01 | Bertemu Denganmu

1649 Words
Seorang gadis cantik berponi rata dengan kemeja putih berlengan pendek dan rok biru dongker selutut, khas pelajar SMP, terlihat melangkah tergesa di sepanjang jalan perumahan menuju halte terdekat. Gadis itu meruntuki kecerobohannya yang lupa menyalakan alarm--pagi tadi, membuat dirinya kesiangan bangun, sementara dia sadar akan satu hal, rumahnya sepi. Tidak ada orang. Mamanya tengah mengantar Vero ke Jogjakarta, karena adiknya hendak mengikuti turnamen panahan tingkat SMP Se-Jawa-Bali. Sejak semalam mereka sudah pergi. Sementara papanya yang seorang pilot, hanya akan pulang beberapa minggu sekali. Di rumah pun, dia tidak memiliki pembantu, sehingga tidak ada yang membangunkan. Gadis itu mendesah gusar, ketika belum juga sampai di gapura perumahan menuju jalan raya besar. Dia mengecek jam tangan merah di pergelangan tangan kirinya yang menunjukkan angka tujuh. Kalau saja dia tidak terlambat, mungkin dari tadi sudah naik sepeda seperti biasa. Tidak perlu repot lari pagi begini. Mau meminta jemput Azka juga percuma. Rumah cowok itu lumayan jauh, dan Azka juga memakai sepeda—bukan motor. Andai saja kalau hari ini bukan hari penting di sekolah, mungkin Denta tidak mau repot-repot berangkat ke sekolah alias membolos. Namun yang jadi permasalahan, hari ini, tepatnya hari Kamis adalah pengumuman serentak nilai ujian nasional tingkat SMP satu Indonesia. Membuat dia mau tidak mau, harus tetap berangkat ke sekolah. Ransel pink di punggungnya nampak tergoncang-goncang, saat Denta merubah langkahnya, menjadi lari cepat. Sesekali, dia masih sempat untuk menyapa beberapa tetangga yang kebetulan berada di halaman rumah masing-masing. Senyum lega tercetak di wajah gadis itu, sesaat dirinya sampai di gapura perumahan. Halte bus sudah terlihat dari tempatnya sekarang. Namun, senyum lega itu tidak berlangsung lama, sebelum terganti dengan raut wajah panik, ketika melihat bus yang sempat berhenti di halte, mendadak sudah melaju dengan kecepatan yang sedang. Tapi, tetap saja kan Denta harus buru-buru mengejarnya. "WOY BERHENTI!!!" teriak Denta yang masih berusaha berlari mengejar bus. "EH BERHENTI DULU DONG!!" pekik cewek itu setengah merengek. Kakinya yang kebetulan agak panjang, membuat dia betah untuk terus berlari. Meski kali ini keringatnya sudah bercucuran di wajah cantiknya. "EH LO!! TOLONGIN GUE DONG!!" teriak Denta pada pemuda, yang berdiri tidak jauh dari pintu bus bagian belakang. Pemuda itu memakai seragam SMP sama sepertinya, membuat Denta yakin kalau mereka seumuran. Hanya saja, ketika melihat badge sekolah SMP ternama, bernama Dirgantara, membuat Denta tau, jika cowok ini bukan siswa dari sekolahnya. Yah, Denta memang sudah berhasil mengejar bus, dan sekarang sedang berada tepat di dekat pintu belakang bus yang kebetulan sengaja tidak di tutup. Namun dirinya tetap kesusahan kalau mau masuk ke dalam. Denta jadi meruntuk mengapa kernet busnya tidak ada, dan malah ada pelajar se-usianya di biarkan berdiri di dekat sana. Kan, bahaya. "MAS, LO b***k YA??" omel Denta saat cowok tampan itu, seolah tidak mendengarnya sama sekali, “GUE LAGI MINTA TOLONG LOH INI.” Tersentak. Cowok berambut hitam yang di model quiff itu menoleh. Melepas hansed putih yang sempat tersumpal di kedua sisi telinganya. Dia sedikit terkejut, mendapati gadis cantik berlari mengejar bus, berusaha untuk naik namun kesulitan. "Lo mau naik?" Itu adalah pertanyaan paling bodoh yang Gasta katakan sejak dirinya hidup selama 15 tahun. Ya iyalah! Apa lo buta? Dia lari-larian gitu ngejar bus. Apalagi kalau bukan mau naik? "IYA, GUE MAU NAIK!!" seru cewek itu mulai kelelahan. "KERNET BUSNYA DI DEPAN, DIA GAK DENGER TERIAKAN GUE," pekik gadis itu melantang, berharap cowok ini mau membantunya. Denta masih terus berlari dengan sedikit kesusahan, agar tetap mengimbangi. "Pegang tangan gue!" titah Gasta. Cowok itu mulai mengulurkan tangannya, untuk meminta gadis cantik itu naik. Denta dengan senang hati langsung menyambar tangan itu, menerima uluran tangan pemuda berwajah tampan itu. Tidak butuh waktu yang lama, Gasta berhasil menyeret tangan Denta agar bisa masuk ke dalam bus, yang terus melaju, bergabung dengan puluhan kendaraan lainnya, di jalan raya yang ramai. Mengangkut Gasta dan Denta yang bersama di dalamnya. Bergantung pada pegangan bus di atasnya, Denta merasa kelelahan dengan nafas tersenggal di dalam bus yang akan membawanya menuju ke SMA Ganesha Utama. Sedikit meruntuk, setelah melakukan kegilaan dengan naik bus memakai cara ekstrem tadi untuk bisa tetap sekolah, dia benar-benar seolah tidak peduli dengan nyawanya sendiri. Sekarang, gadis itu terlihat sibuk menurunkan rok biru dongker yang sedikit terangkat, sehingga paha putih dan mulusnya terpampang jelas di sana. Kemudian beralih merapikan kemeja atasnya yang agak kusut. Masih berusaha mengatur nafas, agar tetap kelihatan tenang. Sampai bola mata gadis itu, bergerak melirik cowok yang sempat membantunya tadi. Senyum tipis terbingkai di wajah cantiknya. "Mm, makasih ya!" kata Denta pelan, pada pemuda di sebelahnya. Cowok itu melirik, membuat Denta sedikit kikuk sendiri. Kemudian dengan wajah super dinginnya, cowok itu kembali mengamati kendaraan-kendaraan yang berselisih arah di luar jendela. Denta melengos, merapatkan bibir sebentar, sebelum akhirnya kembali membuka suara. "Buat yang tadi. Lo udah nolongin gue masuk bus ini. Sekali lagi thanks ya! Nggak tau deh kalau nggak ada lo, gue mesti gimana. Yang pasti, gue mesti harus nungguin bus yang lain, dan bakalan lama. Mana ini udah siang banget." Sekilas Denta bisa melihat pemuda itu mengangguk sambil berdehem pelan, membuat sudut bibir Denta tanpa sadar tertarik membentuk seulas senyum tipis. "Lo...anak SMP Dirgantara ya?" tanya Denta memecah hening di antara mereka berdua. Cowok itu menoleh sebentar, sampai kemudian mengangguk, "Iya." "Gue tau tuh. Gue juga pernah masuk ke sekolah lo, pas ada turnamen voly beberapa bulan lalu. Sekolah lo gede," ujar Denta sambil terkekeh sendiri. Sampai tawa itu luntur berganti dengan mimik wajah sebal, ketika melihat cowok di sebelahnya hanya berekspresi datar. "Oh ya, lo kelas berapa?" tanyanya kepo. "Sembilan," sahutnya singkat. Mata Denta berbinar, "Wah, kita satu angkatan loh. Gue juga anak kelas sembilan. Btw, gue sekolah di Ganesha Utama. Nggak jauh sih, dari sekolah lo," katanya semangat. "Oh." Pemuda itu manggut-manggut. "Nanti pengumuman nilai UN kan?” cerocos Denta bertanya, “Ihhh, deg-degan deh gue, soalnya gue beli KJ tapi nggak tembus haha,” katanya jadi curhat, membuat Gasta diam-diam mendelik, karena cewek ini sok asik sekali. “Emang ada KJ?” tanya Gasta penasaran, dengan raut wajah tetap datar. “Eh ada, tapi ya gitu, nggak ada yang bener. Nyesel deh gue beli,” celotehnya sebal, “Oh ya, elo sendiri nggak pakek KJ? Denger-denger, SMP lain banyak yang pakek KJ juga loh. Emang lo nggak tau?” lanjut Denta belum mau diam. “Masa?” Alis Gasta terangkat, “Gue enggak kok,” sahutnya kalem. Denta justru terkekeh, “Tapi kalau di lihat-lihat dari muka lo, kayaknya lo pinter sih. Kayaknya loh ya, kayaknya.” Gasta hanya merapatkan bibir. Bingung mau menyahut apa, sementara gadis di dekatnya ini terus nyerocos tanpa di rem. Padahal mereka saja tidak kenal. Ada gitu ya, cewek dengan mulut seribu begini. Aneh aja, baru kenal langsung sok kenal, sok deket. Kalau saja mulut Gasta tajam seperti Karrel—mantan sahabatnya, mungkin Gasta sudah menyelatuk dari tadi. Memberi peringatan agar cewek ini tidak berisik, karena lagi di kendaraan umum begini, takut ganggu yang lain. “Lo kenapa masih di luar sekolah jam segini? Telat juga ya sama kayak gue?" "Iya." “Ihh pantes,” kekeh Denta riang, “Emang nggak takut di hukum?” tanyanya semakin mengakrabkan diri. Gasta menghela napas mencoba sabar, “Enggak,” sahutnya kalem. “Oh ya, ongkos naik bus berapa sih? Gue nggak pernah naik angkutan umum sebelumnya. Biasanya selalu pakek sepeda. Hari ini aja kebetulan karena telat, makanya gue naik bus, heheh." Gadis itu mulai dengan sesi curhatnya, padahal nggak ada yang nanya. "Nggak tau." "Lo baru pertama kali naik bus juga?" "Iya." Jujur, Denta agak gondok sebenarnya dengan pemuda di sebelahnya ini. Irit sekali berbicara. Sorot matanya juga sangat dingin dan cuek. Wajahnya pun tertata datar sekali. Sayangnya saja wajah pemuda ini tampan, membuat Denta tertarik untuk terus melihatnya. Jangan mengatai Denta ganjen. Dia tidak sedang berniat untuk berpaling dari Azka sekarang. Denta hanya suka melihat orang ganteng. Oh ayolah, jangan munafik teman! Pasti kalian kalau di posisi Denta juga akan melakukan hal yang sama. Apalagi, jika cowok itu lebih tampan daripada pacar kalian. "Wah, lucu ya? Kita sama-sama, baru pertama kali naik bus udah ketemu aja. Kayak udah di takdirin, Tuhan nyuruh lo jadi penolong gue buat masuk bus hari ini. Kapan-kapan kalau kita ketemu lagi, gue yang bakal nolongin elo. Tenang aja," katanya sambil terkekeh geli. Gasta yang berdiri di sebelah Denta langsung menoleh. Tepat di waktu yang bersamaan, gadis itu juga masih melihat ke arahnya. Dan begitu saja. Mata mereka bertemu. Gadis itu masih mempertahankan senyum cantiknya, membuat garis wajah Gasta berubah. Matanya melebar dengan bola mata keduanya yang beradu tepat begini. Entah apa namanya, pemuda itu merasa ada yang menahan tepat di dadanya. Tidak sakit, justru memercikan euphoria aneh yang berdebar-debar. Gasta melengos. Buru-buru mengalihkan wajah, mencoba menguasai ekspresi. Pemuda itu mulai merunduk menatap layar ponselnya, meski tidak memungkiri, matanya terus bergerak melirik gadis cantik yang kini terlihat mengecek jam-nya dengan bibir mengkerucut lucu. Tanpa sadar sudut bibir Gasta berkedut kemudian, sekarang jadi tertarik membentuk seulas senyum meski samar sekali. Pemuda itu diam, masih dengan ekspresi yang tenang. Walau hati sudah membatin, siapa sebenarnya gadis ini? Ketertegunannya berlanjut ketika remaja cantik di sebelahnya ini mengembungkan pipinya, lalu mengomel karena busnya lelet sekali. "Oh ya, nama lo siapa?" tanya gadis itu sambil menolehkan kepalanya lagi ke arah pemuda itu, membuat Gasta tersentak kaget. "Penumpang yang mau berhenti di halte SMP Dirgantara, ayo turun!!" Suara kernet terdengar lantang sekali, mengganggu Denta yang baru akan mengobrol lebih banyak lagi dengan pemuda ini. "Gue duluan!!" pamitnya. Belum sempat Denta menjawab, pemuda itu dengan cepat melangkah turun dari bus, meninggalkan Denta yang masih terus memperhatikannya dengan senyuman lebar. Walau senyum itu, kini jadi berubah kecut dengan kesal sekarang. “Ganteng sih, tapi songong,” hardiknya sebal. Berbeda dengan Denta yang menggerutu kesal, memandang punggung pemuda itu yang menjauh, Gasta justru sibuk menahan senyum ketika kakinya keluar dari dalam bus, dan menapak ke aspal. Yang ada di hatinya sekarang hanya satu, cinta pada pertemuan yang pertama, bukan tatapan yang pertama. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD