Rencana Licik

1119 Words
Malam harinya, Milly terbangun. Ia tadi tertidur pulas karena kelelahan. Tangannya memegang kepalanya dan menatap sekitar. Bola matanya terbelalak, memandang nuansa ruangan itu yang berwarna hitam dan abu-abu. Segera ia menatap tubuhnya. Terdapat selimut yang membungkus namun dibaliknya ia tidak terhalang oleh apapun. Ia ingat jelas apa yang dilakukan Axton padanya. Lelaki itu… Lelaki itu mengoyak seluruh pakaiannya. Tidak ada yang tersisa. Lalu… mereka bercinta dengan liar dan panas. Tidak ingin mengingat hal menjijikan itu lagi, lekas ia melangkah turun. Terseok-seok karena merasa nyeri dan perih di pangkal pahanya. Kemudian menuju lemari pakaian yang dilihatnya. Dengan lancang ia membukanya. Ketika menemukan beberapa kemeja di sana, bergegas ia mengenakannya. Tapi matanya tiba-tiba berhenti ketika menangkap pantulannya di cermin. Ia membekap mulutnya. Matanya perlahan mengucurkan air mata. Leher, dad@, dan terakhir tulang belikat penuh dengan bekas cumbuan panas. Namun detik berikutnya, Milly menepis euforia kesedihannya. Usai mengancing kemeja itu, ia berpikir cara untuk keluar. Mencari-cari, tapi ia hanya menemukan sebuah jendela. Itu pun sangat tinggi dan ia tidak mungkin melompat. Kembali pandangannya mengedar ke sekitar. Ia perlu kabur segera. Namun tidak ada jalan keluar yang ia dapat. Kecuali dinding itu. Dinding yang di baliknya adalah ruangan kerja Axton. Ia lantas berteriak sambil memukul-mukul dinding itu. Mengamuk hebat, meluapkan segala emosinya pada Axton. “Keluarkan aku!” “b******n!” “Monster!” *** Sementara di balik dinding itu Fernandez mendengar segala teriakan Milly. Ia menatap Axton. Mereka tengah duduk di sofa saling berhadapan dan Fernandez memindahkan bidak di papan catur. “Kau tidak menghabisinya?” Axton menyalakan rokoknya, menghembuskannya kemudian. Mengabaikan segala makian yang dilontarkan Milly padanya. “Aku berubah pikiran.” Fernandez membuang nafas mendengar jawaban Axton. Berbanding terbalik dengan isi hatinya yang sejujurnya merasa kesal karena rencananya melenceng dari perkiraan. Mulanya ia memang ingin memusnahkan Milly dengan tangannya, tapi waktu sadar bahwa gadis itu adalah teman Elena, kembali ia berpikir ulang. Mencoba untuk tidak gegabah. Karena tindakannya itu bisa jadi bumerang untuk hubungannya dengan Elena. Maka Fenandez membawa Milly kepada Axton. Berharap bahwa Axton telah membereskannya. Kemudian ia bisa berhenti berpura-pura dalam memerankan teman baik untuk Axton. Terlebih ia sudah muak dengan segala sandiwara ini. Tapi sekali lagi ia harus bertahan. Karena keinginannya untuk balas dendam belum tercapai. Ia tidak bisa membongkar kebenaran itu dan membuat Axton terpuruk jika lelaki itu saja belum melenyapkan Milly yang notabene adalah Evelyn. Dan semua sekarang menjadi hancur berantakan. “Kau tidak lupa ia siapa bukan?” Fernandez mencoba menghasut, mengungkit kembali dendam Axton. Matanya menyorot dingin. “Atau kau mulai jatuh cinta pada pandangan pertama dengannya?” Axton tertawa sumbang sambil menggerakan bidak catur yang lain untuk melawan Fernandez. “Gurauanmu sangat lucu Andez. Aku tidak pernah jatuh cinta padanya.” “Aku hanya berpikir jika aku langsung menghabisinya, itu akan terasa tidak menarik.” “Apa maksudmu?” Axton memamerkan senyum miring. Mematikan rokoknya segera di asbak. “Aku hanya sedikit ingin bermain-main dengannya.” Fernandez menatap Axton. Temannya itu terlihat menyimpan sejuta misteri. “Apa yang akan kau lakukan Axton?” “Aku ingin menghancurkannya perlahan-lahan. Itu jauh lebih seru ketimbang aku langsung memusnahkannya.” Axton kemudian memerhatikan tangan Fernandez memindahkan bidak catur. Menaruh di papan. Fernandez terlihat sangat ahli dalam permainan strategi ini. Dan ketika tiba gilirannya, Axton memberikan seringai licik pada Fernandez. “Aku akan memperdagangkannya di Clubku dan menjadikannya penari telanjang di sana.” “Ia pasti tidak akan bertahan dan setelah itu akan mengakhiri hidupnya sendiri dengan sukarela,” tambah Axton. “Kau ingin membuatnya depresi?” sinis Fernandez. Axton menatap Fernandez lurus-lurus. “Luar biasa Axton. Lalu setelah itu kau akan membuatku dibunuh oleh kekasihku,” sindir Fernandez. “Itu tidak akan terjadi Andez.” Fernandez kemudian menyipitkan mata. “Kau punya rencana?” *** Tidak lama kemudian Milly terkejut waktu dinding itu berputar dan memunculkan sosok Axton. Fernandez sudah pulang dan sekarang Axton mendekatinya. “Mau apa kau?!” jerit Milly masih kuat melawan. Ia bahkan melempar beberapa perkakas Axton seperti lampu tidur. Remot AC. Juga bantal guling ke arah lelaki itu. Berkali-kali Axton menghindar ke kiri, ke kanan. Bahkan sempat membungkuk dan menggeram melihat Milly mengacaukan ruangannya. Apalagi gadis itu hendak membongkar nakasnya dan dengan kalap melempar seluruh isinya kepada Axton. Beberapa kertas berhamburan. Dua dasi dan satu jam bermerek terlempar ke sembarang arah, sementara sepasang kaos kaki disertai dua kondom tergelincir di bawah kaki Axton. “Menyingkir dariku!” Axton berlutut dengan satu kaki terlipat, memungut salah satu kondom itu. Kemudian mendongak dan perlahan matanya menelusuri kaki jenjang Milly dan muka gadis itu seketika memerah. “Jangan melihatku seperti itu!” sentak Milly dengan nafas memburu karena panik. “Siapa yang mengijinkanmu mengenakan kemejaku hm?” “Apa?” Lalu dalam hitungan detik Milly memekik sebab Axton menariknya, memutar tubuhnya cepat dan merengkuhnya dari belakang. “Lepas…” ronta Milly tapi nyalinya menjadi ciut ketika tonjolan itu begitu terasa menyentuh bokongnya. “Berhenti menggerakkan tubuhmu. Itu sangat mengangguku,” desis Axton merobek pembungkus kondom menggunakan giginya. Lalu menampar inti Milly membuat tubuh gadis itu tersentak ke belakang. Mendongak dan mengigit bibir. Kulitnya terasa perih dan kebas secara bersamaan. Setelah itu tangan Axton mengusap erotis area pribadinya. Nafas Milly seketika tertahan. “Hentikan…” cegahnya menahan tangan Axton agar tidak nakal lagi. “Kau w*************a sialan,” gumam Axton di sela mulutnya mengapit kondom. “Apa—Awh!” pekik Milly akibat dorongan Axton yang membuatnya menempel di dinding yang sudah tertutup otomatis. Lelaki itu menghimpitnya dari belakang, membuat tubuh Milly agak tertekan. Ia meringis dan dengan cepat menoleh pada Axton karena gumaman pelan lelaki itu. “Kupastikan setelah ini kau tidak memiliki tenaga lagi untuk melawanku, jalang.” “Berhenti memanggilku dengan sebutan itu!” protes Milly tajam dengan mata memanas. Tapi tidak dihiraukan Axton. Ia kembali bercinta dengan Milly lagi, membuat gadis itu sukses memekik. Karena tubuh mungilnya makin terbentur ke dinding akibat dad@ bidang Axton yang menekan kuat punggungnya. Pipi Milly menempel lekat di sana. Kedua tangannya hendak mencakar dinding. Ia mendesis saat menyadari perbuatan b***t lelaki itu. Axton dengan muka datar menghentakkan miliknya kuat-kuat sambil mengerang nikmat. Deru nafas lelaki itu terdengar berat mengisi pergumulan panas mereka. Satu tangan Axton tertekuk, menahan di dinding, sementara pinggulnya terus bergoyang makin menekan dalam miliknya. Ketika Axton menaikkan tempo gerakannya, makin keras dan brutal, pekikan Milly sontak kembali bergema. Itu terdengar seksi di telinga Axton hingga gairahnya sukses meningkat. “Kau sangat berisik jalang,” bisik Axton serak di telinga Milly. Mata Milly cuma bisa terpejam erat, merasakan hujaman kasar Axton. Dahinya agak berkerut. Air matanya hampir mengalir tapi ia tahan. Ia mengigit bibir bagian dalamnya kuat-kuat, merasa sangat hina sekarang. Lelaki itu… menyetubuhinya tanpa permisi. Juga membuat seluruh tubuhnya terasa remuk dan hancur. *** Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD