BAB 3. Meminta Maaf Dalam Diam

1429 Words
“Ngapain sih kamu sok peduli sama aku padahal Cuma anggap aku bahan permainan kamu.” Ucap Wendy padaku siang tadi. Gadis itu menangis sesenggukkan karena ada yang melabraknya. Mengatainya mengganggu pacar Anggun. Ya benar, aku memang sudah jadian dengan Anggun. Dia mengungkapkan perasaanya di tengah lapangan basket dan aku menerimanya. Di saksikan sebagian besar anak-anak BEM yang saat itu baru selesai rapat Organisasi. Seantero kampus menganggap kami pasangan yang ideal. Dan satu hal yang aku tahu, Wendy juga menyaksikkan saat aku dan Anggun resmi berpacaran. Malam ini, ketika aku masuk ke kamarnya dia sedang duduk di meja belajarnya. Terlihat sedang serius menatap laptopnya. Dia terlonjak kaget dan mengambil tongkat bisbol yang rupanya sudah di siapkannya di samping meja dan dia ayunkan ke arahku. Aku tertawa geli sambil menghindari serangan menggemaskan dari gadis ini. Matanya terlihat memerah dan wajahnya sedikit pucat. Karena itu aku tidak mau lama-lama meladeni kemarahannya. Aku segera mencekal tongkat itu kemudian mengambilnya secara paksa. Gadis itu merengut tapi kemudian menangis. “Kenapa? Ada yang jahat?” Tanyaku kemudian mendekatinya dan menepuk punggungnya. “Hidupku sudah berantakan kenapa kamu membuatnya lebih berantakan lagi.” Isaknya lirih. Dia sepertinya tidak mau kejadian kemarin terulang lagi. Aku tidak mengerti jalan pikirannya, kenapa dia seperti takut aku ketahuan ada di kamarnya. Bukankan wanita normal seharusnya akan melaporkanku pada orang tuanya supaya aku di tangkap dan diadili? Tapi inilah kelebihan Wendy yang sangat aku sukai tapi sekaligus kadang membuatku jengkel. Gadis ini terlalu baik, tidak tegaan, cenderung lebih memikirkan orang lain di banding dirinya sendiri. “Memangnya apa yang aku lakukan? Aku hanya mengunjungimu setiap malam dan berharap bisa jadi temanmu. Aku tidak melakukan hal-hal yang jahat bukan?” jawabku. Wendy kemudian menatapku dan kembali menangis. “Kenapa kamu nggak bisa jadi temanku dengan normal? Aku ketakutan setiap malam.” Ucapnya lagi. Aku sejujurnya tidak ingin menciptakan ketakutan untuk gadis cantik yang sangat aku cintai ini. Tapi aku tidak punya pilihan. Hanya ini cara paling aman yang bisa aku lakukan untuk lebih dekat dengan Wendy. “Aku tidak bisa menemuimu secara langsung, aku tidak bisa berteman denganmu saat siang hari dan banyak orang, aku belum berani mengajakmu kenalan secara langsung. Bisakah kita seperti ini dulu?” Tanyaku. Wendy menghentikkan tangisanya kemudian kembali menoleh ke arahku dengan dahi berkerut. Dia terlihat sedang berpikir keras. “Kamu alergi matahari?” sebuah pertanyaan yang nyaris membuatku menyemburkan tawaku. Wendy dan pikiran ajaibnya adalah perpaduan yang pass untuk terlihat begitu menggemaskan. “Anggap saja begitu.” Jawabku dengan senyuman geli. “Separah apa?” tanyanya lagi menganggap jawabanku serius. Aku terkekeh. “Ruam, memerah, panas, sakit, dan kulit mengelupas.” Jawabku asal dan matanya membola. Dia percaya. Aku sungguh gemas dengan kepolosannya ini. “Ternyata ada orang sungguhan yang alergi Matahari? Aku pikir Cuma ada di film.” Ucapnya terlihat sudah tidak ingin menangis lagi. “Jadi bolehkan aku datang setiap malam hanya untuk mengobrol, mungkin aku bisa membantumu mengerjakan tugas juga. Otak aku lumayan kalau kamu mau tahu.” Ucapku berusaha membujuknya. “Tapi ini bahaya, kalau ketahuan Mom sama Dad kamu pasti di masukkan ke penjara.” Ucapnya dengan ekspresi khawatir. Lihat bukan? Dia sibuk mengkhawatirkan aku yang jelas-jelas dia tidak kenal itu di banding keselamatan dirinya. “Kalau begitu jangan ketahuan.” Ucapku. “Tapi bagaimana kalau kamu orang jahat?” “Aku tidak akan bilang kalau aku orang baik, tapi aku berjanji tidak akan melakukan apapun yang tidak kamu suka.” “Aku belum bisa menerimanya. Aku mohon, malam ini adalah kedatanganmu yang terakhir, besok jangan datang lagi. Sekarang juga sudah malam, sebaiknya kamu pulang.” Usirnya pelan. Wajahnya kembali terlihat sedih kemudian dia memalingkan wajahnya dariku, berjalan kembali ke meja belajarnya dan sibuk dengan tugasnya lagi. “Apa yang terjadi? Kenapa Princess Wendy terlihat sedih?” tanyaku berusaha menghiburnya. “Itu bukan urusanmu, sana kamu pulang saja!” Jawabnya kembali mengusirku. Aku tersenyum miring kemudian mendekatinya hingga posisi tubuhku berada tepat di belakangnya yang sedang duduk di kursi belajar. Aku bungkukkan badanku hingga wajahku tepat berada di samping kepalanya. “Aku bisa memintanya dengan baik-baik seperti tadi, tapi jika aku tidak mendapatkan apa yang aku inginkan, aku akan mendapatkannya dengan cara lain. Contohnya seperti menyeret kamu ke ranjang dan melakukan hal-hal yang sedikit panas supaya kamu menurut.” Bisikku reflek membut Wendy menoleh tanpa aba-aba. Seolah kali ini Takdir sedang berpihak padaku, bibir kami menempel sempurna. Aku tersenyum dan dia langsung menghindar dengan salah tingkah. Wajahnya memerah hingga ke leher. Ciri khas Wendy jika sedang malu. Aku gemas sekali. “Ka-kamu sebaiknya pergi, ini sudah malam.” Suaranya bahkan sedikit tergagap. Aku terkekeh. “Aku memang sengaja datang malam-malam.” “Aku tidak mau melihatmu lagi.” Ucapnya membuatku mendesah. Gadis kerap kepala ini memang harus di paksa supaya menurut. “Baiklah kalau cara ini yang jadi pilihan kamu.” Ucapku kemudian menjauh dari belakang tubuhnya. Wendy terlihat menunduk dengan gelisah. Aku memutar kursinya dengan cepat hingga dia berhadapan denganku, kemudian menyeringai. “Jadi, kemu mau melepas sendiri bajumu atau aku yang lepaskan?” bisikku dengan senyuman. Mata Wendy membulat dan aku segera membekap mulutnya yang hendak berteriak itu. “Sudah ku katakan jangan membantahku, aku tidak suka di bantah.” Ucapku pelan. Menariknya berdiri menggunakan satu tangaku kemudian menggendongnya dengan cepat dan membawanya ke kasur. “Jangan! Janga macam-macam. Aku tidak akan mengusirmu lagi.” Dia terlihat ketakutan sekali sambil berusaha menutupi bagian depan dari anggota tubuhnya. Aku bergerak cepat dan mengungkungnya. Dia memejamkan matanya ketakutan. Dari jarak sedekat ini dia sangat cantik. Aroma permen manis menguar memanjakan hidungku. Wangi khas Wendy yang berbanding terbalik dengan gaya pakaiannya sehari-hari. “Aku mohon, aku nggak akan berteriak dan mengusirmu lagi.” Ucapnya masih memejamkan matanya rapat sekali. Aku tersenyum kemudian mengecup keningnya. Dia membuka mata dan kami saling bertatapan. “Jadi apa yang membuatmu sedih hari ini? Beri tahu aku.” Ucapku memaksa. Aku ingin Wendy mempunyai teman cerita atas luka yang aku berikan padanya di dunia nyata. Wendy diam cukup lama dan aku menunggu. Posisi kami masih sedekat sebelumnya. “Sepertinya aku menjadi bodoh karena menyukai seseorang.” Jawabnya setelah beberapa menit. Wajahnya kembali terlihat sedih. “Ada laki-laki yang menyakiti kamu?” tanyaku berpura-pura bodoh. Padahal melihat raut sedih dan terlukanya sekarang, hatiku ikut sakit rasanya. “Aku tidak bisa bilang dia yang menyakiti aku, mungkin aku saja yang terlalu bodoh sehingga tidak bisa membedakan mana kasihan dan mana cinta. Aku tidak menyalahkannya, aku menyalahkan diriku sendiri.” Matanya mulai memerah ketika mengucapkan kalimat terakhirnya. Membuat jantungku berdenyut sakit. “Kamu di tolak?” “Anggap saja seperti itu. Dan sekarang dia menjadi pacar sahabatku. Menyedihkan sekali bukan hidupku? Aku bahkan di musuhi banyak orang karena dianggap hendak merebutnya dari sahabatku sendiri. Padahal dia yang gemar mencari masalah denganku dan bersikap seolah kami dekat. Menyebalkan sekali karena aku tidak bisa memukulnya untuk melampiaskan kemarahanku.” “Kamu boleh memukulku.” Ucapku pelan. Kemudian menyingkir dari atas tubuhnya dan duduk membelakanginya di pinggiran kasur. “Ayo pukul punggungku sampai kamu puas.” Tambahku lagi. Mataku juga mulai memanas karena itu aku menghindari tatapannya supaya tidak ketahuan. Tapi aku membuat keputusan yang salah, karena selanjutnya yang terjadi adalah Wendy mencekik leherku dan berusaha mengambil topengku. Kami bergelut di kasur hingga berguling-guling. Kali ini dia berhasil menguasai tubuhku dan duduk di perutku. Tapi tangannya yang hendak merebut topengku berhasil aku cekal dengan kuat. Aku tertawa ringan melihat dia ngos-ngosan setelah pergelutan kami yang menurutku sangat menggemaskan itu. “Sudah ku bilang hidupku berantakan tapi kamu malah membuatnya jadi lebih berantakan.” Kesalnya masih berusaha lepas dari cekalan tanganku. Aku kembali tertawa. “Sudah puas? Bagaimana? Bergelut denganku lumayan mengobati kekesalan kamu bukan?” kekehku. Wendy terlihat kesal, tapi kemudian dia menundukkan wajahnya dan kembali menangis. “Tolong jangan membuat hidupku lebih buruk dari ini.” Isakknya. Tangannya melemah sehingga aku melepaskannya. Aku menariknya hingga dia tertidur di atasku dan memeluknya. “Aku tidak akan membuat hidupmu lebih buruk dari ini. Percayalah! Aku hanya ingin berteman.” Ucapku tulus dan dia terus menangis. Entah karena kesal karena tidak berhasil membuka topengku, atau karena pelampiasan sakit hatinya karena aku menjadi kekasih sahabatnya sendiri. Jika berdekatan dengan Wendy tidak membuatnya di lukai, aku tidak akan pernah menyakitinya seperti ini. Aku sadar aku jahat sekali. Tapi aku harus melakukannya. Aku membutuhkan Anggun untuk mencari tahu tentang laki-laki yang dulu menabrak Wendy. Aku ingin menyelidiki tentang siapa sebenarnya orang yang selalu membuat Wendy berada dalam bahaya jika aku terang-terangan mendekati gadis ini. Sambil memeluknya yang terus menangis, aku menggumamkan kata maaf tanpa suara. Aku menyakitinya, padahal aku adalah orang yang paling ingin melihatnya bahagia. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD