Pemakaman

1040 Words
Siang hari itu suasana berkabung begitu terasa. Walau hanya dihadiri oleh beberapa orang saja seperti teman kerja Milly. Juga tetangganya. Salah satunya Rachel. Wanita tua itu mengenakan kaca mata hitam, terus mengelap hidungnya menggunakan tisu disertai isakan. “Oh, Milly…” racaunya masih tidak menyangka. Elena yang berada di sebelah wanita tua itu hanya bisa mengusap lengan, berharap dapat memberikan kekuatan. “Bibi…” “Ia tidak seharusnya mengalami hal buruk seperti ini….” Rachel perlahan bersimpuh dan mengusap nisan yang bertuliskan nama Milly Kincaid. Ia merasa seakan mengulang peristiwa yang sama. Pasalnya beberapa bulan lalu, ia juga menghadiri pemakaman serupa. Bersama Clara, menangisi gadis belia yang tidak seharusnya merasakan segala hal mengerikan itu seorang diri hingga berujung pada kematian tragis. Milly Kincaid. Nama yang sama di nisan itu namun dengan orang berbeda. “Tidak…” tangis Rachel memeluk nisan itu. Seakan meluapkan segala perasaan kehilangan yang begitu kuat dan rasa sakit mendalam seperti apa yang dirasakan Clara jika wanita itu masih hidup. Rachel mulai menyayangi gadis itu sejak gadis itu berinteraksi dengannya selama beberapa bulan ini. Pelan-pelan Rachel pula bisa menerima sosoknya menggantikan Milly yang asli. Namun sekali lagi ajal membawa gadis itu pergi dengan cara yang sama. “Ibumu akan sangat terpukul melihatmu seperti ini Milly….” Rachel menyandarkan pelipisnya pada nisan itu, terus berbicara dalam tangis. “Aku sudah berkali-kali berpesan padamu…” “Kau seharusnya bisa lebih berhati-hati…” Elena tidak tahan lagi melihat wanita tua itu yang terpukul berat dengan kejadian ini. Menelan ludahnya, Elena mendekati Rachel. Ikut bersimpuh dan membawa wanita tua itu ke dalam pelukannya. Turut menangis tersedu-sedu. “Bibi… tolong jangan seperti ini…” “Satu-satunya hal yang bisa kita lakukan adalah mengikhlaskan segalanya Bi…” Sementara Fernandez yang berdiri di belakang Elena cuma melirik pada Axton lewat kaca mata hitamnya sebab temannya itu mulai bertanya padanya, “Siapa dia Andez?” Axton menyelipkan kedua tangannya di saku. Matanya ditutupi oleh kaca mata hitam juga. Pakaiannya pun juga serba hitam, menunjukkan bahwa ia ikut merasakan kedukaan di pemakaman ini. “Rachel Leigh. Ia adalah tetangganya,” jawab Fernandez seadanya. Axton mengangkat satu alis di balik kacamatanya. “Dari yang kudengar, Elena bilang Milly sangat dekat dengannya. Ia sering bertamu ke rumah wanita tua itu.” Fernandez kemudian menoleh pada Axton. “Kau tidak berpikir akan menyingkirkannya juga bukan?” Axton lantas balas menatap temannya itu. “Ia akan menjemput ajalnya sendiri. Kau tidak lihat ia telah rentan?” Setelah itu, ia mendengus. “Lagipula wanita tua itu tidak terlibat dengan masalah ini.” *** Axton menatap langit malam lewat jendela besar itu. Tirainya berkibar, sengaja ia buka membiarkan angin berembus menemani kesendiriannya di ruangan yang hanya dihiasi penerangan seadanya ini. Ia tengah duduk di kursi piano. Meletakkan jarinya di tuts-tuts itu dan mulai menarikan jemarinya di sana. Tidak ada emosi apapun di wajahnya ketika memainkan sebuah lagu itu. Tangannya begitu lincah, berpindah menekan tuts-tuts itu seolah nada-nada itu telah dihafalnya di luar kepala. Matanya terpejam dan kepalanya ikut digerakkannya mengikuti alunan melodi sebelum sebuah ketukan menginterupsinya. Ia menghentikan segera. “Masuk Thomas.” Tanpa melihat Axton tahu sosok di balik pintu itu. Thomas lantas masuk ke dalam, merapatkan pintu itu pelan. Axton beranjak dari sana, menutup piano itu dan bertanya kepada Thomas, “Bagaimana?” “Sesuai harapan anda Tuan Ax. Saya sudah memaksanya untuk makan dan ia langsung tertidur setelahnya. Obat itu bekerja dengan baik.” “Itu bagus. Lalu bagaimana dengan tugas lain yang kusuruh kau mengurusnya Thomas?” “Saya juga sudah mengaturnya Tuan Ax,” lapor Thomas. Axton kemudian merebahkan punggungnya di sofa. Mengambil botol sampanye, menuangkannya ke gelas. “Kau sudah berbicara pada Maddie untuk mengatur pakaiannya sejalang mungkin?” “Seperti perintah anda, Tuan Ax.” “Ini akan menjadi tontonan seru.” Axton kemudian menenggak minumannya, sementara Thomas yang telah berdiri di sebelah sofa mencoba memberi saran secara jujur, “Tapi Tuan Ax… saya rasa ini mungkin terlalu berlebihan.” “Apa maksudmu Thomas?” “Nona Milly… gadis itu terlalu polos melakukan hal ini Tuan Ax. Mempekerjakannya di tempat seperti itu, saya rasa—” “Thomas,” sela Axton langsung. Ia meletakkan gelasnya di meja, menggenggamnya erat. Seakan ingin menghancurkannya. “Gadis itu adalah putri wanita jalang. Ia pasti bisa melakukannya. Lagi pula bukankah itu adalah pekerjaan Ibu nya?” Thomas diam. Namun wajahnya menampilkan gurat ketidakyakinan. Membayangkan gadis itu berada dalam lingkup dunia malam yang sangat liar, melayani para p****************g, membuat hati Thomas sedikit kasihan. Pasalnya dari mimiknya saja gadis itu terlihat sangat menjaga dirinya dengan baik. Bukan seperti gadis bebas yang berpengalaman dalam menggoda seorang pria. Namun Thomas tidak bisa melakukan apapun selain patuh karena Axton sangat tidak suka dibantah. “Dan lagi, ia sudah dua kali menggodaku,” dengus Axton. “Ia memiliki daya pikat yang dapat menguntungkan bisnisku Thomas.” Thomas menatap Axton yang balik menatapnya tanpa emosi. “Ia juga bisa menyakitiku.” “Saya rasa Nona Milly tidak akan menyakiti anda Tuan Ax,” tutup Thomas pada pembicaraan itu. Axton lantas tertawa sumbang. Setelah itu ia menatap tajam Thomas. “Apa kau membelanya? Terbius oleh parasnya Thomas?” Thomas spontan menggeleng. “Tidak. Saya tidak bermaksud begitu Tuan Ax.” “Gadis itu sudah mengetahui bahwa aku adalah orang yang melenyapkan Ibu nya. Menurutmu apa yang akan ia lakukan padaku jika aku tidak lebih dulu menghancurkan hidupnya Thomas?” Beberapa detik kemudian tiba-tiba ponsel Axton di meja berdering. Memunculkan nama Chloe di sana. Thomas melirik benda persegi panjang itu dan Axton meraihnya. Hanya menatap selama sesaat. Lalu tiba-tiba sebuah ide terlintas di pikirannya. “Thomas, apa menurutmu aku perlu mengganti rencanaku?” Thomas hanya terdiam sebab ia tahu pertanyaan itu tidak membutuhkan sebuah jawaban. Hanya pertanyaan retoris yang dilontarkan Axton. “Urus berkas pernikahanku dengan jalang itu Thomas,” titah Axton yang sukses memicu raut agak kaget di wajah Thomas. Namun Axton tidak memedulikan dan sudah sibuk menuangkan sampanyenya, “Secepatnya,” tambahnya lagi sebelum menenggak minumannya, mengabaikan ponselnya yang terus berdering. Entah apa yang dipikirkan Axton, Thomas tidak tahu. Ia juga tidak berniat bertanya lebih lanjut. Dan sebagai bodyguard yang setia Thomas lagi-lagi cuma bisa menjalankan perintah itu. *** bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD