TUJUH PULUH DELAPAN: PERASAAN GUE NGGAK ENAK

1104 Words
"Eh, Mas Jun. Sini Mas, udah kuambilin makan loh buat, Mas." Jun masih berdiri kaku di tempatnya, sampai suara Neneknya memerintahkannya untuk duduk dan bergabung dengan mereka. “Malah bengong. Sini o kamu. Makan bareng - bareng kita. Keburu dingin loh. Nduk, Rosita, kamu ikut makan di sini juga, ya. Sekalian.” Gadis bernama Rosita yang sebenarnya masih tergolong sepupu jauhnya itu mengangguk sambil tersenyum malu - malu. Kemudian dia duduk di kursi kosong di sebelah Jun, berseberangan dengan Ayah dan Bunda, Jun nggak percaya kalau ini adalah sebuah kebetulan belaka. “Ayah jadinya ambil cuti berapa hari?” Tanyanya menyendokkan suapan pertama ke mulutnya. Berdoa semoga nggak dicampuri amortentia (ramuan cinta). Jun bukan nggak ngeh kok, kalau sepupunya itu ada maksud lain padanya. Awalnya mereka berdua sama sekali nggak menyadari keberadaan satu sama lain. Tapi setelah dikenalkan sama Nenek beberapa hari lalu, dia jadi rajin datang ke rumah Nenek. Dan Nenek selalu memanggilnya keluar dari kamar setiap kali Rosita datang. Kebetulan beberapa hari pertama di sini, dia dan Bunda nggak ada jadwal ke mana - mana karena hanya berdua saja. Ayah baru datang tadi sore. Dan belum tau akan cuti sampai kapan.  Acara liburannya baru akan resmi dimulai besok. “Nggak bisa sampai seminggu. Cuma bisa tiga hari aja. Nggak papa, ya. Kalau waktunya nggak cukup, kita di rumah aja quality time aja, Jun.”  “Iya, di rumah aja kan bisa. Istirahat.” Neneknya menambahi. “Gimana Jun, enak nggak perkedel ayamnya?” Jun mengangguki sekilas pertanyaan Neneknya. Demi kesopanan saja. Lalu melanjutkan lagi pada Ayah, “Cukup kok, Yah. Tiga hari cukup. Besok berangkat jam sembilanan gitu aja dari sini. Malam ini Jun fix in semuanya.” Ogah Jun kalau cuma di rumah aja. Sudah jauh - jauh ke Surabaya, ujung - ujungnya di rumah doang. Kalau cuma di rumah, mending nggak usah ke mana - mana. Di rumahnya sendiri saja. Point plusnya, dia masih bisa ketemu April. Lah ini?! “Mas Jun emang mau ke mana?” Gadis di sampingnya, yang dari awal makan tadi diam akhirnya buka mulut. “Oh, jalan - jalan sama Ayah Bunda.” Jun menjawab sekenanya. “Wah, asyik, nih. Ke mana , Mas? Siapa tau Rosita bisa jadi tour guide-nya.” Katanya mendadak penuh semangat. Lah, kok pede. Nggak ada yang ngajakin padahal. Lagian mereka sekeluarga mau quality time. Masa mau ikutan gitu aja? Nggak sungkan gitu? Jun bertanya - tanya heran. Apa semua cewek yang mendekatinya harus se bold ini? Kenapa April nggak kecipratan sedikit saja ke terus terangan mereka? Jun pasti nggak akan keberatan kalau itu April. Nah, inget April lagi, kan. Dan perasaan yang akhir - akhir ini famliar Jun rasakan muncul lagi. Setiap ingat April, dia akan merasa tenang, bahagia, dan kemudian kesal serta marah. Semua emosi itu datang secara berurutan hingga membuat Jun kesal sendiri. “Kami mau ke luar kota.” Jawabnya kalem, memaksakan senyum. “Ah… Rosita masih harus kerja. Nggak bisa cuti.” Lah ngajakin situ siapa, sih?! *** “Bunda perhatiin Jun nggak begitu seneng sama Rosita, ya?” Jun menoleh pada Bundanya. Mereka sedang berada di teras. Ngeteh sambil menikmati taman mungil yang menjadi kebanggaan Nenek. Dia, Bunda dan Ayah. Nenek sendiri sudah pamit untuk istirahat.  Untuk ukuran Nenek - Nenek, nenek termasuk masih sehat dan bugar. Itu karena kebiasaan kecil yang sudah mendarah daging. Nenek akan tidur jam sepuluh malam dan akan bangun jam empat pagi. Begitu setiap hari. “Bukan nggak seneng, Bud. Cuma… agak gimana gitu.” Jawabnya ringan. “Gimana, gimana, Le?” Kali ini giliran Ayah yang bertanya. “Ya gitu, Yah. Dia kan cewek, tapi ngejarnya kelihatan banget, sampai Jun risih sendiri. Harusnya tugas ngejar - ngejar itu kan punya cowok.” Katanya. Sebagai cowok sejati, dia memang agak gimana gitu kalau dia malah yang dikejar. Berasa dunia terbalik. “Namanya berjuang. Boleh siapa saja yang make a move duluan.” Bunda menjawab bijak. “Setuju. Kenapa nggak kamu coba kasih dia kesempatan? Siapa tau cocok.” Usul Ayah. “Ayah sama Bunda beneran nggak mau Jun dapat istri yang deket aja ya?” “Lha, emang siapa yang deket? Yang paling deket Mei, udah mau nikah bentar lagi. Yang lain kan masih pada sekolah masih pada anak - anak. Kamu mau nungguin mereka gede?” Astaga, orang tua lain apa ada juga yang mendukung anaknya jadi p*****l seperti orang tua Jun? Nggak ada?  Lagian aneh nggak sih, mereka melupakan satu orang penting. Kenapa nama April nggak disebut? April single kok, sebelum sama dia. April juga udah nggak sekolah, meskipun umurnya beda agak jauh, tapi Jun nggak akan jadi p*****l kalau sama April. Dan malah… bukannya beda 5 - 6 tahun itu ideal, ya? Jun baru akan menjawab, saat ponselnya berdering. Dan karena kaget, dia langsung saja menggeser layar ponselnya, sehingga nggak sengaja membuatnya terangkat. April?! “Yah, Bund, Jun angkat ini dulu.” Pamitnya menjauh dari teras. “Halo?” “Astaga, gue kira lo udah tujuh harian, Juni!” Jun memejamkan matanya. Kangen banget dia sama suara ini. Kalau dipikir lagi, kok dia bisa betah sih. Gimana cerita… Janu. Semua karena Janu. Nah, kan, jadi sebel lagi dia. Ah, nggak jelas memang si Janu itu. “Namanya juga lagi liburan. Lembur lagi?” Yah, Jun keceplosan.  April ngeh nggak ya? “Lo baca semua chat gue tapi nggak pernah lo balesin.” Itu bukan pertanyaan. Hanya pernyatan yang diucapkan April dengan nada datar. Tapi sebentar kemudian suara April sudah kembali ceria lagi. “Eh, gimana Surabaya? Seru banget ya, ketemu sodara - sodara. Ayah akhirnya bisa cuti nggak?” Mereka berbincang - bincang sebentar. Bercanda dan saling sela seperti biasanya. Sesaat semuanya kembali seperti semula seperti saat sebelum Jun pergi ke Surabaya. Sampai saat nama itu kembali tersebut. “Sori ya, lo jadi harus kerja sendirian. Lo juga pasti sibuk banget bantuin Mei siap - siap. Gue malah di sini.” “Ya nggak papa. Kan Mei kakak gue, udah kewajiban gue bantuin. Lo liburan kan hak lo, nggak ada hubungannya sama acaranya Mei ini. Santai aja. Gue kadang bareng sama Novi, kadang juga sama Janu kok berangkat sama pulangnya. Gue udah ada temen yang lumayan deket sekarang di kantor. Lumayan, bisa nabung buat jajan hehehe.” April bercerita dengan nada ringan yang terdengar berbeda di telinga Jun. “Oh,” Hening. Agak lama sampai April memanggil Jun hanya untuk memastikan mereka masih tersambung.  “Jun? Juni?” “Hah? Iya?” “Lo masih di sana? Lo nggak papa, kan?” April bertanya khawatir. “Eh, udahan dulu ya. Lo istirahat aja dulu. Gue masih ada sesuatu yang mau gue selesein di sini. Bye.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD