Sebenarnya anak sekolahan itu pulang jam empat sore. Itu bagi yang berwajibkan full day di Sekolahnya. Sama juga seperti sekolahku. Hanya sekolahku. Bukan aku. Sengaja aku pulang lambat. Seperti sekarang.
Dengan santainya aku pulang jam sembilan malam masih dengan berpakaian lengkap. Suasana Komplek perumahan sudah sepi. Rumahku juga. Tak ada penerangan cahaya sedikit pun.
“Baguslah kalo udah tidur.” aku memutar kunci rumah dengan gerakan sangat pelan, agar orang rumah tak terbangun. Masing-masing dari kami memang di berikan satu kunci rumah cadangan.
Ceklek!
Aku berjalan pelan. Mengendap-endap seperti maling menuju tangga. Tangga itulah penghubung kamarku dan Salwa. Errr... Kami tidak sekamar. Hanya saja kamar kami bersebelahan. Ada pintu penghubung juga di antara kamarku dan Salwa.
“Jelaskan kenapa kamu bisa pulang jam segini?” bariton berat yang berasal dari arah belakangku, membuat aku tersentak. Seluruh ruangan menjadi terang benderang. Aku terdiam. Menggigit bibirku kuat.
“Njir! Ketahuan gue! Nih, Bapak, atu, kok tumben-tumbenan belom tidur?”
Perlahan aku berbalik. Tatapanku tak mengarah padanya. Aku membuang muka, namun tetap menjawab. “Ada tugas kelompok di rumah Dwi, Bi.”
“Emang tugas kelompok sebanyak mana, sampe bisa pulang malam? Yang namanya tugas kelompok itu di kerjainya berkelompok dan pasti cepet! Kamu gak akan pulang malam, Salsa!”
Aku berdecak kesal. “Abi itu gak tau apa-apa tentang tugas kelompok Salsa, jadi diam aja, deh! Lagian rumah Dwi satu Komplek dengan kita! Gak jauh amat, tuh, kenapa Abi harus marah-marah gak jelas?!”
“Salsa, kamu itu kalo di nasihati selalu aja melawan! Taunya ngejawab, gak pernah nurut! Ini pertanda Abi itu sayang sama, kamu! Coba kamu itu contoh sikap Kakak, kamu! Jangan brutal amat!”
Aku tertawa sumbang. Sekilas aku menatapnya sinis. Kedua tanganku bersedekap d**a. “Sayang? Salsa gak salah denger? Gak ada yah, istilahnya sayang tapi di banding-bandingi!!!”
“Salsa, kamu—“
“Abi, udah!” Umi datang, langsung menarik lengan Abi yang ingin mendekatiku. Mungkin dia mendekat hendak menamparku. Entahlah aku tak perduli apa yang akan ia lakukan. “Beri Salsa nasehat yang lembut, Bi. Jangan di kasari begitu. Dia bakalan tambah kasar.”
Lantas tatapan Umi beralih padaku. Tatapannya sendu penuh permohonan. “Dan untuk kamu, Salsa. Kalau Abi nasihati, jangan pernah kamu lawan, Nak. Abi nasihati itu, karena memang dia sayang. Dia perduli sama, kamu. Gak baik Nak, Anak perawan pulang malem begini.”
Ucapan panjang lebar Umi tidak aku jawab. Posisiku tetap seperti awal. Suara langkah kaki dari atas tangga mengalihkan pandangku. Rupanya itu Salwa. “Salsa, kamu udah pulang? Aku khawatir banget sama, kamu. Kamu gak apa, kan? Kenapa pulangnya lama banget, dan gak ngabarin aku?” tanyanya bertubi-tubi.
Aku menatapnya sinis. “Untuk apa gue ngabarin, lo? Lo emang bakalan nyari gue? Jangan sok perduli, lo! Gue tau banget, ya, lo itu orang pertama yang seneng gue gak ada di Rumah ini!”
Sebuah tangan menggenggam lenganku, sontak mengagetkanku. “Salsa, Salwa itu emang khawatir, dan itu balasan, kamu? Sekali aja Salsa, kamu bisa gak buat keributan di Rumah ini? Abi cuma ingin ketenangan di keluarga ini.”
Mendengar kata-kata Abi barusan, spontan saja bibirku tertarik membentuk seulas senyuman kecut. Dadaku rasanya sesak sekali mendengar apa yang keluar dari mulut Abi.
“Kalo gitu biarin aja Salsa gak pulang-pulang sekalian, jadi kalian semua bisa puas! Gak ada lagi keributan! Keluarga ini akan tenang, seperti apa yang Abi mau!” genggaman Abi, aku lepaskan secara kasar. “Dari dulu kan, kehadiran Salsa emang gak diharapkan.”
Aku berbalik mengarah ke tangga. Sempat ku lewati tubuh Salwa yang berdiri diam. Sekilas aku menatapnya sinis. Sebelum kakiku menginjak anak tangga pertama, aku berucap, “Salsa capek. Mau istirahat. Doa'in aja Salsa istirahat selamanya. Aamiin.”
Dengan langkah cepat tanpa menoleh lagi, aku menuju ke kamar. Aku berlari menuju kasur. Memendam wajahku dalam-dalam di bantal. Aku menangis sejadi-jadinya di sana. “Salwa lagi, kan? Apa sih, istimewanya dia, sampe Abi sama Umi sayang banget? Wajah kami mirip, tapi masih aja di beda-bedain juga. Salsa capek Ya Allah... Salsa capek nangis terus...”
Tanpa di sadari, aku tertidur. Larut dalam tangisan membuat mata dan hatiku lelah. Dengan tertidur, nantinya aku akan memasuki alam mimpi. Di sana, semuanya lebih indah. Hanya di sana aku bisa mendapatkan ketenangan.
°°°
Mimpiku yang indah terusik akan suara biola di tengah malam. Berkali-kali mataku berkedip. Aku duduk dari posisi tertidur. Karena lelah dan langsung tertidur, aku sampai lupa mengganti pakaian. Aku melirik jam yang berada di atas nakas dengan mata memburam. Efek baru bangun tidur.
“Jam dua belas?” gumamku. Aku mengusap wajah kasar. Lantunan biola itu semakin kuat. Suaranya sampai masuk ke dalam pendengaranku sangat jelas sekali. “Astaghfirullah, Salwa... Ini udah tengah malem! Gak ada otak, orang mau tidur dia kecentilan banget malah maen biola!”
Aku menyibak selimut. Melangkah cepat menuju balkon. Angin malam langsung menerpa kulit wajahku, begitu pintu terbuka. Aku menoleh ke sebelah, di mana Salwa tengah mengalunkan biolanya. Balkon kami tepat bersebelahan, tapi terpisah. Aku mengambil batu kerikil tanaman hias yang berada di kedua ujung pintu. Batu itu aku lempar mengenai kepala Salwa. Sontak saja permainan biolanya terhenti.
“Salsa, kamu belum tidur?” tanyanya dengan wajah polos. Ingin sekali aku mencakar-cakar wajah sok polosnya itu.
“Gue udah tidur, g****k, tapi kebangun gara-gara suara biola jelek lo itu! Lo kenapa sih, cari masalah mulu dengan gue?” dua detik ucapanku terjeda. Ingat akan sesuatu, aku mengangguk-anggukan kepala. “Oh... Gue tau... Lo sengaja pasti, biar gue di omeli Abi... Licik bener sih, lo!”
Matanya melotot. “Astaghfirullah, Salsa, kamu seudzhon banget sama aku. Salsa, seudzhon itu dosa! Demi Allah, pemikiran kamu itu salah besar tentang aku! Denger, Salsa, wajar Abi itu marah sama, kamu. Kamu itu gak mau di nasihati! Giliran di nasihati malah ngebentak!”
Tanganku keduanya terkepal mendengar semua perkataan Salwa. Dia memang pendiam, tapi sekali menceletuk, mulutnya pedas sekali. Definisi diam-diam menghanyutkan. “Kalo aja bunuh orang itu gak dosa, udah dari dulu gue bunuh, lo!” aku tertawa hambar.
Tampak dia terkejut. “Astaghfirullah, Salsa, jadi selama ini kamu ada niatan jahat sama aku?”
“Kenapa? Emang kenyataan, kok. Malah bagus dong, gue jujur sama, lo. Ingat, ya, gue itu orangnya gak munafik. Nggak kayak lo yang muka dua!”
Salwa terlihat ingin membalas ucapanku, namun segera aku berbalik masuk ke dalam. Sengaja pintu aku banting dengan keras.
“Sabar, Salsa, sabar... Setelah lo lulus SMA, dan tabungan lo cukup, lo harus cepet-cepet pergi dari rumah ini. Oh, iya, lupa gue. Ini bukan rumah, tapi Neraka.”
Sembari beristighfar, aku mengusap d**a. Berharap kobaran api di hatiku segera padam. Untung saja Wanita bodoh itu tak mengalunkan biolanya. Jika sempat ia lantunkan lagi, maka aku tak segan-segan melemparnya menggunakan bunga kaktus yang berada di pajangan kamarku.
°°°
Mata Afiq yang beberapa menit baru terpejam, tiba-tiba terbuka lebar. Lantunan biola begitu jelas mengusik rasa kantuknya. Afiq beranjak dari posisinya yang berbaring di kasurnya. Lantunan biola itu ia rasa berasal dari luar. Tepatnya dari arah seberang kamarnya.
“Orang aneh mana yang tengah malem gini main biola?” Afiq terdiam sebentar di depan pintu balkon yang tertutup. “Eh-eh! Tunggu dulu! Suara biola, di tengah malem? Hih, jangan-jangan hantu lagi! Ya Allah, jangan lagi gue ketemu makhluk aneh itu! Gue gak sanggup bener, dah!”
“Kalo aja bunuh orang itu gak dosa, udah dari dulu gue bunuh, lo!”
Afiq yang sibuk berceloteh pada dirinya sendiri, dikagetkan oleh suara berintonasi tinggi yang berhasil membuatnya bungkam. Alis Afiq bertautan bingung. Afiq tahu betul, bahwa suara tadi milik seorang Wanita.
“Nah, kan, nih Komplek gayanya aja elite, tapi orang yang nempatin ndeso. Itu Mbak yang barusan teriak, gak punya malu apa? Ini tengah malem, loh...”
Suara berintonasi itu terdengar lagi. Afiq pun merasa risih. Karena kesal, Afiq memutuskan untuk keluar ke arah Balkon. Dia ingin melihat siapa orang gila yang tengah malam begini memainkan biola dan berteriak.
Begitu sudah keluar, Afiq tak menemui satu orang pun yang tampak berkelahi. Seperti dugaan sementaranya, kalau ada yang berteriak, pasti ada orang bertengkar. Suasana sunyi layaknya malam yang normal.
Tapi, ada satu titik yang membuat tatapan Afiq terfokus di sana. Seorang Wanita berhijab yang tampak memegang sebuah biola dan masuk ke dalam. Wanita itu berada di seberang. Ada dua balkon yang tepat berada di seberang balkonnya. Wanita itu begitu familiar dalam pandangan Afiq.
“Eh, itu bukannya temen Dwi? Cewek aneh yang sok-sokan, tapi ujung-ujungnya kicep pas di bully?” Afiq juga mendadak mengingat ucapan Dwi saat berada di lapangan basket.
“Dwi sempat ngomong juga, kalo tuh Cewek balkon kamarnya seberangan dengan balkon kamar gue,” Afiq terus saja menatap dua balkon itu. Tetapi, matanya lebih terfokus ke arah balkon di mana Wanita pemain biola itu berada.
“Hebat juga ya, dia bisa main biola. Jadi kepengen main biola, tapi gue gak bisa.” Afiq terdiam sejenak.
Dia tampak berpikir. Setelahnya ia tersenyum lebar. “Hah, tuh, cewek kan, sekelas sama gue! Gue minta ajari dia main biola aja! Oke! Besok, gue mau minta dia ajari gue! Kalo gak mau, bodo amat gue paksa!”
Afiq merasa senang, mengetahui fakta teman sekelasnya ada yang bisa bermain biola. Sejak kecil dia memang ingin belajar bagaimana memainkan biola, tapi kedua orang tuanya melarang.
Kata mereka, biola dimainkan hanya untuk anak perempuan. Afiq berpikir sebaliknya, bahwa semua orang mempunyai hak untuk menggapai keinginan. Sedangkan fakta terbesarnya belum Afiq ketahui, jika orang yang selama ini ia anggap sama, ternyata berbeda.
°°°
Bersambung...