2

965 Words
Keke masih dalam mode bad mood, bahkan gadis itu mengurung diri di kamarnya saat makan malam. Keke, sengaja pulang kampung karena proses sidang skripsinya telah selesai. Dia hanya tinggal menunggu jadwal wisuda yang akan dilangsungkan setelah lebaran. Selain itu, dia juga tengah mengobati hatinya yang patah. Putus cinta begitu menyesakkan, dia dan Kevin telah berpacaran selama tiga tahun, suka duka bersama dan selama ini Keke begitu setia padanya. Awalnya Keke mengingkari firasatnya sendiri. Tepatnya setelah masa KKN berlalu, Kevin mulai menampakkan perubahan, mereka jarang bertemu padahal berasal dari kampus yang sama. Kevin selalu saja punya alasan untuk menghindarinya. Namun, dua Minggu lalu, laki-laki itu menyerah dan memilih mengakhiri hubungan mereka. "Ke, aku yang salah di sini, aku yang berselingkuh, kau wanita yang sangat baik, sangat sempurna, jadi aku tak berhak mendapatkan dirimu," Begitu kata Kevin waktu itu. Rasanya Keke ingin mencincang Kevin, jika tau dia bersalah seharusnya Kevin minta maaf, berubah dan kembali padanya. Bukan memutuskan hubungan mereka secara sepihak. Tapi, alih-alih menangis, Keke malah tersenyum anggun. "Aku tau, wanita setia tidak akan cocok dengan laki-laki peselingkuh. Untungnya kau mengaku sekarang, sebelum aku memperkenalkanmu pada ayahku." Padahal dalam hatinya, Keke merasa remuk, dia bahkan mengurung diri di kamar selama tiga hari. Hanya makan makanan ringan dan tidak mandi-mandi. Dia membebaskan air matanya sampai dia bosan dan lelah untuk menangis. Saat ini, Keke tidak ingin lagi mengingat laki-laki itu. "Boleh ayah masuk, Ke?" Ayah tiba-tiba saja muncul. Ayah masih memakai kopiah, baju koko dan kain sarung. Artinya ayahnya baru saja selesai sholat. "Masuklah, Yah!" Keke membereskan komiknya yang berserakan di atas kasur. "Ada apa, Nak? Ayah lihat kau sangat murung sejak kepulanganmu dari kota. Ayah siap mendengar ceritamu." "Tidak ada, Yah." Keke berusaha menyembunyikan kebohongannya. "Tidak ada berarti ada. Apa kuliahmu lancar?" "Bentar lagi Keke wisuda, ayah juga tau kan?" "Ayah tau. Terus, apa kau bertengkar dengan pacarmu?" "Kami sudah berakhir, Yah. Dia bukan laki-laki yang baik. Keke selalu ingat pesan ayah, suami itu adalah pemimpin, jika dia tak mampu menjadi pemimpin untuk dirinya sendiri, bagaimana dia bisa memimpin keluarganya?" "Bagus." Pak Iwan tersenyum bangga. "Kau ingat laki-laki tadi?" "Yang mana, Yah?" "Yang mengantar mejamu." "Oh, Abang itu. Ingat wajahnya tak ingat namanya." "Namanya Bujang." "Iya, kolot sekali namanya." "Jangan nilai namanya. Nilai pribadinya, apa kau lupa, saat kau masih SD, kau pernah hanyut di sungai, Bujanglah yang menyelamatkanmu." "Keke tidak ingat." "Menurutmu bagaimana dia?" "Kenapa ayah tanyakan dia pada Keke?" "Tidak, ayah hanya perlu pendapatmu." "Dia pendiam. Tak banyak bicara," jawab Keke. "Apa menurutmu dia tampan?" "Sedikit, sayang sekali, wajahnya tidak terurus, mungkin kalau rambutnya dipotong, dan kumisnya dicukur dia akan kelihatan lebih rapi." "Ayah suka dengan Bujang?" "Apa?" Keke sangat terkejut. "Jangan bilang," "Apa kau berpikir ayah punya kelainan, anak bodoh. Maksud ayah, ayah menyukai kepribadian Bujang, dia sebenarnya memiliki banyak uang, buktinya mesjid di desa tetangga dialah yang membangunnya. Tapi dia tak bermewah-mewah, dia punya hutan sendiri untuk usaha perabotnya. Dia hebat." "Iya, Keke lihat rumahnya lebih cocok dikatakan pondok." "Kalau ayah jodohkan dia sama kamu, gimana, Ke?" "Apa?" *** Luqman memisahkan kayu yang sudah dipotong-potong dan siap untuk diolah menjadi bahan untuk membuat perabot. Semua orang tau, bahwa Bujang pada hakikatnya bukan orang miskin, dia punya hutan sendiri yang didapatkan dari warisan keluarga. Orangtua Bujang sudah meninggal, ayahnya meninggal saat dia berumur enam tahun, sedangkan ibuny meninggal sepuluh tahun yang lalu. Bujang anak tunggal, tidak memiliki kerabat dekat karena ibunya juga terlahir tunggal. Bujang pernah bercerita pada Luqman bahwa dia pernah menyesali diri karena tak mampu mewujudkan keinginan terakhir ibunya, yaitu memiliki cucu. Bagaimana ada cucu, istri saja tidak punya. Rumah Bujang dibangun di tengah-tengah hutan miliknya, alasannya agar dia tidak kesusahan membawa kayu ke gudang. Namun, walaupun terpencil dari desa, akses ke sana bisa dilewati kendaraan roda empat. Luqman pada hakikatnya tak jauh beda umurnya dengan Bujang, hanya saja rambutnya cepat beruban dan tubuhnya tak se-perkasa sahabatnya itu. Bujang keluar dari rumah kayunya, rambut gondrongnya masih basah karena baru saja selesai mandi. Dia memakai kaos tanpa lengan yang lebih mirip dengan singlet, dipadukan dengan celana jins pudar. "Catnya sudah kering?" tanya Bujang mengamati meja pesanan Keke. Luqman menyapukan telapak tangannya di permukaan meja, lalu mengangguk. "Sudah, kapan diantar?" "Siang ini," jawab Bujang mengamati bon di tangannya. "Setelah ini kita harus menyelesaikan pesanan yang lain." "Ah, tak rugi kau bertemu dengan gadis nyasar itu." "Dia bukan nyasar, tapi memang sengaja ke sini." Bujang duduk di potongan kayu, lalu mengeluarkan korek api dari kantong celananya, dia memang perokok berat. "Lihat siapa yang datang!" seru Luqman saat deru motor berhentu tepat di depan pagar kayu Bujang. "Aku yakin dia ke sini mencarimu," goda Luqman. "Tentu saja, dia pembeli dan aku penjual," jawab Bujang membuang rokoknya dan menginjaknya. Melayani pembeli sambil merokok baginya tidak sopan. "Ah, kau selalu serius tak bisa diajak bercanda," jawab Luqman sambil mengangkat meja itu ke tempat yang teduh. Keke kali ini memakai baju kaus Gembrong bewarna kuning, celana pendek di atas lutut, khas Keke yang tak pernah memakai rok. Kakinya beralaskan sandal jepit bewarna hitam. Sejenak Keke mematut Bujang yang berjalan ke arahnya, dia jadi berpikir, apa istimewanya laki-laki matang itu selain dermawan, sehingga ayahnya begitu menyukainya. Bujang memiliki perawakan tinggi besar, kulitnya sawo matang rambut gondrong dan sedikit ikal, cambang dan jenggot tumbuh liar di wajahnya. Belum lagi bulu-bulu kasar yang mengintip sedikit dari singletnya. Keke tak menemukan keistimewaan apa-apa. Biasa saja. "Meja saya sudah siap?" Keke mengubah ekspresinya menjadi biasa, dia tak ingin Bujang melihat tatapan menilainya. "Sudah, nanti siang kami antar." "Boleh saya lihat dulu? Jadi kalau ada apa-apa bisa langsung diperbaiki sebelum diantar." "Silahkan! Ikut aku!" Keke mengangguk, dia mengikuti Bujang, punggung lebar dan otot liat, menandakan dia pekerja keras dan suka membawa beban berat. Tapi bagi Keke, itu bukanlah sebuah keistimewaan. Rasanya terlalu berlebihan jika ayahnya menjodohkannya dengan pria yang usianya jauh di atasnya itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD