EMPAT PULUH: LO JAHAT BANGET SUMPAH!!

1036 Words
Jun benar - benar lupa kalau malam ini dia ada janji dengan seseorang. Bukan orang yang penting banget. Cuma temen senang - senangnya. Masalahnya adalah dia udah postpone janji itu dua kali dalam seminggu ini. Dan barusan orang itu nelpon, nanya dia ada di mana karena dia udah nungguin di tempat jamjian hampir sejam dan Jun belum juga nongol. Padahal Jun orangnya selalu on time. Dateng semeneit sebelum atau lewat waktu janjian. Selalu begitu. Itu karena Jun beneran lupa. Dan malah ngajakin April keluar karena ini malam minggu. Cuma karena dia mau bikin April agak lengah dan akhirnya dia nanti mau cerita sama Jun tentang cowok yang dia suka itu. Karena tujuan Jun aslinya cuma satu, biar bisa tidur nyenyak tanpa pertanyaan yang mengganggu lagi tentang kehidupan percintaan April. “Gue tinggal ya." Dia nggak enak banget melihat wajah April yang kaget bengong begitu. Tapi dia tetap harus pergi biar nggak diteror lebih lanjut sama ‘temannya’ ini. Salahnya juga sih. Coba dia lebih selektif dikit aja memilih teman kencan. Pasti ini semua nggak akan kejadian. Mereka baru kencan sekitar empat kali, tapi cewek ini clingy banget. Pengen ketemu terus sama Jun, pengen tau rumah Jun, pengen tau kantor Jun dimana. Untungnya Jun ini orangnya masih agak jaim sedikit. Kayaknya, selain April sama Mei, nggak ada yang tahu kebiasaan Jun yang suka nyari ‘temen’ ini. Kalau Mei, karena dia juga nyari, dan akhirnya mere ketemu di tengah - tengah. Kalau April, mungkin karena gadis itu paham banget Jun orangnya gimana. Jadi, sampai kapan pun juga Jun nggak akan kasih tahu ‘teman - teman’ nya itu siapa dirinya yang sebenarnya. Bahkan nama saja, dia pakai nama samaran selama ini. Jun bergegas meninggalkan April di dalam restoran sendirian setelah membayar makanannya. Seenaknya, itu yang bisa dia lakukan buat April malam ini. Buat menebus rasa bersalahnya. Ponselnya dering lagi pas dia udah di dalam mobil. “Iya, gue udah di jalan. Sabar.” Jun harus pikirin caranya biar ini jadi pertemuan mereka yang terakhir. Sayang, sih. Padahal servisnya mantap. Sayangnya, orangnya nggak asyik. Jun belum siap buat berkomitmen. *** April melihat macam - macam makanan yang kini tersaji di depannya dengan pandangan nggak percaya. Ini… Dia beneran ditinggal sama Jun ini? April mendengus kasar, nggak peduli kalau ada pelanggan restoran lain yang mendengarnya di dekat sana.   “Ada janji katanya, huh!”  April nggak bodoh - bodoh amat buat tahu Jun kemana aja kalau malam. Dia paham kalau ‘janji’ yang dimaksud Jun itu ya Janji kencan. Bukan janjian buat mabar apalagi janji buat sekedar minum kopi sama teman - temannya.  Dia mengambil garpu dan menusuk steaknya keras. membayangkan kalau itu Jun, nyenengin banget kalau dia bisa menusuk Jun sekencang ini. Tepat di dadanya yang kayaknya udah hilang entah kemana hatinya. April nggak butuh pisau. Dia langsung saja gigitin itu steak besar - besar langsung dengan giginya. Lagi - lagi membayangkan kalau yang lagi dia makan ini dagingnya Jun. Setidaknya, dengan begitu, dia bisa sedikit. Sedikiiit saja meluapkan kekesalannya pada Jun. Ada ya, orang yang mannernya se sopan Jun. Tolong dicatat. Itu sama sekali bukan pujian. Perasaan April nggak tahu perasaan mana yang lebih dominan sekarang di dalam dirinya. Kesal, marah, atau merasa dikhianati. April makan dalam diam. Sendirian. Kayak bocah ilang. Bocah ilang masih terlalu mending, lebih mirip kayak… cewek yang abis dicampakan pasangannya. Apalagi tadi waiters nya lihatin dia dengan wajah prihatin gitu pas anterin sisa pesanannya.  Malu, sakit. Tapi nggak bisa apa - apa. “Hiks huu… kenapa gue malah mewek hiks. Lo jahat banget, sumpah, Jun.” Hidupnya gini amat sih. Ada nggak sih, orang yang taruh April jadi prioritas utama mereka? Mama? Papa? Mereka orang baik. Mereka mencoba bertanggung jawab atas April, tapi apa orang tua yang menyesali keberadaannya dan malah mempertimbangkan untuk menggugurkannya bisa dibilang sebagai orang yang memprioritaskan Apri? Iya, April juga mikir kalau mereka nggak kayak gitu. Siapa lagi ya… Bunda? Bunda sayang sama April Tapi emangnya April siapanya Bunda? Mereka bahkan nggak hubungan darah sama sekali. Mei? Apa lagi Mei. April nggak ragu kalau Mei menyayanginya. Tapi kalau diibaratkan Mei harus memilih April atau kemewahan yang selama ini ada di sekitarnya, April nggak berani bilang dengan yakin kalau Mei akan memilihnya, Selama ini, April selalu mengira, cuma Jun yang bisa mengerti dia. Yang mau menemaninya tanpa April minta. Mungkin gara - gara itu awalnya, kenapa April bisa se naksir ini pada Jun. Atau Mungkin karena Jun yang benar - benar mendengarkan saat April bercerita. Yang selalu ada saat April butuh. Karena April selalu merasa sendirian dan Jun selalu ada untuknya. Makanya saat dia melihat Jun dengan Mei, atau tau Jun sedang akan atau habis kencan dengan salah satu ‘temannya’ April merasa tersisih. Bukan perasaan yang menyenangkan. Makanya, April akhirnya menarik diri sedikit demi sedikit dari Jun. Berpikir kalau dia yang menjauhi duluan, rasanya nggak akan begitu sakit pas nanti Jun beneran nggak sama dia. Tapi siapa yang mau dibohongi April selain dirinya sendiri? Bukannya merasa menang, April malah merasa kalah semakin harinya. Dia mengelap mulutnya, lalu mengambil ponselnya dan beranjak dari sana. Jun bilang dia udah bayar, kan? Ya sudah. April langsung pulang saja. Lagian, dia sedang nggak dalam kondisi yang bisa ketemu siapa - siapa dengan mata bengkak dan air mata yang terus mengalir begini. Dia langsung keluar dan berencana memesan taxi buat pulang. Dapat, tapi agak lama. Jaraknya jauh, dan jalanan juga macet. Maklum, malam minggu. Tapi April tetap menunggu sambil duduk di trotoar. Untung agak lama, jadi dia bisa sekalian meredakan tangisnya. Nggak lucu kalau dia masuk ke taxi dan menangis di dalam, disaksikan oleh pak driver.  Walaupun dia sudah berkali - kali melakukannya dengan alasan yang mirip, tapi kalau boleh memilih, dia nggak pengen drama begitu. Dia ingin tetap baik - baik saja walau apapun yang Jun lakukan padanya.  “Kapan gue bisa kayak gitu.” Gumamnya tersendat.  Dia melepas kacamatanya saat mengelap pipinya yang basah tadi. Saat akan memakainya kembali, sebuah motor matic berhenti di depannya. April agak minggir, karena merasa nggak kenal dengan siapa pengemudinya. Lagian dia pesan taxi, bukan ojek. Dia melongo kaget saat pengendara matic tersebut membuka helm nya, “April? Gue kira gue salah lihat. Lo ngapain di sini?!” “Janu…”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD