15. Harus Tanggung Jawab

2148 Words
Sebuah taman cantik nan rindang menjadi saksi bisu peristiwa nahas yang terjadi akibat seorang perempuan yang mendadak harus mengandung anak pria atas kesalahan pada suatu malam. Amara adalah perempuan itu yang harus menerima siksaan dari sang ayah akibat hamil di luar nikah. Amara yang tertunduk lemah hanya bisa pasrah menerima tamparan dan cambukan yang diberikan oleh ayahnya. Meski sakit, tetapi ia merasa lebih lega telah berkata jujur pada kedua orang tua. Rasa sakit yang ia terima saat ini tak sebanding dengan rasa sakit harus kehilangan kehormatan sebagai seorang wanita hingga mengakibatkan wanita itu hamil tanpa suami. Tak lama setelah dihajar oleh Rendra yang kalut, Amara jatuh pingsan di area taman. Seketika membuat sang ibu menjerit kasihan melihat putri kesayangannya tergelak tak berdaya di sana. Sebelum ia tak sadarkan diri, perempuan yang tersakiti itu meneteskan air mata. Berharap tetesan air mata itu tak berlanjut terus-menerus di kehidupannya mendatang. “AMARA!!!” jerit Dian saat melihat anak perempuannya ambruk. Lantas wanita paruh baya itu bergerak cepat ke lokasi Amara tak sadarkan diri. “Amara … Ara Sayang, ayo bangun, Nak! Jangan pingsan begini!” seru Dian terisak. “Mbok Sri! Bik Ria! Kemarilah kalian berdua sekarang!”’pekik Dian yang langsung disahuti para asisten rumah tangganya. Mbok Sri dengan Bik Ria bergegas mendekati Amara yang pingsan untuk ke sekian kalinya pasca mengandung. Sedangkan Rendra mulai menyadari jika ia sudah keterlaluan dalam menghukum anak sendiri. Jiwa seorang ayah pun muncul dari dalam dirinya untuk menolong sang putri yang jatuh pingsan. “Sudah-sudah, biarkan aku saja yang membawa Amara masuk. Aku yang akan menidurkan dia di kasur. Minggir,” pinta Rendra. Dian yang cemas menimpali kalimat yang keluar dari mulut suaminya. “Syukurlah, Papa mau menggedong anak gadis Papa sendiri. Kenapa nggak daritadi saja sih, Pa? Kasihan putri kita. Mama nggak tega sama Amara,” ucap Dian frustasi. Rendra yang tengah menggendong sang anak tiba-tiba menghentikan langkah usai mendengar ucapan Dian. “Anak gadis kau bilang? Siapa gadis? Dia sudah nggak gadis lagi. Dia sudah nggak perawan. Bisa malu aku sama keluarga Hanggara. Calon istri Tristan ternyata tak perawan. Mau ditaruh mana mukaku???” cecar Rendra geram. “Sudah hentikan adu mulut ini, Pa. Masalah itu bisa kita pikir nanti. Yang penting sekarang Ara sadar dulu. Ayo, Pa, buat agar anak kita cepat siuman,” rengek Dian sambil menarik-narik baju suaminya. Rendra hanya membisu lalu bergerak ke arah private lift yang hanya digunakan di rumah mewah milik keluarga Respati pada saat mendesak seperti ini. Sengaja pria paruh baya itu menekankan alasan demikian pada seluruh anggota keluarganya agar tidak malas untuk naik tangga. Ibarat siklus kehidupan, Rendra ingin seluruh anggota keluarganya harus kerja keras dan tidak menggampangkan kekayaan. Rendra termasuk golongan pria diktator yang menjunjung tinggi kedisplinan. Contohnya saja sudah terlihat dengan caranya menyiksa anaknya sendiri seperti yang telah terjadi itu. Setelah sampai di kamar Amara, hal pertama yang dilakukan untuk orang pingsan tetap sama yaitu membaringkan perempuan itu di atas ranjang dan menaruh bantal yang lebih tinggi di bagian kaki agar darah mengalir lancar ke otak. Hal itu dilakukan sebagai rangsangan untuk segera sadar. Lalu membuka kancing baju yang dikenakan Amara agar longgar hingga bisa bernapas dengan baik. “Bagaimana, Pa? Amara masih belum sadar ini,” tanya Dian yang khawatir. “Sebentar, aku periksa dulu denyut nadinya. Jika tak ada denyut nadi, aku harus berikan dia napas buatan,” jawab Rendra dan kemudian memeriksa denyut nadi Amara yang ternyata masih terasa. “Masih ada denyut nadinya. Kalau begitu ambilkan minyak kayu putih atau bau-bauan yang menyengat agar ia terangsang untuk sadar.” Bik Ria langsung mengambil minyak kayu putih yang saat ini memang berguna untuk Amara yang kerap kali pingsan. “Ini, Tuan,” sahut Bik Ria sambil menyodorkan minyak kayu putih untuk Amara. Dian menyela. “Pa, Amara ini sering pingsan lho. Mama takut kalau sampai dia sering pingsan itu tandanya tekanan darah menurun. Darahnya nggak bisa mengalir ke otak. Aku jadi takut Amara punya gangguan otak nantinya terus gila. Aduh ….” Rendra lekas menanggapi ucapan istrinya. “Sudah-sudah, jangan melantur! Kayak kamu dokter saja sampai sok tahu tentang sakit.” “Ya, karena Mama nggak mau Amara kenapa-kenapa. Dia putri cantikku satu-satunya. Mama nggak mau kehilangan Amara. Apalagi setelah tadi dia bilang si Bara sialan itu yang sudah menodai Amara. Takkan kubiarkan ia angkat kaki dari masalah ini.” Rendra berdecak. “Kau tenang saja. Aku akan mengambil sikap nanti untuk Amara dan si berengsek Bara Gandawasa itu.” “Sikap apa, Pa???” tanya Dian penasaran. “Tunggu sampai Amara bangun,” jawab Rendra singkat lantas berusaha agar sang putri bisa cepat sadar dari siuman. *** Amara tersadar beberapa menit setelah ia pingsan mendadak. Bayangan yang kabur berubah menjadi lebih jelas usai mengejap-ngejapkan mata. Kini ia mampu menyaksikan ekspresi lega dari kedua orang tuanya yang menantikan anak perempuan mereka untuk lekas siuman. “Ara, syukurlah kamu sudah sadar. Kamu sekarang sudah nggak apa-apa kan? Eh tapi, mukamu memerah begitu dan punggungmu … Ya Tuhan, anakku tadi dihajar Papa. Pasti sakit semua ya, Sayang?” tanya Dian prihatin melihat wajah Amara yang memar dan memerah. Amara menjawab pelan, “Nggak apa-apa, Ma. Memang Ara harus dihukum. Ara pantas menerima hukuman dari Papa.” Amara berkata sambil menitikkan air mata. Tak mampu menahan laju air mata yang lebih dulu keluar membasahi pipi. Wanita yang tengah mengandung itu cepat-cepat mengusap air matanya. Tak ingin terlihat cengeng dan mengenaskan. “Pasti lukamu sakit sekali,” celetuk Dian lalu melanjutkan kalimatnya lagi. “Bik Ria, Mbok Sri, tolong rawat anakku Amara. Tolong rawat lukanya! Siapkan kompres air hangat untuknya!” “Baik, Nyonya,” jawab kedua asisten rumah tangganya tersebut. Tiga menit kemudian, para asisten rumah tangga milik keluarga Respati tiba di kamar Amara. Mereka berdua langsung merawat sang putri majikan dengan hati-hati. Terutama Mbok Sri yang selama 27 tahun ini sudah membesarkan Amara. Rasa sayang asisten rumah tangga tersebut pada wanita itu layaknya anak sendiri. Luka memar-memar di wajah dan punggung Amara pun dikompres dengan air hangat. Beberapa kali dikompres agar tidak bengkak juga. Baru setelah cukup lama dikompres, luka yang ada di tubuh mulus wanita itu segera diolesi obat luka luar. Meski perih, Amara berusaha agar tidak kesakitan di depan banyak orang. Tak ingin orang-orang khawatir pada kondisi tubuhnya. “Aduh, perih sekali pasti ya, Ara?” tanya Dian sambil mengerutkan kening tak tega. Perih sih, Ma. Tapi luka luar ini tak sebanding dengan luka dalam yang aku rasakan. Hatiku terluka ketika aku harus mengandung anak seorang pria yang tak pernah menginginkan aku untuk menjadi istrinya. Sepertinya anak ini takkan punya ayah. Amara membatin dalam hati sebelum menjawab pertanyaan ibunya. “Perih sedikit, Ma. Tapi nggak lama lagi juga sembuh. Cuma luka luar. Nggak apa-apa kok,” jawab Amara tegar. Rendra tak menggubris ucapan Dian dan Amara tentang rasa sakitnya. Ia hanya diam tanpa meminta maaf telah menampar dan mencambuk sang putri. Pria paruh baya itu malah tertarik untuk mengadili Amara lagi tentang Bara Gandawasa, sang putra dari musuh bebuyutan. “Hei Ara, sekarang saatnya kau menjelaskan pada Papa dan Mama kenapa kau bisa sampai hamil? Bagaimana ceritanya???” tanya Rendra dengan tatapan sengit. Amara langsung menoleh ke arah sang ayah. Sebelum menjawab pertanyaan itu, ia meneguk ludah lalu menghela napas. Ingin menceritakan kejadian yang sesungguhnya yang telah terjadi padanya. “Baiklah, Pa, Ma. Akan Ara ceritakan kejadiannya,” sahut Amara. Lantas wanita itu menjelaskan awal mula bisa terjebak cinta satu malam dengan Bara Gandawasa. Semua yang telah terjadi antara Amara Respati dan Bara Gandawasa dijelaskan secara lengkap oleh putri bungsu keluarga Respati tersebut. Sebagai seorang anak yang patuh pada orang tua, ia tak ingin menyembunyikan apapun dari kedua orang tuanya. Termasuk saat Bara mengatakan secara tegas jika tak ingin menikahi Amara. Yang ingin dinikahi oleh CEO sekaligus selebgram itu adalah Nadia Shafira, kekasihnya. Setiap kalimat yang terlontar dari mulut Amara membuat Rendra sebal dengan keturunan Gandawasa itu. Rencana pria itu untuk menjodohkan putrinya dengan keluarga Hanggara hancur sudah. Impiannya untuk menjadi besan pengusaha minyak terkemuka dari Balikpapan telah musnah gara-gara kehamilan Amara. “Cukup! Cukup! Sudah cukup ceritamu! Gandawasa muda itu benar-benar sudah menghancurkan ambisiku untuk menjadi semakin kaya. Dasar berengsek! Aku akan membalas ini semua!” seru Rendra. Iris gelap milik pria itu mendadak jadi menyala. Lantas Rendra segera menarik tangan Amara dan menyeret sang anak perempuannya dengan emosi memuncak di d**a. Membuat orang-orang yang ada di sana terperanjat atas tindakan Rendra Respati yang terkenal displin dan berwatak keras seperti batu. “Pa, Ara mau dibawa kemana lagi?” tanya Dian mulai panik kembali. “KE RUMAH CALON BESAN KITA YANG BARU!!!” sergah Rendra sembari berteriak-teriak seolah-olah ingin menerkam keluarga Gandawasa yang sudah terpatri di otaknya sebagai musuh abadi. “APAAA?” pekik sang ibu. Amara hanya mendesah pasrah. Berniat menuruti segala permintaan ayahnya yang mendadak kambuh menjadi monster kembali. “KELUARGA SIALAN ITU HARUS TANGGUNG JAWAB!” Rendra memekik kembali. Emosi dan benci menguasai pria paruh baya itu. Bertekad ‘memakan’ Bara Gandawasa hidup-hidup jika sampai tak bertanggung jawab pada putri kesayangannya. Amara hanya bisa sesenggukan sedangkan Dian hanya bisa mengernyit cemas dengan tindakan suaminya yang terburu-buru berangkat menuju rumah megah keluarga Gandawasa yang terletak di Kemang. Dari Permata Hijau ke Kemang yang berjarak sekitar 10 km, membutuhkan waktu selama sekitar 20 menit untuk bisa tiba di sana. Kali ini, Rendra sengaja mengendarai mobil Mercedes Benz S-Class hitam miliknya tanpa sopir pribadi. Ia membawa istri dan anak perempuannya untuk bertemu dengan Bara, Ghani, dan Sandra Gandawasa. Hendak meminta pertanggungjawaban dari Bara yang telah merusak masa depan Amara untuk menjadi istri konglomerat minyak tersohor dari Kalimantan Timur. Merusak cita-cita Rendra untuk menjadikan anak perempuannya sendiri sebagai alat untuk kemajuan perusahaan Respati. Selang sekitar 20 menit perjalanan, mobil mewah Rendra pun tiba di depan sebuah rumah megah milik pengusaha kaya raya bernama Ghani Gandawasa. Pria yang menjadi rival abadi Rendra Respati sejak dulu kala. “Aku mau ketemu dengan Gandawasa muda dan Gandawasa tua. Bukakan pintu untukku,” pinta Rendra pada security kediaman bak istana tersebut. “Sudah punya janji sebelumnya, Pak?” tanya sang security. Rendra menggeleng. “Belum, katakan saja jika Rendra Respati dan Amara Respati mau bertemu. SEKARANG!” Sang security terlonjak mendengar teriakan pria paruh baya itu. Ia pun lekas menghubungi sang tuan rumah sesuai permintaan Rendra. Usai menelepon majikannya, security tersebut mempersilakan mobil Rendra untuk memasuki halaman rumah. Tanpa berlama-lama lagi, Rendra menekan pedal gas untuk bisa cepat sampai di parkiran. Sudah tak sabar untuk melakukan pertemuan sengit secara tiba-tiba bagi kedua keluarga yang bermusuhan tersebut. Ketika Rendra beserta anak dan istrinya turun dari mobil, tampak Ghani Gandawasa dan sang istri yang bernama Sandra keluar dari rumah megah mereka. Kemudian Ghani menoleh ke arah Rendra dan netra gelap milik kedua pria itu saling bertemu. Dan hanya ada Ghani dan Sandra yang ada di sana, namun dimanakah Bara? Sementara itu di sebuah apartemen Kalibata milik Nadia, terlihat Bara yang memeluk erat kekasihnya. Karena hari ini adalah hari libur, Bara menghabiskan hari liburnya bersama Nadia di apartemen wanita itu. Berniat mesra-mesraan dengan wanita yang menjadi kekasihnya. Menghujani sang wanita pujaan dengan ciuman-ciuman memabukkan. Namun, ada hal aneh yang terjadi pada Bara Gandawasa saat mencumbu sang kekasih yakni mendadak ia mual dan langsung muntah-muntah. Nadia yang memergokinya jadi bingung. “Baby, apa kamu sakit?” tanya Nadia sambil meletakkan tangan di bahu Bara. Bara menggelengkan kepala. “Enggak. Aku nggak sakit. Engah kenapa aku tiba-tiba merasa …” Belum sempat Bara menyelesaikan kalimatnya, serangan mual-mual dan muntah-muntah itu hadir lagi. “Ya ampun, Baby, apa kita ke dokter saja? Takut kamu kenapa-kenapa,” saran Nadia yang langsung ditolak oleh Bara. “Nggak usah, Sayang, mungkin aku cuma masuk angin.” “Ya sudah, aku ambilkan kamu obat ya. Kamu harus istirahat juga,” ujar Nadia. Bara pun mengangguk pasrah akibat kondisinya hari ini yang cukup ‘aneh’ bagi pria itu. Setelah ia puas muntah-muntah, mendadak ponselnya berbunyi. Terlihat di layar jika terdapat kontak yang bertuliskan ‘Papa’ tengah memanggil. Pria itu pun segera mengangkat telepon dari sang ayah. “Halo, Pa.” Bara menyapa sang ayah via telepon. Kemudian Bara mendengarkan ucapan serius dari sang ayah. Dan mendadak ponselnya terjatuh dari tangan pria itu. Seketika tubuhnya jadi kaku dan seolah-olah seperti tersambar petir. Ia hanya bisa terdiam terpaku di sana. Nadia yang melihat ekspresi kaget kekasihnya jadi bertanya-tanya tentang apa yang terjadi. Wah, ada apa ini? Apa yang telah diucapkan oleh Ghani Gandawasa pada anaknya? **** Notes: Malam kak, seperti biasa ya cerita ini up-nya malam. Wah, gimana dgn chapter ini? Aku rencana mau double up tapi gajadi udah lumayan banyak words-nya. Hehe Kalo aku kasih bonus update lagi besok gimana? Yg baca, komentar ya biar aku lebih semangat lagi ngetiknya. Hehe.. Btw kak, cuma nanya ya, aku kan penulis masih baru, masih kayak kecambah hehe… kalo aku bikin grup WA apa ada yg mau join? Makasih udah baca cerita ini. Tetep ikutin sampai tamat ya.!❤️
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD