Mawar Merah

1795 Words
“Hei, Mom,” sapa Axton kepada Wella yang hanya duduk mematung di tepi kasur. Tatapannya kosong dan tampak sedang melamunkan sesuatu. Axton membuang nafas lelah. Tapi ia berusaha mengukir senyum dan menutup pintu kamar. Kemudian berjalan ke arah jendela. Melirik kebun kecil mawar merah di bawah sana. Suasana musim semi pagi ini membuat bunga-bunga itu tampak mekar dengan indah. Ia tahu betul bahwa Ibu nya suka bercengkraman dengan bunga-bunga itu—sebelum pengkhianatan Ayah nya terjadi dan merusak momen kebersamaan mereka selama ini. Bunga-bunga itu bahkan dulu menjadi saksi bisu setiap aktifitas keluarga mereka di pagi hari. Kecupan mesra yang diberikan Ayah nya kepada Ibu nya… Elusan lembut di puncak kepalanya sebagai bukti kasih sayang seorang Ayah untuknya… Dan Axton tidak akan membiarkan bunga-bunga itu mati. Ia tidak ingin Ayah nya tertawa dan melihat seberapa hancur Ibu nya. Lewat bunga-bunga itu, Axton ingin membuktikan bahwa semuanya masih sama, sekalipun terjadi sedikit perubahan. Ia percaya bahwa suatu hari di masa depan Ibu nya akan kembali. Layaknya kuncup bunga mawar yang mekar, Ibu nya akan kembali tersenyum. “Aku berusaha agar bunga-bunga itu terus tumbuh indah Mom,” gumam Axton. Ia lalu berbalik, memandang getir wajah Wella yang terlihat kehilangan gairah hidup. Meskipun dirinya tidak memiliki ikatan darah, tapi Axton bisa merasakan seberapa dalam luka yang ditorehkan Ayah nya terhadap Ibu nya. Dan membiarkan b******n itu bahagia, sementara Ibu nya menderita adalah sebuah kesalahan besar, juga terasa tidak adil. Hingga hari itu Axton melakukan sesuatu yang ia rasa tepat. Mengakhiri hidup Ayah nya juga wanita sialan itu. “Aku tidak pandai merawatnya Mom. Jadi aku meminta Gloria untuk mengurusnya.” Setelah itu Axton mendekati Wella. Setengah berlutut dan meraih satu tangan rapuh Wella. Menyelipkan setangkai bunga mawar agar digenggam Ibu nya. “Cepatlah sembuh Mom dan peluk aku. Karena aku sangat merindukanmu.” Kepala Axton terangkat menatap sendu Wella yang masih setia memandang lurus ke depan dengan pandangan hampa. “Aku tahu bahwa kau sangat suka merawat bunga-bunga ini. Jadi aku memetikkan satu untukmu.” “Selamat ulang tahun, Mom. Ini hadiah yang sama setiap tahun yang selalu aku berikan untukmu.” Tiba-tiba setetes air mata mengalir di pipi Wella, membuat Axton hendak menyekanya, “Mom…” Namun Wella kambuh lagi dan berteriak, “Pergi!!” Setangkai mawar itu seketika terlempar begitu saja. Axton berdiri dan hatinya mencelos melihat Wella yang sekarang menangis histeris, menjambak rambut sendiri dilanjut menutupi kuping dan diakhiri meringkuk ketakutan sambil menggeleng di ujung ranjang. Lalu sebuah bantal dilempar Wella ke sembarang arah ketika Axton tengah memungut setangkai bunga mawar itu. Nanar, ia memandang Ibu nya. “Pergi!!!” Lagi jeritan itu terdengar nyaring. “Tuan Ax…” Tiba-tiba pintu terbuka memunculkan Thomas, bodyguard yang mengabdi untuknya. “Anda baik-baik saja?” Tidak ada jawaban dari Axton. Selama sesaat Axton cuma bisa bergeming menyaksikan beberapa perawat yang selama ini bertugas membantu menenangkan Ibu nya mulai memasuki kamar. Jeritan memekakkan itu menjadi bukti hilangnya kendali Wella lagi. Jeritan yang sukses meremas jantung Axton. “Pergiiii!!!” Wella melompat dan meronta ketika kedua tangannya dicekal oleh beberapa perawat sebelum lemas kemudian akibat sebuah suntikan. Perlahan kelopak mata Ibu nya itu tertutup dan tubuhnya mulai dibaringkan di ranjang. Axton yang memerhatikan semua itu hanya terdiam. Ia kemudian mengusap mulutnya frustasi dan keluar dari kamar itu, melepas bunga mawar yang dipungutnya ke lantai. Hingga bunga itu… jatuh terkulai begitu saja. *** Sebuah gedung tinggi tampak megah menjulang terpampang jelas di balik kaca mobil, membuat Milly yang melihatnya seketika menelan ludah kasar. Matanya tidak bisa berdusta, bahwa ia cukup takjub. Itu juga menjelaskan perbedaan mencolok antara kehidupan pemilik dengan kehidupannya. Kehidupan pemilik itu sudah pasti sangat baik. Berkecukupan atau bisa dibilang lebih dari itu. Sangat enak dan tidak pernah merasakan kesusahan dalam mengumpulkan uang seperti dirinya. Tentu saja dengan harta bergelimpang yang tidak diragukan itu, pemilik gedung itu bisa melakukan apapun. Terlebih Bibi Rachel pernah berpesan demikian padanya terkait tabiat orang berkuasa. Dan satu-satunya hal yang bisa dilakukan orang biasa sepertinya adalah tidak mencari masalah dengan mereka agar hidup tentram. “Aku sudah menghubunginya. Kau akan bertemu temanku, Milly,” ucap Fernandez datar di balik setir kemudi. Elena yang berada di kursi sebelahnya lantas memandang tak percaya kepada Fernandez. “Apa?” “Ia adalah orang yang tepat yang akan membantumu,” Fernandez melirik Milly di spion tengah mobilnya. Setelah itu menatap Elena, tersenyum miring. “Aku sudah membantu di sini, Elena. Kau tidak boleh membatalkan perjanjian kita.” “Temanmu yang membantu. Itu bukan kau Andez,” geram Elena. “Aku mempertemukan Milly dengan temanku. Itu sebuah bantuan dariku. Karena ia lebih bisa diandalkan daripada aku.” “Tidak apa Elena. Ini sudah lebih dari cukup,” lerai Milly dari kursi belakang, tidak ingin perdebatan Fernandez dan Elena berlanjut lagi. Masker masih setia menghalangi sebagian wajahnya Elena menghembuskan nafas pendek ketika Milly turun dari mobil Fernandez. Kaca diturunkan Fernandez dan lewat ekor matanya dengan tangan yang bertengger di setir mobil, Fernrandez berkata, “Kau cukup sebutkan namamu, ia sudah tahu.” “Terimakasih Andez.” Setelah itu Milly tersenyum pada Elena. Melambai pada temannya itu, “Sampai jumpa nanti Elena.” Elena hendak membalas lambaian Milly tapi kaca mobil itu telah dinaikkan Fernandez. Kemudian mobil itu mulai melaju, meninggalkan Milly di belakang. Hingga Elena memprotes kemudian, “Andez!” Membelokkan setirnya Fernandez berkata santai, “Hari ini kita perlu membahas urusan kita Elena. Hanya kau dan aku.” *** “Aku sudah menunggumu dari tadi,” ucap Chloe pada Axton yang memasuki ruangan kerja. Gadis itu duduk di atas meja dan memangku sebelah kakinya. “Kau sepertinya sedang dalam mood yang tidak baik Axton.” “Pulanglah ke rumahmu Chloe,” balas Axton tidak berminat. Lalu duduk di sofa. Menyandarkan punggung dan menengadahkan kepalanya. Lengannya menutup mata. Suasana hatinya memang sedang kacau. Dan teriakan Ibu nya terus terngiang di kepalanya, membuat otaknya terasa penuh. Selama ini dirinya telah mencoba segala cara. Berusaha keras membantu penyembuhan Ibu nya. Membawa berobat juga melakukan perawatan dari segi mental ke psikiater terbaik yang ada di Los Angeles. Tapi hingga detik ini, belum ada perkembangan berarti yang ia dapatkan. “Aku datang ke sini untuk membahas bisnis kita Axton. Kau tidak lupa bukan?” Chloe kemudian turun dan menghampiri Axton. Berjalan lemah gemulai lalu duduk di sebelah Axton. Jemarinya bergerak hendak menyentuh milik Axton, tapi dengan cepat Axton meraih tangan Chloe. “Aku sudah katakan padamu untuk pulang Chloe.” Tatapan Axton terlihat tidak bersahabat. Sangat menusuk tapi bukan Chloe namanya jika menyerah. Walau awalnya gadis itu sempat tersentak selama seperskian detik oleh remasan kuat Axton pada tangannya, namun detik selanjutnya ia sudah memamerkan senyum menggoda. “Aku sedang menggantikan Ayahku. Ia menugaskanku untuk menemuimu.” “Itu tidak mungkin. Kau datang ke sini karena kemauanmu.” “Kau bisa bertanya sendiri pada Ayahku Axton, jika kau tidak percaya,” tantang Chloe, tidak takut sama sekali dengan sorot mata menajam Axton. “Kalau begitu aku akan membatalkan bisnisku dengan Ayahmu.” Chloe memberikan senyum picik pada Axton. “Kau tidak mungkin melakukannya Axton. Ayahku adalah teman baik Ibumu sewaktu kuliah. Bahkan ketika bisnis Ayahku terancam, Ibumu-lah yang membujuk Kakekmu untuk menjadi mitra hingga sekarang. Lalu kau ingin melepas kerjasama?” “Ibumu pasti tidak suka. Aku akan mengadukan hal itu padanya.” Chloe berdiri angkuh, lalu menghempaskan cekalan Axton dan kembali menuju meja kerja Axton untuk meraih tas kecilnya. “Aku tahu Ibumu sedang mengalami despresi berat. Tapi ia tidak tuli. Apalagi aku bisa menjadi teman bicara yang baik untuknya dan kau tahu jelas itu Axton.” Axton memerhatikan gerak-gerik Chloe, hingga bersamaan gadis itu hendak mencapai pintu keluar, Axton lekas beranjak dan menerjangnya Chloe, membenturkan tubuh gadis itu keras ke dinding. “Apa maumu?” desis Axton tajam. Chloe menampilkan senyuman kemenangan. Ia mengabaikan tatapan berkilat Axton. Tangannya perlahan terjulur di kancing kemeja putih Axton, melepaskan beberapa kancingnya. Menjelajah dad@ bidang lelaki itu sambil mengigit bibir nakal. “Kau tahu apa yang aku inginkan Axton,” bisiknya genit. “Kau tidak pernah berubah Chloe.” “Lebih tepatnya… aku tidak pernah menyerah padamu Axton.” Dengan lekat, Axton menatap Chloe. Ia berusaha menahan emosinya. “Kau tahu Chloe, tingkahmu ini pasti akan membuat Ayahmu sangat kecewa.” “Kau juga sama Axton. Kau membunuh Ayahmu dan menutupi kematiannya. Perbuatanmu itu akan membuat Ibumu kecewa. Sangat kecewa.” Di detik kalimat Chloe selesai, di detik itu pula Axton mengumpat dan langsung melumat kasar bibir gadis itu. Membungkam agar gadis itu tidak banyak bicara lagi. Chloe lantas membalas tak kalah liar, tangannya memainkan rambut kasar Axton. Chloe Lorenzia. Gadis itu mengetahui perbuatan Axton malam itu karena tidak sengaja mendorong pintu yang tidak terkunci dan menyaksikan mayat Otis Bardrolf telah tidak bernyawa. Namun gadis itu tidak mengetahui potongan kelam masa lalu Axton. Dan kata membunuh yang terucap di bibir Chloe, membuat Axton teringat pada kebodohannya itu. Memori beberapa tahun silam yang telah lama ia kubur secara paksa, juga meninggalkan secercah penyesalan di dalam dirinya. Ia tidak pernah berniat membunuh. Sama sekali tidak pernah. Dan apapun yang ia lakukan sekarang, semua itu untuk menghukum orang-orang bersalah yang memang pantas mendapatkannya. Pagutan mereka seketika terlepas. Nafas Axton memburu sementara Chloe pun demikian. Wajah mereka terkikis sedikit jarak. “Tidakkah kau takut bahwa aku juga bisa membunuhmu Chloe?” geram Axton. “Kau tidak akan berani. Karena Ibumu pasti akan sedih kehilangan teman bicaranya.” Chloe kemudian membuka kancing blouse putihnya, menyuguhkan kedua buah dad@nya yang terekspos tanpa bra pada Axton. Meraih satu tangan lelaki itu, lalu menggerakkannya untuk menjamah tubuhnya. Kemudian desahan keluar dari bibir Chloe ketika Axton meremas dad@nya dengan tatapan tidak terbaca. Namun menimbulkan aura mencekam. “Kau harus menikahiku Axton. Segera.” Setelah itu Chloe mendongak dan mengigit bibirnya, merasakan kenikmatan mulut Axton yang mengulum dad@nya. Kemudian bibirnya menyunggingkan senyum sekilas ketika mendengar ucapan pedas Axton. “Aku tidak akan menikahi wanita jalang sepertimu Chloe.” Axton lantas menepis jemari Chloe yang bergerilya hendak membuka resletingnya, membawa kedua tangan gadis itu dalam sekali hentak ke atas kepala. “Axton…” Wajah Chloe memerah, terlihat begitu mendamba. “Kau tahu jelas, bahwa kau tidak akan mendapatkannya.” Axton menyeringai, lalu menyelipkan jemarinya pada dalaman Chloe di balik rok hitam ketat, memasukkan jemarinya di sana. Membuat gadis itu menjerit dan terengah-engah merasakan permainan tangan Axton begitu ahli di bawah sana. “Axton…” rengek Chloe memohon tidak tahan sebab ia merasa akan menuju pelepasannya. Namun sama seperti malam itu, Axton kembali melakukan hal serupa terhadap dirinya. Membuatnya bergetar, mencapai klimaks seorang diri. Tapi tidak dengan lelaki itu. Axton cuma menonton seolah-olah lelaki itu hanya sekedar membantunya saja. Hingga keinginan Chloe merasakan kepunyaan Axton di tubuhnya tidak pernah terlaksana. “Jangan berharap lebih dariku Chloe Laurenzia.” Chloe spontan mengumpat di antara lenguhan panjang nya. *** bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD