Part 6 - Get In

2426 Words
"Jadi lo baru kerja disana tiga tahun ini?" aku langsung menoleh ke Farhan yang juga sedang sibuk dengan makanannya. Kami baru saja mengurus beberapa berkas yang hanya dapat dilakukan di Rumah Kita, karena ini hari kerja, kami baru bisa melakukannya setelah jam pulang kantor. Setelah mengurus berkas-berkas penting tersebut, Farhan menyarankan kepadaku untuk mencoba mie ayam yang terkenal di sekitar sini, memang tidak dekat-dekat sekali dari Rumah Kita, tapi karena katanya mie ayam tersebut sangat enak aku langsung mengiyakan. Disinilah kami, duduk di sudut ruangan dengan menyantap mie ayam tersebut. Benar-benar enak. Kapan-kapan aku akan mengajak Janeta dan anak-anak untuk mencicipi mie ayam ini. Farhan mengetahui tempat ini karena memang dekat dengan rumah kakaknya yang ternyata juga dekat dengan Rumah Kita, karena itulah dia sering bolak-balik ke daerah sini, untuk mengunjungi kakaknya itu. Dua kali bertemu kami sudah seperti teman akrab dan banyak mengetahui satu sama lain. Farhan orang yang cukup terbuka, bersama dengannya aku merasa tidak akan kehabisan topik pembicaraan. Ada saja yang dibicarakan, bahkan kejadian spontan sekalipun. Farhan hanya mengangguk mengiyakan. "Gue sebelumnya fotografer di Nat Geo" Aku langsung menghentikan gerakan tanganku. "Wow! Jepretan lo pasti nggak bisa diragukan. Kok bisa kerja disana?" Farhan mencibir ke arahku. "Lebay banget. Agak menyimpang dari jurusan gue yang komunikasi sih, tapi gue enjoy-enjoy aja di kasih tugas keliling Indonesia" "I know" kataku cepat. "Jadi kemana aja lo selama ini? Pasti banyak banget yang menarik!" Farhan tertawa, "Menarik banget semuanya! Gue pernah ke pedalaman NTT dan mereka lagi melakukan ritual gitu, gue nggak ngerti sih mereka ngapain, tapi mereka melakukannya dengan sungguh-sunggu, jadi apik banget" Aku membayangkan ucapannya. "Namanya suku Boti. Lo searching aja di internet, ada kok videonya" ujarn Farhan. "Kayaknya hidup lo menyenangkan banget sebelum ini" Farhan tertawa pelan. "Jelas! Gue suka banget travelling, jadi gue seneng-seneng aja disuruh keluyuran sana sini tapi dibayar" Aku sedikit terkekeh mendengarnya. "Tetap ya salary nomor satu" timpaku langsung, Farhan langsung tertawa keras mendengar ucapanku. "Lo? Gimana? Enjoy sama kerjaan lo?" tanyanya penasaran. Aku menganggukkan kepala, "I love broadcasting so much. Makanya gue milih dipilihin laki daripada dipilihin kerjaan" aku sedikit merutuki ucapanku yang terlalu ceplos seperti itu. "Menurut gue televisi itu media yang paling krusial, salah menayangkan program malah jadi pengaruh buruk bagi orang-orang yang nontonnya" "Kayak kualitas sinetron sekarang?" Aku tertawa pelan. "Mungkin seperti itu. tapi masih banyak juga yang layak tayang. lo tau kalau penyiaran kita masih ngikutin rating. Jadi ya yang mana penonton suka aja pasti jam tayangnya lebih lama" Farhan mengangguk-angguk setuju. "Nah itu juga tuh menurut gue yang harus di perbaiki, kita terlalu fokus ke kuantitas sampai lupa ke kualitas. Di advertising juga gitu sih, kadang kita harus nurutin banget apa maunya klien, which is menurut gue nggak ada bagus-bagusnya. Disana kita punya PR banyak buat bikin ide itu menjadi bagus, yang jadi layak buat ditampilin" Aku mengangguk setuju, benar sekali ucapannya. "Kita nggak bisa ngikutin idealogi kita" Farhan memakan baksonya dengan cepat. "Bener. Nah pas jadi fotografer itu, gue merasa bebas banget nggak terikat. Makanya gue meskipun udah nggak kerja disana tetap rindu " Aku dan Farhan sama-sama terdiam, mendengar ucapan farhan yang dangdut sekali itu. kemudian kami terkekeh geli. "Dangdut banget ya omongan gue" "Lah baru sadar!" aku kembali melanjutkan makanku. "Tapi lo masih sering foto-foto gitu nggak?" mengingat advertising sekarang lebih banyak fokus ke video pendek daripada foto. Farhan mengangguk. "Sering kok, kalau luang. Gue kan masih jadi volunteer di NatGeo" "Hah? Serius?" ujarku antusias, aku memang excited dengan orang-orang yang bekerja sesuai passion dan keinginan mereka, daripada memasrahkan diri kepada takdir. Maksudku begini, ketika kita melakukan sesuatu yang kita sukai akan jauh lebih menyenangkan bukan daripada melakukan sesuatu yang terpaksa? Dan aku bisa melihat binar kecintaan itu jauh lebih dalam apabila kita bekerja sesuai passion. Meskipun tidak semua orang bisa menemukan passionnya. Mencari passion sama saja mencari pekerjaan, susah-susah gampang, padahal kuncinya berada dalam diri kita sendiri. Banyak orang yang mengabaikan passionnya sekarang karena lebih fokus mengejar angka. Tidak bisa disalahkan juga, karena pelan-pelan mereka sendiri yang membunuh apa yang ada di dalam diri mereka sendiri, hingga menghilang. "Sabtu ini gue mau ke Bogor, Motret" ujar Farhan lagi. "Gue boleh ikut? Bawa kamera sendiri deh. Jarang kan gue diajarin sama fotografer NatGeo" "Mantan!" Aku memutar bola mataku. "whatever" "Boleh. Kita pakai motor tapi, lo nggak akan masuk angin kan?" Aku terkekeh pelan. "Sialan! Emangnya gue senenek-nenek itu apa!" * Karena pergi bersama Farhan dengan mobil kantornya tadi, aku terpaksa harus diantarnya ke apartemen. Padahal letak rumah Farhan dan apartemenku berlainan arah. Farhan memang masih tinggal bersama orangtuanya, dia dua bersaudara. Sudah lama sekali aku tidak merasakan hidup seperti ini. Farhan bisa jadi partner diskusiku yang baik, terbukti dengan ramah dan betapa nyambungnya kami berbicara. Dan he's awesome. Tidak suka berneko-neko, kalau suka ya suka. Lama tidak berteman dengan orang-orang seperti itu membuatku kembali merasakan sesuatu yang baru. Mungkin memang saatnya aku memiliki teman dekat, selain Janeta. Langkahku berhenti ketika melihat seseorang berdiri di depan lift. Kalau kuingat-ingat lagi, aku dan Nata sering sekali bertemu di lift akhir-akhir ini, kami memang tidak ada janjian karena sepertinya kesibukan mengalihkan segalanya. "Hai, Nat!" sapaku ceria, membuat Nata menolehkan kepalanya padaku dan menatapku enggan. Aku tersenyum saja dan melihat kresek hitam ditangannya, sepertinya dia baru saja beli makanan. "Kamu belum makan? Tau gitu, aku beliin kamu tadi diluar" Aku jarang sekali ramah padanya akhir-akhir ini. Karena memang dia sangat menyebalkan, sering sekali marah-marah tidak jelas padahal aku sudah berusaha untuk terus beramah tamah padanya. "Nggak usah basa basi" Tuh. Benar kan? Sudahlah! Aku sendiri yang susah meladeninya seperti ini. Oadahal kami jarang sekali jalan berdua lagi seperti ini, setiap hari Nata selalu pergi lebih pagi dari biasanya, mungkin pekerjaannya sedang banyak-banyaknya. Aku juga tidak mengerti, dia tak pernah bercerita kepadaku. "Kamu sudah makan?" Jantungku langsung ditusuk dengan pertanyaan itu. Aku menolehkan kepala dan menatapnya dengan pandangan bingung. "Kamu nanya aku?" "Kamu pikir saya gila bicara sendiri?"  benar juga, mengingat hanya kami berdua di dalam lift. "Santai aja kali" sungutku kesal. Aku menyandarkan punggungku ke dinding lift dan melipat tangan di depan d**a, menatap Nata yang masih mengarahkan tatapannya ke depan. Aku memperbaiki posisiku. "Udah. Aku udah makan" Nata terdiam sebentar, aku masih mengamatinya. Diliriknya kresek hitam yang ada di tangannya. Entah ini feelingku saja atau tidak, aku merasakan sesuatu yang aneh. Sepertinya Nata.. Dengan cepat aku meraih kantong kresek itu dan memeriksa apa yang ada di dalamnya. Benar! Itu dari warung pecel lele yang pernah kami makan di seberang apartemen. Aku menghitung bungkusan yang ada disana. Ada empat. Dua porsi. Hatiku menghangat tatkala membayangkan hal yang semestinya tidak berani kubayangkan. Tidak mungkin Nata membelikannya untukku juga kan? Ini pasti mimpi, dia tidak pernah seramah ini padaku. Tapi hatiku tetap berbunga. Dengan kasar Nata kembali meraih kantong kresek itu dan menggenggamnya erat. Seolah-olah ketahuan, aku tidak mengerti apa yang harus kulakukan. Suasananya berubah jadi canggung. "Kamu makan dua porsi?" tanyaku pelan. Nata melirikku. "Iya" Aku mengerutkan dahi. "Kamu nggak pernah makan dua porsi, kamu kan takut buncit!" tuduhku cepat. Nata tak akan mengajakku makan bersama, tak akan. Harus aku yang memancingnya seperti ini. "Yaudah aku nemenin kamu makan" putusku cepat. Lift terbuka setelahnya Nata berjalan lebih dulu di depanku, tanpa repot-repot mau mengiyakan atau menolak ucapanku tadi. Aku sendiri hanya mendengus di belakangnya, yasudah kalau dia memang tidak mau kutemani makan. lebih baik aku segera membersihkan diri. "Katanya kamu sudah makan" aku yang akan menekan kombinasi password apartemenku, spontan membalikkan badan. "Masih lapar" bohongku. Padahal tadi aku makan dua porsi mie ayam, tidak apa aku kan belum makan nasi, belum makan malam. Perutku memang Indonesia sekali. Nata membalikkan badan dan berdiri di depan pintu apartemenku. Aku tidak mengerti dengan sikapnya yang aneh ini. Semoga saja ini bukan sesuatu yang buruk. * Kami makan dalam diam. Duduk berdampingan di mini bar yang menjadi pembatas ruang tengah dan dapur. Aku memakan dengan cepat, takut-takut kalau aku langsung kekenyangan karena memakan tiga porsi dalam semalam. Sepertinya aku harus mengatur jadwalku untuk olahraga mulai hari ini. Nata hanya diam juga disebelahku, tidak tertarik sama sekali membangun percakapan. Bahkan dia tidak ingin tau aku tadi darimana atau makan apa. Membayangkan Nata akan memperlakukanku seperti kekasihnya hanya menambah angan-angan kosong yang siap melemparku suatu hari nanti. Aku tidak boleh menggantungkan segalanya pada Nata, sebelum dia memberikan hatinya sedikit tempat untukku. Aku berdehem sekali kemudian menoleh ke arahnya. "Tadi kamu pulang jam berapa?" tanyaku, heran sekali karena aku bisa kehabisan kata-kata di depan Nata dan sebaliknya dengan Farhan atau teman-temanku yang lain. "Jam enam" Oh. Nggak nanya balik? Aku menabahkan diri dengan mengangguk-anggukan kepala. "Kayaknya kita jarang ketemu minggu ini. Kamu sibuk banget ya?" ujarku lagi. "Bukannya kamu yang sibuk?" Kenapa nadanya terkesan menyalahkanku? "Kamu yang pergi pagi-pagi banget! nggak nungguin aku" protesku sebal. Memang dia sepertinya sangat menghindari akhir-akhir ini membuatku geram sendiri. "Dan kamu pulang larut malam terus" Aku mendelik ke arahnya. "Kok kamu tau?" "Kamu selalu buka pintu dengan berisik, siapapun akan tau kalau itu dari apartemen kamu!" ujarnya tapi nadanya tetap meninggi. Aku tersenyum bodoh mendengarnya seperti itu. Bukan tidak mungkin dia menungguiku pulang kan? Haha mimpi saja terus Saras, sampai kamu tau sakit menerima kenyataan. "Kamu belum tidur tengah malam?" Nata mengangkat bahu. "Ada kerjaan" Aku memilih diam tetapi senyuman masih belum lepas dari bibirku. Aku menyelesaikan makananku dengan cepat dan menaruh piring kotor di wastafel, malas mencuci piring hari ini kakiku langsung kulangkahkan ke sofa dan duduk disana. Ketika mendengar suara berisik dari  piring-piring yang berada dibelakang, aku langsung menoleh dan mendapati Nata sedang bersiap untuk mencuci piring. Aku buru-buru berdiri dan menghampirinya dengan kaki yang terseret. Sepertinya aku benar-benar kekenyangan. "Nat! nggak perlu cuci piring. Biar aku aja besok" tegurku di belakangnya. "Kamu duduk aja. Kamu nggak tau sekarang kamu seperti gajah kekenyangan?" ujarnya, mengambil sabun cuci piring dan segera sponge dengan cepat. Aku hanya memperhatikannya dari belakang, tanpa tersinggung sama sekali dengan ucapannya tadi. Aku benar-benar kekenyangan dan itu kulakukan hanya untuk menghargai dia yang sudah membelikan makanan dua porsi. Kuamati punggung nata yang sudah berjibaku dengan piring-piring kami itu dari belakang. Punggungnya tegap sekali, bukti tegas hasil olahraga rutin yang dia lakukan. Tempat dimana aku harus menumpukan segala hidupku maupun keluh kesahku. Memikirkan sikap nata beberapa hari terakhir membuat hatiku lagi-lagi menghangat. Aku tidak tau apakah itu bentuk kepedulian nata kepadaku atau memang hanya berbasa-basi, aku tidak mau memikirkannya sekarang. "nat" panggilku sekali lagi. Nata hanya berdeham menanggapi ucapanku. sepertinya kekenyangan membuat otakku gila. "Boleh peluk nggak?" Aku terdiam beberapa saat sebelum akhirnya benar-benar melakukan niatku tanpa menunggu jawaban darinya, kulingkarkan tanganku dipinggangnya dan kusandarkan kepalaku di punggungnya. Menepis segala rasa malu yang kurasakan saat ini. aku ingin melakukannya, aku ingin melakukan ini. Bisa kurasakan Nata menegang di dalam pelukanku, tapi dia tidak membalas atau melepaskannya, dia malah kembali melanjutkan aktivitasnya seolah-olah tidak terganggu sama sekali dengan apa yang kulakukan. Rasanya nyaman sekali. Tempat dimana seharusnya aku menumpahkan keluh kesahku dan juga tempat dimana seharusnya aku bersandar. Ini memang bukan pelukan pertama kami akan tetapi tetap saja aku merasa malu, jantungku sudah tidak lagi berkompromi untuk tenang. Biarkan saja. Aku ingin melakukan ini. Aku benar-benar ingin melakukan ini. "Nat. makasih" bisikku pelan. Nata hanya diam di depanku. Tidak apa-apa. Tidak apa-apa dia tidak menjawab pertanyaanku. Aku tidak boleh merusak kebahagiaan ini dengan rasa kecewaku. * Pagi ini, aku langsung dikejutkan dengan kehadiran nata yang ada di depan apartemenku. Aku sedikit terlonjak ketika menyadarinya sudah berdiri dibelakangku ketika aku menutup pintu. Jujur saja, aku merasa malu atas kejadian semalam. Bodoh! Kenapa aku melakukan itu. Aku merutuki diriku sendiri, sampai suara Nata kembali menyadarkanku. "Berangkat bareng?" Aku tidak memiliki alasan lain lagi untuk menolak. Aku hanya mengangguk dan mengikutinya. Dia berjalan di depanku dan aku sangat puas hanya memandangi punggungnya. Punggung yang semalam kupeluk. Sial. Kenapa aku ingin memeluknya lagi? Aku menepis segala pikiran-pikiran kotor itu dan fokus memikirkan pekerjaan yang akan kulakukan hari ini. Ada satu meeting dan satu review naskah yang harus kulakukan, sedangkan untuk jobdesc mingguanku aku harus membaca beberapa naskah dari beberapa timku sebelum diajukan ke tim produksi. Aku sedikit tersentak ketika melihat lift agak penuh, Nata masuk duluan dan berdiri dibelakangku, sedangkan aku berada benar-benar tepat di depan pintu lift. Tiba-tiba saja aku merasakan mual, membayangkan sekarang nata berada tepat dibelakangku.  Tiba di basement tidak ada kata-kata yang kami ucapkan. Hanya membiarkan kekosongan itu terjadi diantara kami. Aku sedang malu-malunya menatapnya, jadi benar-benar kehabisan bahan pembicaraan. Bahkan aku seperti sapi yang dicucuk hidungnya, menurut saja ketika Nata mengarahkan kami ke mobilnya. Tidak akan ada Nata yang repot-repot membukakan pintu mobil untukku, untuk itu aku beranjak cepat dan membuka pintu di sebelah kemudi tepat setelah Nata membuka kunci mobilnya. "Saras" panggilnya ketika mobilnya membelah jalanan kota. Aku hanya memalingkan wajah dan menatapnya. "Saya mau ajak kamu keluar, kamu ada waktu weekend ini?" Aku terdiam sebentar kemudian langsung ingat akan janjiku dengan Farhan yang akan memotret untuk NetGeo "Jangan sabtu ya, aku udah ada janji" jawabku cepat, membuat nata menoleh kepadaku. "Kamu jalan hari sabtu? Dengan siapa?" Aku masih merasa tidak perlu menyebutkan nama kepada Nata, jadi kujawab dengan santai "Teman" aku benar-benar tidak tau harus menjawab apa. "Kamu punya pacar?" Hah? Aku memalingkan wajah dengan cepat. langsung merasa tersinggung. "Kamu bisa nggak, nggak mikir macam-macam. Mana mungkin aku punya pacar disaat aku udah bertunangan. Kamu pikir aku gila" "Kamu ada janji hari sabtu, jadi apa yang harus saya pikirkan?" Aku menghela nafas dalam, sepertinya memang tidak ada gunanya berbicara dengan nata. "Aku memang ada janji dengan temanku dan itu bukan date di malam minggu. Terserah Nata, kamu mau mikir gimana" "here we go again" desisnya tajam. "Kamu nggak pernah mikir macetnya hubungan ini juga karena waktu kamu yang terlalu sibuk?" Aku benar-benar tidak tau jalan fikiran laki-laki di sampingku ini tapi dari nada bicaranya dia jelas tidak mau aku banyak aktivitas seperti itu. Tapi aktivitas-aktivitas itu sudah menjadi bagian dalam hidupku. Aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. inilah yang kutakutkan apabila Nata mengetahui segalanya, dia yang tidak bisa menerimanya atau menyuruhku untuk menghentikan salah satunya. itu jelas-jelas tidak bisa kulakukan. bagaimanapun aku menyukai aktivitas-aktivitasku. "Kenapa aku harus mengerti kamu, menuruti apa maumu disaat kamu nggak bisa memberikan hal yang sama?" tanyaku melayangkan tatapan tajam kepadanya, aku sudah benar-benar kesal kepadanya.  "satu alasan kenapa hubungan ini macet karena kamu sendiri, Nata! you don't even get me in! kamu selalu bilang aku terlalu sibuk, tapi apa kamu pernah berjuang sekali aja untuk hubungan ini? pernah kamu berinisiatif mengajak aku kencan kalau bukan aku yang meminta? Pernah kamu inisiatif bilang kegiatanmu kalau bukan aku yang bertanya? Jangan seolah-olah aku yang terus-terusan salah disini!" cecarku pada akhirnya. Terserahlah! lama-lama aku juga penat menjalani semua ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD