LIMA PULUH EMPAT: LAYU SEBELUM BERKEMBANG

1104 Words
"Yang lain ya, Nak. Masa ngunduh mantu rumahnya sebelahan." Bunda menimpali. Jun yang memang sedang gamang tentang langkah selanjutnya dengan April jadi semakin lemas mendengar penuturan Bunda. Masa… dia nggak direstui nih? Belum apa - apa? Kalau Jun yang dulu, dia akan bodo amat. Yang penting udah tau rasanya pacaran sama orang itu. Tapi ini April, dan kalau tentang April, Jun tau banget approach yang begitu nggak akan berhasil. Dan lagi, rumah mereka sebelahan, masa iya mesra sebentar habis itu diem - dieman seumur hidup?  Membayangkan aja Jun nggak sanggup! “Jadi Jun nggak boleh naksir sama tetangga depan samping sama belakang, Bun?” Walaupun takut salah satu dari orang tuanya ini curiga, Jun tetep nggak bisa kalau nggak memastikan sendiri.  Kepo dulu aja. Walaupun akhirnya berujung sakit hati, tapi setidaknya nggak mati sia - sia. Bunda menelan makanannya sebelum menjawab Jun. “Ya nggak papa sih, kan cuma request. Kalau bisa mah acara besanan sambil jalan - jalan gitu kaya ibu - ibu komplek sini kalau mantu. Kan seru.” Gitu doang? Udah kadung deg - degan setengah mati, taunya gitu doang?! Bunda ini kok pinter banget bikin plot twist. “Bunda. Kalau jalan - jalan kan Bunda tinggal minta aja. Un bawa kemana aja deh, Bunda sama Ayah mau. Kalau jodoh kan nggak bisa pesen dulu mau yang deket apa yang jauh.” Jun beralasan. “Emangnya Jun lagi naksir tetangga sebelah rumah? Siapa? Asih?” Namanya Mirasih, anaknya rumah depan Jun persis. Cantik! Cantik banget! Masih kelas dua SD tapinya. “Atau… siapa itu Bund, tetangga samping kanan kita?” “Siapa, Yah? Emang Bu Rino punya anak cewek? Anaknya kan cowok semua. Adanya belakang rumah tuh, Rani.” Rani juga cakep, tapi masih dedek - dedek gemes gitu. Masih SMA kelas satu. Ini Ayah Bundanya… help! “Yah… Bund… ya kali. Mereka kan masih sekolah semua. Itu tadi kan cuma nanya doang, seumpama aja.” “Iya ya. Lagian kan udah nggak bisa sama Mei ya Jun. Udah keduluan orang lain.” Jun rasanya ingin menjambak rambut cepak ala Daniel Craig nya saat Ayah bilang begitu. Ini kok Mei lagi Mei lagi. Bukan Meiiii April, Yah. April! “Ayah ini loh. Udah ah. Jun mau ke sebelah dulu terus berangkat.” Jun beranjak, mengambil tangan kanan Ayah dan Bundanya untuk disalami dan dicium. “Jemput April?” “Jemput April? Kenapa di jemput segala?” Ayahnya menimpali bingung pertanyaan Bundanya. “Kan April sama Jun satu kantor, Yah.” “Oh iya? Anak Ayah juga kerja di kantormu tho?” Jun ngedumel dalam hati. Anak Ayah itu yang lagi di depan Ayah ini, bukan yang ada di sebelah. Walaupun kalau lancar juga bakal jadi anak Ayah, tapi belum. Sekarang belum. Tapi Jun hanya mengangguk singkat dan keluar rumah sambil mengucap salam. *** Di rumah sebelah, suasananya beda lagi. Mei sedang ngobrol sama Mama dan Papa tentang lamarannya. Dan April, bertingkah seperti April saat ada orang - orang yang ada di sekitarnya sedang membicarakan hal yang serius dan bukan dia yang menjadi objek pembicaraan. Diam. Berusaha menjadi tak terlihat. “Lo mau bareng gue?” Wah, akhirnya ada yang menyadari keberadaannya.  Dia menggelengi tawaran Mei. “Gue berangkat sendiri aja. Lo mau tema apa buat lamaran lo? Nanti gue cari baju yang matching.” Tadi sekilas Mei ada menyinggung tentang tema acara lamarannya. Dia juga bilang kalau punya Papa dan Mama juga sudah disiapin sama dia. Tapi Mei sama sekali nggak menyinggung soal April. April nggak marah. Buat apa? Merasa tersinggung apalagi. Buat apa? Pasti ada banyak alasan kenapa Mei nggak bisa mempersiapkan sesuatu untuknya. Misal, kekurangan dana? Atau… nggak tau ukurannya? Atau… April nggak diundang? Banyak. Meskipun semuanya bisa diakalin, tapi legowo ya legowo. Harus memahami dan menerima keputusan orang lain apapun itu. Meskipun nggak masuk akal. Selama nggak merugikan dirinya sendiri. Ini merugikan lah, Pril! Kan jadi harus siapin baju sendiri. April nggak melihat dimana sisi merugikannya. Baju buat siapa? Dia sendiri. Yang pakai siapa? Dia sendiri. Kalau nggak pakai baju yang malu siapa? Dia sendiri. Berpikir yang sederhana aja. Nggak usah yang rumit - rumit. Hidup dan kisah cintanya sudah rumit. Jangan ditambah drama lagi. “Ngapain lo cari baju?” “Lo mau gue telanjang di acara lo?” “April…” Dia mengangkat bahu sambil bilang maaf tanpa suara ke Mamanya yang  melotot nggak suka. “Kan udah gue siapin bareng Mama sama Papa. Ih, nggak nyimak!” Loh? “Tapi kan tadi…” April menghentikan dirinya tepat waktu. Kemudian menelan kembali protesnya. “Okay. Jadi gue harus ontime aja kan, pulangnya dari kantor. Acara jam tujuh malem?” “Yep.” “Okay. Gue duluan kalau gitu.” Dia beranjak dan berkeliling meja untuk berpamitan. “Pa, Ma, April berangkat kerja dulu, ya.” Papa sama Mamanya hanya mengangguk.  Dia keluar dari ruang makan sambil mengucap salam. Tapi kembali terhenti saat di pintu depan. Kali ini matanya terbelalak kaget dengan d**a bergemuruh luar biasa. Teringat kejadian semalam! Wajah, please jangan merah, please jangan merah! April berdoa dalam hati. “Hai.” Jun menyapa pelan.  Saat ini tenggorokan April tersendat. Dan kalau dipaksakan bilang ‘hai’, atau ‘halo’ balik, mungkin suaranya akan mirip dengan kucing terjepit pintu. Jadi daripada polusi udara pagi - pagi, mending nggak usah bersuara dulu. Sebagai gantinya, dia mengangguk membalas sapaan Jun. Matanya jatuh ke kantong kemeja Jun dan lagi - lagi, kalau memungkinkan, jantungnya menambah kecepatan berdetaknya hingga rasanya nyaris membuat dadanya bolong! Hadiah gue dibawa Jun! Jun bawa bolpoint hadiah gue! Apa tandanya ini… Jun suka sama yang dia kasih? Lalu sama yang kasih?! “Udah mau berangkat?” Lagi - lagi dia mengangguk.  Apa Jun bakal ngajakin dia bareng?! Bukan hal yang baru sih, tapi setelah kejadian semalam… rasanya semua jadi baru lagi. Yang nggak baru cuma status hubungan mereka aja.  “Bareng, ya. Tunggu dulu, mau pamitan sama Mama sama Papa.” Lagi - lagi, April mengangguki permintaan Jun. Sementara Jun masuk lebih dalam ke rumahnya. Bunga - bunga di hatinya kini mulai berkuncup dan siap mekar. Hanya butuh disiram sebentar lagi. Tapi semuanya jadi layu dan berguguran saat dari ruang makan, dia mendengar suara Jun. “Mei! Tega banget lo! Kata Ayah lo mau nikah?! Serius?! Kok nggak bilang gue?! Lo anggep gue apa?!” April lupa. Lupa banget kalau Mei lah yang selama ini dilihat Jun. Bukan dia. Semalam, Jun benar. Mereka berdua menginginkan ciuman itu. April menginginkannya karena menyukai Jun. Tapi Jun menginginkannya bukan karena hal yang sama. Dia mungkin hanya penasaran saja. Dan akhirnya rasa penasarannya terjawab. He got her first kiss.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD