Luka yang membusuk

733 Words
Malam itu kota Jakarta seperti biasa tak pernah benar-benar tidur. Jalanan sempit yang dipenuhi lampu-lampu toko 24 jam, klakson tak sabaran, dan aroma asap knalpot berpadu menjadi satu kesatuan yang menyebalkan. Tapi bagi Raka, kebisingan adalah candu. Ia berdiri di balkon apartemen lantai 12, tubuh telanjang d**a, sebatang rokok menyala di jari tengahnya, dan segelas whiskey di tangan kiri yang belum sempat disentuh. Matanya kosong menatap langit gelap yang tak punya bintang. Sama seperti hidupnya—kosong, gelap, dan tak tahu arah. Di meja kecil di ruang tengah, ada setumpuk uang tunai berserakan. Di atasnya, sebuah bra hitam dan sepatu hak tinggi. Suara perempuan tertawa kecil terdengar dari kamar mandi, diiringi gemericik shower yang mengalir. Tapi Raka tak lagi peduli. Sudah bertahun-tahun tubuh wanita menjadi hal yang biasa baginya. Tak ada lagi gairah, apalagi rasa. Ia menghirup dalam-dalam asap rokok lalu menghembuskannya keras. Di langit malam ia seolah melihat siluet wajah ibunya—yang sudah lama pergi karena kecelakaan tragis yang menghancurkan seluruh isi rumah. Ia masih ingat darah di kaca mobil, tubuh ibunya yang terjepit, dan jeritan ayahnya yang menggema. Sejak saat itu, ia memutuskan bahwa hidup tak perlu aturan. Tuhan, bagi Raka, hanyalah konsep yang memihak orang suci. Dan ia, sejak remaja, bukan lagi orang suci. Ia tertawa sendiri, lalu menenggak isi gelas. Panas. Pahit. Tapi tak mengalahkan pahitnya hatinya sendiri. Telepon berdering. Ia melirik layar: Ustaz Rahman. Nama yang dulu sangat berarti. Ayah kandungnya. Dulu dikenal sebagai pendakwah paling disegani di kampungnya. Kini hanya menjadi suara yang selalu ia tolak dengar. Raka mematikan panggilan itu. Lalu mematikan ponsel. Ia tak ingin diganggu. Malam ini, ia ingin mati dalam kebisingan. Sekitar pukul 2 dini hari, ia keluar apartemen dengan mobil sport-nya, setengah mabuk, melajukan kendaraan di jalan tol seolah sedang balapan dengan nasib. Musik EDM memekakkan telinga, dan tubuhnya bersandar malas di jok, sementara pikirannya entah kemana. Lalu semuanya gelap. Suara benturan. Dentuman keras. Kaca pecah. Tubuhnya terpental. Dunia runtuh dalam satu detik. Saat matanya perlahan tertutup, ia melihat cahaya terang di ujung jalan, dan suara... bukan klakson, bukan musik. Tapi suara azan. Samar. Lalu gelap total. ** Ketika Raka membuka mata, ia tidak berada di rumah sakit. Bukan pula di mobilnya. Ia berdiri di tengah tanah tandus yang retak dan membara. Suara jeritan terdengar dari segala arah. Dan tubuhnya... terbakar. Ia menjerit. Mencoba lari, tapi tanah di bawahnya runtuh, menyeretnya ke lubang penuh api. Suara menggelegar datang dari langit. "Apakah ini balasanmu karena meninggalkan ayat-Ku?" "Apakah tubuhmu layak untuk diberi cahaya?" Raka meronta. Menangis. Tapi tak ada air mata. Api terus menjilat kulitnya. Tiba-tiba, ia melihat bayangan ibunya di kejauhan. Wanita itu hanya menatapnya diam. Mata penuh kecewa. Di samping ibunya, sosok ayahnya berdiri membawa mushaf Al-Qur’an. Dan Raka, hanya bisa berteriak memohon ampun yang tak pernah ia pedulikan semasa hidup. Lalu ia terbangun. Jantungnya berdetak cepat. Nafas tersengal. Ia di rumah sakit. Tubuh penuh perban. Perawat mengatakan ia ditemukan pingsan dalam mobil yang ringsek di pinggir jalan tol. Tak ada yang tahu bagaimana ia selamat. Tapi Raka tahu. Tuhan masih memberinya satu kesempatan. Entah kenapa, ia merasa begitu kecil di ranjang itu. Untuk pertama kalinya dalam hidup, ia merasa takut. ** Tiga hari kemudian, ia memutuskan pulang ke kampung. Kampung kecil di Jawa Barat tempat ayahnya tinggal dan mengajar di pesantren tua. Banyak orang menatapnya sinis saat mobilnya berhenti di depan gerbang. Penampilannya masih modern—jaket kulit, celana jeans robek, rambut agak panjang. Tapi dalam hatinya, badai sudah berubah arah. Ia berjalan pelan memasuki pekarangan rumah ayahnya. Tidak ada yang menyambut, kecuali suara burung dan angin sore. Saat pintu terbuka, wajah tua Ustaz Rahman muncul. Keriput, berjanggut putih, namun sorot matanya masih tegas seperti dulu. Mereka diam. Lama. Akhirnya Raka berbisik, "Aku mau pulang, Yah... kalau masih bisa." Sang ayah tak menjawab. Hanya membuka pintu lebar dan berjalan ke dalam. Raka tahu, itu bentuk penerimaan yang paling maksimal dari pria setegas Rahman. Ia mengikuti dari belakang, menatap setiap sudut rumah masa kecilnya yang masih sama. Hanya saja, hatinya tidak. Malam itu, ia tidur di kamar lamanya. Di atas sajadah usang, ia berusaha sholat untuk pertama kali setelah lebih dari 10 tahun. Suaranya gemetar. Gerakannya kaku. Tapi ketika ia bersujud, air matanya menetes. Untuk pertama kalinya, bukan karena mabuk atau kehilangan. Tapi karena ia ingin dimaafkan. Di balik jendela, sang ayah mengintip diam-diam. Air matanya juga menetes. Ia tahu, anaknya belum sepenuhnya kembali. Tapi setidaknya... langkah pertama sudah dimulai.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD