnya masuk ke rumah makan, sengaja mencairkan suasana yang terasa kurang nyaman. Beberapa menu andalan rumah makan itu sudah di atas meja, biasanya saat makan di sini baik Naka maupun Meisya akan mengambilnya sendiri di dapur, tetapi karena suasana hati mereka sedang tidak nyaman maka seorang pelayan diminta untuk mengantarkannya, sebuah meja yang berada di bagian paling dalam menjadi pilihan tempat duduk mereka. "Sayang, Ayah enggak marah sama kamu. Tapi menurut Ayah, sikap kamu yang tiba-tiba meminta seseorang untuk menjadi Bunda kamu itu bukan sikap yang sopan," ucap Naka tegas, hanya sekilas Qinara mengangkat kepalanya lalu kembali menunduk, air matanya menitik hingga jatuh kepangkuannya, Meisya merasa tidak tega melihat hal itu tetapi yang Naka katakan itu memang benar. "Ayah tau kamu kangen sama Bunda, tapi kamu harus bisa menjaga sikap kamu. Kamu harus bisa menjaga perasaan orang lain juga, bagaimana kalau Bu Nining, merasa tersinggung dengan permintaan kamu? Bagaimana jika Bu Nining sudah berkeluarga dan suaminya tidak suka dengan ucapan kamu—." "Mas!" Meisya meminta Naka menghentikan ucapannya karena merasa tidak sepatutnya meminta Qinara untuk memikirkan hal sejauh itu. Naka menatap Meisya, yang sedang mengedipkan mata menyadarkan Naka akan kesalahannya, Naka diam. "Maaf, Ayah," ucap Qinara lirih. "Sayang, intinya, kita jangan membicarakan hal pribadi dengan orang yang baru kita kenal. Dan Ayah, sama sekali enggak marah sama kamu." Meisya mengelus lembut kepala Qinara. "Iya, Mama. Besok aku minta maaf sama Bu Nining," sahut Qinara, senyum gembira mengembang di wajah cantik Meisya. Ia senang melihat Qinara yang bisa bersikap dewasa untuk meminta maaf. "Iya, Qinara jangan sedih lagi, ya. Qinara, 'kan, punya Mama." Meisya memeluk erat gadis kecil itu. "Sini peluk Ayah juga, dong!" ucap Naka, ada rasa bersalah menyelimuti hatinya terutama jika teringat wajah polosnya saat berdoa di dalam mobil tadi. "Maafin, Qinara Ayah," ucap Qinara seraya memeluk sang ayah. "Iya, Maafin Ayah juga udah bikin Qinara kaget tadi." Naka mencubit gemas pipi gembil sang putri. "Ya udah, ayo makan!" ajak Meisya yang sudah merasakan perutnya keroncongan. "Aku mau makan sama eyang Ratmi aja!" ucap Qinara tiba-tiba saat melihat Bu Ratmi keluar dari kantornya, gadis itu membawa piring berisi makanannya mendekati Bu Ratmi tentu saja wanita yang tidak lain adalah Tante Naka itu menyambut dengan gembira. "Mas, jiwa detektif-ku bergejolak seketika, loh!" ucap Meisya setengah berbisik, ia mencondongkan tubuhnya agar bisa lebih dekat dengan Naka. "Apa, sih, maksudnya?" tanya Naka seraya mengulum senyumnya melihat tingkah Meisya. "Bu Nining itu siapa? Aku bisa mencium aroma-aroma yang tidak biasa saat kalian saling bertatapan tadi!" Meisya mendramatisir nada bicaranya membuat Naka semakin tergelak. Lalu tawa itu hilang seiring rasa bersalah yang kian membuncah.  "Hening ...."  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD