Enam

1100 Words
Bujang tak bertanya apa pun lagi, hanya deru mobil yang terdengar memecah kesunyian mereka. Keke berusaha untuk tetap meneguhkan hati agar dia tidak menangis, sungguh, semua ucapan Kevin sangat menyakiti harga dirinya. Pria itu menjalin kasih dengannya selama bertahun-tahun, kemudian memutuskannya secara sepihak karena mengakui perselingkuhannya. Lalu, dalam kurun waktu yang tak lama, dia datang lagi dan ingin kembali. Hei, apakah menurut Kevin hatinya terbuat dari batu? Susah payah dia mengobati lukanya sendiri, setelah dia yakin dia mulai bangkit, Kevin ingin mengorek luka yang sudah mengering itu dan menaburkan garam di atasnya. "Bisa berhenti sebentar, Bang," kata Keke dengan suara serak, dia butuh waktu untuk menenangkan diri. Sebentar saja. Bujang menurut, dia menepikan mobil pick up-nya di tepi jalan desa. Keke menutup wajahnya, melepaskan tangisnya sendiri. Bahunya terguncang dan Bujang hanya menatapnya tanpa berkata apa-apa dan berbuat apa-apa. Beberapa menit kemudian, hati Keke lega. Dia mengambil sapu tangan dari dalam tas kecilnya dan mengusap wajahnya yang basah. "Abang pasti heran, kan? Kenapa saya seperti ini." "Tidak, aku tak tertarik mengetahui urusan pribadi orang," jawab Bujang tenang, matanya menatap lurus ke ujung jalan, di mana mobil bak membawa muatan kelapa sawit yang telah dipanen. Keke tak habis pikir, dia bersikap sangat bodoh, naik ke mobil pria itu, ikut mengantar barang, lalu menangis seperti orang gila, dan ... Pria itu tak ingin tau? "Abang tak ingin tau?" Keke memastikan kembali pendengarannya. "Tidak," wajah Bujang masih datar. Tak ada emosi apa pun. "Kenapa Abang bisa setenang ini?" Bujang menoleh, memandang wajah Keke yang masih penuh keraguan. "Karena aku tak pernah memikirkan orang yang tak memikirkanku." Keke tertegun, jawaban itu menyentaknya, sederhana tapi memiliki makna yang dalam. Bahkan Bujang belum mengetahui apa pokok permasalahannya. Keke belum bercerita apa pun. "Bisa kita berangkat, Ke?" Bujang bersiap-siap menghidupkan mesin mobil. "Tunggu!" Tak sadar Keke mencengkram lengan Bujang, saat mata Bujang memandang ke mana tangan Keke, Keke sadar dan buru-buru melepaskannya karena malu. "Abang mau mendengarkan saya?" "Bicaralah!" Bujang mengubah posisi duduknya, sedikit mengarah ke arah Keke, pandangan matanya tajam dan menunggu. "Saya baru putus dari pacar saya, namanya Kevin, kami berpacaran hampir tiga tahun, Kevin selingkuh, saat itu hidup saya terasa hancur." Mulut Bujang masih terkatup rapat. "Terus, setelah itu dia datang lagi dan ingin kembali. Menurut Bang Bujang apa yang harus saya lakukan?" Bujang berpikir sejenak. "Siapa yang memutuskan lebih dulu?" "Kevin." "Berati sudah jelas." "Maksud Abang?" tanya Keke tak puas. "Dia memutuskanmu, berarti dia tak menginginkanmu. Lalu apa lagi?" "Dia masih menginginkan saya, buktinya dia ingin kembali, ingin kami balikan lagi." "Kenapa dia ingin kembali?" "Karena dia masih sayang pada saya." "Kalau dia sayang padamu, dia takkan memutuskanmu." "Bang." Keke protes. "Jawabannya sangat sederhana, Ke. Kami laki-laki akan cepat bosan pada sesuatu yang kami dapatkan dengan mudah. Jika kau menerimanya lagi, dia akan kembali bosan padamu, lalu dia akan memutuskanmu lagi, apa kau mau seperti itu?" Keke mulai tertarik. "Tentu saja tidak." "Kalau kau tak ingin begitu, jangan kau lakukan. Ingat, Ke. Kita yang memutuskan kita mau bahagia apa tidak." Keke tertegun, apa yang dikatakan Bujang semuanya benar. "Sudah, sebentar lagi Maghrib, masih ada satu tempat lagi." "Baik," jawab Keke tanpa melepaskan matanya dari Bujang. Kenapa semua masalah jadi mudah saat berbicara dengan laki-laki itu, rasanya beban di pundak Keke hilang sudah. Dia menyesal sempat menangis di depan Bujang. Alangkah bodohnya dia. *** "Kalau dia sayang padamu, dia takkan memutuskanmu." Ucapan Bujang terus terngiang-ngiang di kepala Keke. Begitu sederhana analisa Bujang, logikanya benar. Selama ini Kevin mengaku mencintainya, sampai-sampai Keke melakukan apa pun yang bisa membuat Kevin senang, mulai dari mengerjakan tugasnya, memasak untuknya, mencucikan bajunya, menyetrika pakaiannya, banyak lagi, semua hal dilakukannya untuk Kevin, kecuali sentuhan fisik. Kevin memang sering mengeluh tentang hubungan mereka yang dianggap seperti pacaran kolot, namun, Keke tetap dengan prinsipnya, tidak akan memberikan apa pun kepada laki-laki yang bukan suaminya. Setahun terakhir, Kevin mulai mendesak, Keke menawarkan pernikahan, tapi Kevin menolak dengan alasan pernikahan jauh dari tergetnya saat ini. Dan puncaknya, pria itu akhirnya berselingkuh. Keke tak pernah menyesali keputusannya, walaupun sakit, dia sadar putus dari Kevin adalah keputusan terbaik, pria itu terlalu pengecut untuk dijadikan imam di rumah tangganya kelak. "Mau ikut turun, Ke?" Tawaran Bujang menarik Keke ke dunia nyata, seiring dengan deru mobil yang berhenti. Mereka tengah berhenti di sebuah rumah berukuran sedan dengan pagar kayu dan di cat putih. "Nggak usah, Bang." Bujang mengangguk, tampak dua orang laki-laki dewasa menyusul dan membantu Bujang mengangkat lemari dua pintu itu. Keke menyeka keringatnya. Panas, Riau memang panas, sudah biasa baginya udara seperti ini, dia bahkan merasakan baju gamisnya basah di bagian punggung kena keringat. Tak berapa lama, Bujang muncul, dia membuka pintu mobil dan mengusap keringatnya dengan handuk kecil yang terlampir di lehernya. "Sudah selesai hari ini, aku akan antar kamu pulang, Ke." Bujang menghidupkan mesin mobilnya kembali. "Apa Bang Bujang tidak bosan?" Bujang melirik Keke sekilas. "Bosan kenapa?" "Tinggal di rumah kayu di antara pohon-pohon." "Bilang saja hutan." "Ya, itu maksud saya, saya lihat, Bang Bujang hanya menghabiskan waktu untuk membuat perabot, mengantar lalu pulang. Selalu seperti itu, apa Bang Bujang tak punya ambisi lain?" "Contohnya?" "Menikah, punya istri, punya anak, pindah ke kota, atau memiliki toko perabot." Bujang tersenyum lebar, senyum yang belum pernah dilihat Keke. Keke baru menyadari, deretan giginya rapi dan putih, walaupun dia seorang perokok. "Jika aku tak tak menginginkan itu, artinya aku tak normal." "Lantas?" "Aku sudah mencari calon istri di sepanjang hidupku, dan hasilnya selalu gagal, tidak ada istri bagaimana mau punya anak, jika aku hanya menghidupi diriku sendiri, buat apa aku susah-susah pindah ke kota dan meninggalkan warisan orangtuaku." "Apa Bang Bujang bahagia dengan keadaan seperti ini? Tanpa orang tua, tanpa saudara, tanpa pendamping dan tinggal terpencil." "Bahagia itu datang dari diri kita sendiri, Ke. Jika kita bisa bersyukur, maka tak ada alasan untuk terlihat menderita." "Abang benar." "Jadi kau tak perlu menangisi sesuatu yang membuatmu menderita." Tepat sasaran, sekali lagi Keke takjub dengan kalimat sederhana Bujang, belum tentu Kevin benar-benar serius ingin kembali, bisa saja laki-laki itu menjadikannya sebagai pelarian. "Bang, saya mau ngomong sesuatu," ucap Keke, mobil melaju tenang. Sedangkan langit sudah menampakkan rona jingga. "Dari tadi kamu sudah ngomong, Ke." "Ini serius, tentang Ayah." "Kenapa dengan ayahmu?" "Ayah berniat menjodohkan saya dengan Abang." Keke menunggu reaksi terkejut Bujang, tapi laki-laki itu masih dengan ekspresi yang sama. "Abang tidak terkejut?" "Tidak." "Benarkah? Kenapa? Apa ayah pernah ngomongin itu?" "Sering." "Be ... Benarkah?" "Buat apa aku berbohong, Ke." "Lalu, tanggapan Abang?" "Tidak ada." "Tidak ada maksudnya?" "Aku tak tertarik menanggapinya," "Ke ... Kenapa?" "Ke, aku mengukur diriku dengan bayang-bayangku sendiri. Wanita sepertimu, tidak mungkin menerima laki-laki berumur sepertiku, kan? Jadi buat apa ditanggapi, buat apa dipikirkan." Keke terdiam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD