BAB 1. Menyusup.

1288 Words
“Bahkan di kehidupan selanjutnya, jika kamu mendekatinya maka dia akan mati.” Kalimat itu terus menghantuiku sejak malam ketika aku mulai memimpikkan Wendy tertusuk pedang panjang di pangkuanku dan meninggak dunia. Mimpi-mimpi masa lalu itu terus menghantuiku setiap hari. Semakin aku dewasa, menjadi semakin sering. Awalanya aku tidak peduli, tapi ketika aku nekat mengajak Wendy pergi berdua ke Taman Bermain, keesokannya gadis itu tertabrak mobil dan keadaannya cukup parah. Kakinya membutuhkan waktu cukup lama untuk sembuh. Sehingga Wendy kehilangan momen pentas ballet yang sudah dia nantikan sejak lama. Tidak hanya sekali, lebih dari tiga kali kejadian serupa terjadi ketika aku mulai mendekati Wendy secara langsung. Karena itu aku mulai ketakutan. Itulah alasan kenapa malam ini aku di sini. Di sebuah kamar dengan wallpapper pink muda dan perabot yang juga nyaris berwarna pink semua. Aku kadang tidak mengerti, kenapa gadis dengan pakaian sehari-hari cenderung selalu berwarna gelap itu, bisa memiliki kamar dengan nuansa yang begitu feminim. Bisa memiliki hobby yang juga feminim. Bisa memiliki koleksi boneka-boneka beruang pink yang banyak sekali. Tidak akan ada yang menyangka jika tidak mengenal Wendy secara pribadi, bahwa gadis pendiam yang suka memakai baju serba hitam atau abu-abu itu, kehidupan sehari-harinya bisa begitu berwarna. Aku tersenyum melihat gadis yang sangat aku cintai itu terlelap di tengah ranjangnya. Terlihat begitu damai dan nyaman. Di dahinya ada plester bergambar beruang. Tadi siang, di kampus, ada seorang anak yang tidak sengaja melempar bola basket hingga kepala Wendy berdarah. Tentu saja aku sudah membereskan anak itu diam-diam dan membuatnya minta maaf pada Wendy. Dia bergerak dan aku mundur selangkah, tapi ternyata Wendy hanya merubah posisi tidurnya sehingga aku mendesah lega. Kakiku kemudian melangkah semakin dekat padanya. Mengulurkan tanganku dan menyentuh sisi wajahnya yang lembut. Merapihkan anak rambut yang mengganggu matanya. Bibirku menyunggingkan senyum paling lebar yang aku miliki. Aku sudah menyukainya sejak kecil. Keluarga kami dekat dan harapanku akan restu, baik dari keluargaku maupun keluarga Wendy nyaris seratus persen. Tapi takdir ternyata tidak membuat kisah cintaku semudah itu. Sebab semakin beranjak dewasa, aku seperti di tarik mundur untuk tidak boleh mendekatinya. Sedikit saja kedekatanku dengannya terlihat di muka umum, maka sebuah kemalangan akan menimpa Wendy. Sejak pertama kali gadis kesayanganku ini menginjakkan kakinya di kampus yang sama denganku, sejak itu pula aku mulai memasang tembok besar dengan menjadi laki-laki paling menyebalkan di dunia di hadapannya. Aku tahu Wendy menyukaiku, tapi kedepannya aku akan semakin menyakitinya dengan menjadikan sahabatnya sebagai kekasihku. Setidaknya aku harus bisa memecahkan misteri hubungan antara semua mimpi anehku dan kemalangan yang menimpa Wendy secepatnya agar aku tidak semakin menyakitinya. Tapi, seperti halnya melawan takdir, ini tidak mudah. “Hanya saat gelap dan sunyi seperti ini saja, aku bisa lebih dekat denganmu.” Bisikku pelan sambil menikmati indahnya wajah kekasih hatiku ini. Tanganku kembali terulur menyentuh bibir pink miliknya yang selalu menarik perhatianku. Aku belum pernah menyentuhnya sedikitpun. Selama ini aku menyukainya diam-diam dan belum berani mengungkapkan perasaanku karena keadaanku yang rumit. Kepalaku tertarik semakin dekat kemudian mengecupnya pelan sekali, tapi betapa kagetnya aku ketika dia membuka matanya dan mendorongku menjauh dan nyaris berteriak. Aku reflek membekap mulutnya untuk mencegahnya berteriak. Untung saja aku sudah memakai topeng untuk mengantisipasi hal ini. Sehingga Wendy tidak akan menganaliku. Apalgi warna rambutku juga aku rubah dengan semir rambut instan. “Ayo kita permudah saja! Jika kamu berteriak aku akan melakukan lebih dari ciuman. Tapi jika kamu diam, aku akan pergi.” Bisikku dekat sekali dengan wajahnya yang ketakutan itu. Bibirku menyunggingkan tersenyum menikmati indahnya bola matanya dari jarak sedekat ini. Wendy terus memeberontak tapi tentu saja tenaganya kalah dariku. “Bagaimana Wendy? Kamu mau diam atau mau lebih dari ciuman?” Aku kembali berbisik kemudian dia mengangguk. Perlahan aku melepaskan bekapan tanganku dan segera menariknya mendekat padaku dan membungkam mulutnya lagi ketika dia hendak berteriak. Aku benar-benar menciumnya dan berhenti ketika dia mulai menangis. “Aku akan menyimpan sisanya untuk bulan madu kita nanti.” Bisikku setelah melepaskan ciuman kami. Membelai kepalanya lembut kemudian tersenyum dan melangkah pergi. Dia masih menangis dan membuat aku merasa bersalah. Sedikit mengutukki keserakahanku yang telah mengacaukan segalanya. Niatnya aku datang hanya untuk melihatnya dalam jarak yang dekat saja karena di tempat umum aku tidak bisa melakukannya. Tapi ketika lebih dekat dengannya aku ingin melakukan hal yang lebih. Rasanya menyenangkan memiliki momen manis seperti tadi dengan Wendy sekalipun aku mendapatkannya dengan mencuri secara paksa. Jika kedekatan diam-diam ini aman dan tidak ada hal buruk yang menimpa Wendy, maka aku berniat untuk datang ke kamarnya setiap malam. *** “Regarta!” Sebuah panggilan dari suara yang begitu aku kenal menghentikkan langkahku di gerbang sekolah. “Aku panggil-panggil dari tadi tapi kamu jalan aja.” Ucapnya kesal dengan nada yang manja. Aku menunjukkan headset yang aku pakai sambil tersenyum ke arahnya. “Kenapa sih pagi-pagi udah nyariin aku?” Tanyaku manis. Dari jauh aku bisa melihat ketiga sahabatku menatapku jijik. Aku tentu saja tidak peduli. “Nanti siang jadi kan ajarin aku bikin tugas?” Tanyanya. Dia adalah Anggun. Dulunya dia adalah sahabat dekat Wendy. Tapi ketika sekolah menengah mereka sepertinya bertengkar sehingga tidak akrab lagi. Dan orang ini akan menjadi kandidat calon pacarku. Bukan tanpa alasan aku melakukannya. Pertama, dia selalu mengganggu Wendy dan aku berharap bisa mengendalikannya untuk tidak mengganggu Wendy lagi jika dia jadi pacarku. Kedua, aku membutuhkannya untuk mencari tahu seseorang yang aku curigai sebagai pelaku tabrak lari Wendy di depan gedung sekolah dulu. Jahat memang, tapi bukankah memilih jodoh juga butuh seleksi? Anggap saja dia tidak lolos seleksi saat aku memutuskannya nanti. Itulah alasan kenapa ketiga sahabatku menatapku jijik sekarang. Mereka tidak menyukai Anggun, sehingga melihatku ramah dan manis pada gadis ini membuat mereka kesal. “Jadi dong, tapi nunggu aku selesai praktikum yah.” Balasku. Kemudian berpura-pura merapihkan rambutnya yang berantakan. Tepat saat itu Wendy memasuki gerbang dan melihat kelakuanku. Dia memalingkan wajahnya dari kami. Eantah kenapa aku bisa melihat ada goresan luka dari matanya yang sempat menatapku tadi. “Sombong banget.” Cibirku padanya dan dia tidak peduli. Aku memang menjadi sangat menyebalkan demi selalu mendapat perhatiannya. “Sorry yah kita nggak kenal.” jawabnya sambil terus melangkah masuk ke dalam kampus tanpa menoleh ke arahku. Bibirku menyunggingkan senyuman geli. Bukankah gadisku sangat menggemaskan? Tapi Anggun selalu terlihat tidak suka melihat interaksiku dengan Wendy. Karena itu demi kelancaran rencanaku mendekatinya, aku mengurangi sedikit interaksi menyenangkanku dengan Wendy. “Lo apain lagi? dia sampai ngeliat lo kaya ngeliat Setan.” Tanya Dario menghampiri kami. Aku terkekeh geli. “Kemarin gue naruh garam di adonan kuenya dan membuat kuenya jadi asin. Dia mengamuk.” Kekehku. Dario dan Oliver tersenyum geli, sementara Davena—salah satu dari tiga sahabatku menatapku malas. Davena adalah teman Wendy karena itu dia ikut kesal. “Lo jahilnya kebangetan Ga.” Ucap Davena mencibir. Tapi aku tidak peduli. Menjahilinya adalah pelampiasan kerinduan milikku yang tidak bisa menunjukkan perasaanku yang sesungguhnya padanya. Jika tidak ada orang-orang jahat yang membuat Wendy selalu terluka jika dekat denganku, maka aku bisa memastikan dia sudah menjadi kekasihku sekarang. Wendy merupakan gadis yang pintar. Dia mengambil dua jurusan sekaligus di kampus. Salah satunya tata boga. Dia juga merupakan anggota klub memasak di kampus. Kemarin, ketika dia sedang berada di dapur kampus dengan anak-anak klub memasak lainnya, aku sedikit jahil dengan menaruh garam di adonan kue buatannya. Gadis itu marah-marah dan kesal bukan main. Aku selalu suka melihat wajah kesalanya itu. Aku berharap sikap menyebalkanku ini, bisa membantuku menjaga jarak dengannya agar dia tidak lagi terluka. Aku tidak mau dia kehilangan mimpi-mimpinya lagi jika aku nekat menekatinya. Seperti ketika dia kehilangan impiannya untuk tampil di pentas ballet impiannya. Aku sangat mencintainya, tapi aku tidak bisa mengatakannya. Aku bersumpah akan menangkap dalang di balik terlukanya Wendy dan mengungkap rahasia di balik kesialan yang selalu menimpanya jika berdekatan denganku. Aku yakin semua ada alasannya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD