SEBELAS: Bu Sabrina: Saya Awasin Kamu

1489 Words
Suasana kantor nggak berbeda dengan hari - hari sebelumnya, sama saja. Kebanyakan karyawan perempuan masih saja mendadak terkena serangan jantung ringan saat Jun lewat sambil menebar senyum. Yang berbeda adalah, seminggu ini, April selalu saja bertemu pandang dengan Bu Sabrina saat dia mendongak, mengalihkan mata dari layar PC nya. Ampun, Tobat! Bukan hanya Bu Sabrina yang seperti teror hidup untuknya, Jun juga sama nggak pekanya. April sudah memohon - mohon dan menolak, bahkan terang - terangan melarangnya untuk memberikan tebengan padanya. Paling nggak, sampai ini semua reda lah. Nggak muluk - muluk, kan keinginan April. Tapi Apa? Ngobrol sama Jun itu sama alotnya dengan ngomong sama anak - anak umur tiga tahun, tentang bahaya makan permen kebanyakan. Mental jauh! Alhasil, April harus sigap menghalau Jun dengan caranya, menolaknya dengan berbagai alasan. Sejauh ini sih, yang paling mempan adalah alasan dia berangkat bareng Papa, dan pulang dijemput Mei. Yah, walaupun harus jadi obat nyamuk dan harus siap jadi kambing hitam, karena Mei pulang pergi kerja selalu diantar naik mobil oleh pacarnya. Jadi April harus menahan diri. Kenapa nggak naik ojek atau bus? Itu bukan alasan kuat buat April untuk nolak Jun. heran dia, kok ada orang yang susah dibilangin macam Jun ini. Toleransinya pada penderitaan April benar - benar zero. “April, saya sudah kirim balik naskah yang kamu kirim untuk rubik rupa - rupa minggu ini. Revisi! Saya tunggu hari ini!” Itu suara Bu Sabrina. Ketus dan keras, mirip senapan angin. Agak perih juga di kuping buat yang dituju. Kali ini April. “Iya, Kak.” Dia menyahut lemah. Hari ini dia lagi krisis. Bener! Dia lagi kedatangan tamu bulanannya. Sungguh rasanya itu luar biasa sekali. April memang punya kebiasaan ini sejak siklus bulanannya mulai. Hari pertama sampai hari ketiga biasanya, atau sehari sebelum sampai hari ketiga, perut dan punggungnya akan luar biasa sakit. Moodnya nggak selalu jelek, malah kadang dia seperti hari ini, nggak bertenaga. Rasanya ingin tidur saja di atas kasur. Sebenanya dia membawa paracetamol untuk jaga - jaga. Tapi hari ini adalah hari deadlinenya, sehingga dia butuh konsentrasinya, semua yang bisa dia kumpulkan saat ini untuk menyelesaikan tanggungannya. Tring! Ponselnya berbunyi. Dia meliriknya sekilas. Jun? Ngapain sih? Dia lagi sakit perut, deadlinenya nyaris kacau karena dia nggak bisa konsentrasi, sampai disuruh ngulang ini, masih aja digangguin. Memang laknat, sih, manusia satu ini. Dia memutuskan untuk mengabaikan pesan Jun, dan kembali ke layar monitornya. *** Dari ruangan yang biasa dia sebut aquarium ini, meja kerja April nggak terlalu kelihatan. Tapi dia masih bisa melihat sedikit wajah April yang lesu dan agak pucat hari ini. Kalau dugaannya tepat, dia melirik kalender di atas mejanya, April sedang kedatangan tamu bulanannya. Dan tamu April bukan tamu yang tenang, tamunya cenderung rewel dan menyusahkan. Sejak awal April dapet, memang sudah seperti itu. Dia ingat, pertama kali April datang bulan, mereka sedang bermain - main berdua di rumahnya. Main kartu pokemon? Saat itu hari minggu. Mereka sudah nonton TV sepagian, dan tiba - tiba Jun melihat bagian belakang celana April ada noda merahnya. Sontak dia langsung berlari menemui Bunda dan bilang pada Bunda dengan Panik. April baru kelas satu SMP, dan dia sudah lebih dewasa karena sudah SMA, sedikit banyak, dia tahu tentang sistem reproduksi perempuan, dan apa yang April alami. Dia nggak langsung bilang pada April karena dia nggak mau membuat April malu. Untungnya Bunda cepat tanggap dan segera membantunya menyelesaikan semuanya. Tepat seperti dugaannya, itu adalah tamu pertama April. Keesokan harinya setelah sekolah, dia pergi ke rumah April dan menemukan gadis itu masih meringkuk di atas kasurnya sambil memegangi perut bagian bawahnya. Flashback “Sakit, Bang, perut gue.” April masih memanggilnya Bang sampai kelas tiga SMP. “Gue nggak tau sih, tapi kata temen - temen cewek gue, kalo lagi dapet ya emang sakit gitu. Mau gue ambilin sesuatu?” April menggeleng. “Nggak. Nggak pengen apa - apa. Sakit banget.” “Udah makan?” Dia menggeleng lagi. “Nggak laper. Perut gue nggak enak buat ngapa - ngapain.” “Bakso depan mau? Atau soto? Atau cuanki? Kan enak tuh, anget - anget.” “Bang! Nggak mau, ih! Dibilang nggak laper!” “Tapi harus makan, Pril. Kalo nggak makan perut lo tambah sakit.” “Sok tau.” “Yeh, emang gue tau. Cewek gue yang bilang gitu ke gue.” “Apaan, deh, malah bahas cewek lo. Sana sana pulang sana. Males gue ketemu lo!” “Woy, eh, woy! Malah ditendangin gimana, deh!” Jun nggak terima karena ditendang April sampai dia jatuh ke lantai. “Makan dulu, ya. Gue beliin, nih.” “Nggak!” Flashback End Dan sejak saat itu, sering sekali Jun melihat April seperti ini saat kedatangan tamu bulanannya. Dering ponsel mengalihkan perhatiannya dari April. "Halo." Sapanya dengan nada suara formal karena nomor yang menelpon adalah nomor tak dikenal. "Halo, dengan Mas Junaedi?" "Saya sendiri." "Mas, ini saya ojol yang ambil pesanan Mas. Saya anter ke mana ya ini?" "Dutitipkan ke bagian depan kantor saja, Mas. Bilang kiriman untuk Kak April." "April. Oo baik - baik, Mas." "Iya, terimakasih." Jun memutuskan sambungan telpon tanpa menunggu jawaban si ojol lebih lanjut. April menghindarinya dengan amat keras akhir - akhir ini. Jun bukannya nggak tau kalau Sabrina kasih dia hard time di kantor. Tapi April nggak pernah mau meminta bantuannya. Dia mana tega sih, lihat April nya kenapa - napa. Nggak akan lah! Dia bakal lindungin April sekuat tenaga bagaimana pun caranya. Tapi April nggak percaya. Dia mengira kalau Jun hanya bisa main - main saja. Seseorang yang dia tahu adalah anak reception menghampiri dan menepuk April dari belakang. Memberikan bungkusan padanya, menggeleng, lalu beranjak pamit dari sana. Bungkusan yang tadi dikasih, sama April hanya ditaruh di sudut mejanya tak dilirik oleh lagi karena sekarang orangnya sudah kembali fokus pada kerjaannya. Ini sudah lewat jam makan siang. Dan sedari tad April masih saja berkutat dengan komputernya. Dia belum makan. Dia bisa masuk angin kalau lama - lama begitu. Dia mencoba mengirim pesan lagi pada Apri, tapi lagi - lagi hanya diacuhkan. Kesal, akhirnya dia meraih pesawat telpon kantor dan memencet extension April. Cewek itu baru mengangkat setelah dering ke tiga. Nggak papa, yang penting diangkat, “Halo, April.” “Makan dulu, lo belum makan dari tadi siang.” Mata April mendelik, dan langsung melirik ke arah ruang kerjanya. Sebentar saja, karena setelah itu dia langsung balik menunduk lagi. Dia menoleh ke samping kanan ruangannya dan mendapati Sabrina masih mengawasi April dengan mata elangnya. Ya elah, cewek ini. “Lo gila, ya. Kalo ketahuan yang lain, gue bisa selesai!” Bisiknya panik. “Makanya, lo makan dulu, baru lanjutin kerjaannya.” “Nanggung, udah ditungguin….” “Kalo lo nggak makan sekarang, gue samperin lo di sana dan bakal gue seret buat ma….” “Iya iya gue makan. Puas?!” Dan telponnya nyaris ditutup dengan dibanting, tapi gerakan April melambat di detik - detik terakhir sebelum gagang telpon menyentuh pesawatnya. Dengan lirikan tajam singkat terakhir ke arah Jun, dia akhirnya menyambar makan siang yang tadi dibelikan Jun dan beranjak ke pantry. Nah, gitu, dong. Jadi anak baik. Kalo gini kan dia jadi tambah sayang. *** Ada hal - hal yang harus dia urus dan selesaikan hari itu terkait materi yang naik cetak hari ini. Beberapa berlu ACC nya, dan ada juga tinjuan perusahaan bulanan yang harus dia selesaikan laporannya. Dia melirik jam tangannya sekilas dan kaget sendiri karena sudah jam tujuh lewat. Dia segera mematikan komputernya dan meraih kunci sebelum mematikan lampu ruangan kacanya yang sering disebut aquarium ini. Dia kaget saat mendapati April ternyata masih di sana. Sendirian. Masih sibuk dengan entah apa. “Pril?” Gadis itu terlonjak karena panggilannya.Dia memakai kacamata bacanya yang amat jarang digunakan. Padahal kalau menurut Jun, April imut kalau pakai kacamata. Tapi Jun paham untuk nggak bilang gitu langsung sama April. Modelan April, kalau Jun bilang suka, malah jadi nggak dipakai, dan kalai bilang sebaliknya, mendadak barang tersebut jadi favorit April. Jadi dia diam saja, biar dia bisa terus lihat April yang imut pakai kacamata. “Nggak pulang?” Tegurnya. “Masih ada deadline. Diminta Bu Sabrina buat kelar besok pagi.” Jawabnya lemes. “Buat cetak minggu ini? Tumben buat cetak minggu ini, belum selesai juga. April menggeleng. “Buat minggu depan.” Sabrina… sudah mulai nggak masuk akal dia. Dia tau, sejak perempuan itu mergokin dia dan April makan bareng tempo hari kemarin, dia jadi sering menindas April. Tapi ini keterlaluan, kan? “Tinggalin aja. Ayo pulang bareng gue.” April langsung menggeleng. “Nggak mau. Nanti gue dimarahin.” “Pril, pulang. Gue yang tanggung jawab nanti.” “Lo mau bilang apa emangnya sama dia? Udah, dong, biarin gue tuntasin urusan gue sendiri.” Dia mengibaskan tangannya mengusir Jun dari sana. “Lo punya tiga puluh detik buat simpenin semua kerjaan lo, atau lo gue gotong paksa buat pulang.” April meliriknya judes. Apaan, deh Juni! “Gue serius, April. Just try me.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD