Keliatan dikit

1176 Words
"Mika!" Gadis cantik yang baru saja akan melangkah meninggalkannya kembali berhenti lalu memutar tubuhnya hingga menghadap Lucky yang sudah membuka pintu kamarnya lebih lebar. "Kenapa, Om?" tanya Mika yang tidak mengerti mengapa Lucky menahan kepergiannya. "Ganti baju." Hanya dua kata yang keluar dari mulut Lucky, membuat Mika mengerutkan kening hingga kedua alis tebal alaminya nyaris bertautan, gadis menunduk untuk memastikan pakaian yang ia pakai baik-baik saja. Sebuah kaus oblong tetapi memiliki bagian leher yang agak lebar hingga saat Mika menunduk akan lebih rendah dan siapapun yang ada di hadapannya bisa melihat isi dalam kaus itu, dan itu masuk dalam perhitungan Lucky, lalu sebagai pasangannya sebuah celana pendek berbahan jeans berwarna biru yang akan menampakkan paha mulus Mika jika dua duduk juga tidak luput dari perhatian Lucky hingga lelaki itu menyuruhnya berganti pakaian. Lucky tidak ingin tubuh Mika menjadi tontonan pemuda yang akan bertemu dengannya, terang saja siapa pun dan pemuda tipe apapun pasti tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk menatap atau sekedar melirik jika ada pemandangan bagus di hadapan mereka. Karena Lucky seorang lelaki maka dia sangat faham akan hal itu, dan entah mengapa ada rasa tidak rela jika Mika menjadi objek pandangan nakal itu. "Emang kenapa, sih, Om? Pakaian aku biasa aja, enggak seksi!" jawab Mika sambil merengut. "Itu seksi Mika!" jawab Lucky tegas, Mika berdecak kesal tetapi masih tetap berdiri di tempatnya. "Ganti atau enggak usah pergi." Dengan tegas Lucky menatapnya. Lagi-lagi Mika hanya berdecak kesal, ia lalu mengambil ponsel dari dalam tasnya dan terlihat mengubungi seseorang sementara Lucky hanya menatapnya dengan tubuh yang ia sandarkan di kusen pintu kamarnya, kamar yang tepat bersebelahan dengan kamar Mika. "Halo, Sin, gue enggak jadi pergi." Lucky mengerutkan kening mendengar apa yang Mika ucapkan, gadis itu memilih untuk tidak pergi dari pada di suruh ganti baju. Sejenak menjeda sepertinya mendengarkan rentetan pertanyaan sang lawan bicara mengapa Mika tidak jadi pergi bersamanya. "Mencret!" jawab Mika kecut lalu mematikan ponselnya dengan bibir mengerucut, Lucky tersenyum geli melihatnya. Mika kembali memasukkan ponsel ke dalam tasnya. "Sekarang Om Lucky harus tanggung jawab," ucap Mika seraya menatap Lucky yang tampak tidak mengerti. "Tanggung jawab apa?" tanya Lucky ringan. "Tanggung jawab untuk ngajarin aku matematika, aku tuh sebenernya mau belajar bareng temen-temen aku. Tapi Om Lucky malah rese, ya udah sekarang On Lucky harus tanggung jawab buat ngajarin aku sampe bisa," jawab Mika sambil berjalan menuju ruang tengah di mana ada satu set sofa besar di sana, seperti dikomando spontan Lucky mengikuti Mika dari belakang. "Kamu lebih milih enggak pergi dari pada di suruh ganti baju?" tanya Lucky pada gadis yang kini sudah duduk di sofa sambil mengeluarkan buku-buku dan pulpen dari dalam tasnya. "Males, ribet!" jawab Mika tanpa menatap Lucky yang sedang menggelengkan kepala mendengar jawaban Mika. "Lagi pula aku pikir-pikir ada Om Lucky di sini kenapa tidak aku manfaatkan saja." "Maksudnya?" tanya Lucky pada Mika yang telah serius membuka halaman buku-buku pelajaran tebalnya. "Ya, 'kan, Om Lucky kerjanya di bank, pasti pinter matematika," jawab Mika, Lucky hanya mencibirkan bibir sambil menggedikkan bahunya. "Ya udah, sini. Apa aja yang kamu belum bisa," ucap Lucky, detik kemudian Mika sudah menunjukkan berbagai soalan matematika yang kerap kali membuatnya pusing. . Tanpa terasa dua jam telah berlalu, dengan mereka menghabiskan waktu membahas berbagai soal pelajaran matematika, Mika merasa menemukan seorang tutor yang pintar menyenangkan sedangkan Lucky menyadari jika Mika adalah seorang gadis yang sangat cerdas. "Makasih, ya, Om. Udah ngajarin aku. Tau gini kenapa enggak dari dulu aja, ya Om Lucky tinggal di sini," ujar Mika seraya menutup bukunya. "Kenapa?" tanya Lucky seraya menaikkan satu alisnya. "Ya, 'kan, lumayan. Aku jadi punya guru les yang pinter, asik dan—." Mika terdiam ragu melanjutkan perkataannya, tetapi jelas di bibirnya mengulum sebuah senyuman. "Dan apa?" tanya Lucky lagi. "Dan gratis!" jawab Mika cepat, malu baginya mengucap kata tampan yang memang selalu ada dalam pikirannya. "Dari pada aku bimbel, udah bayarnya mahal, gurunya galak, nyebelin, jelek lagi, 'kan aku belajarnya jadi enggak konsen!" Lucky menggelengkan kepala sambil tertawa kecil. "Nanti kalau gurunya ganteng kamu jadi makin enggak konsen, Mika." "Kata siapa, buktinya barusan aku konsen-konsen aja belajarnya, jadi cepet ngerti lagi, soalnya Om Lucky neranginnya sabar dan jelas aku jadi enggak takut!" Tanpa sadar Mika telah mengakui jika Lucky tampan sekaligus menyertakan berbagi pujian lainnya, membuat lelaki itu semakin menahan senyumnya. Tanpa Mika tahu juga, saat belajar tadi justru Mika lah yang membuat Lucky kurang konsentrasi dan menjadi takut. Karena itulah Lucky memutuskan untuk menegur dan menasehatinya. "Boleh Om kasih tau kamu sesuatu?" tanya Lucky dengan nada serius, Mika yang duduk bersandar pada sandaran sofa langsung menegakkan tubuhnya. "Apa, Om?" tanya Mika. "Kamu sangat cocok memakai bra warna merah muda itu," jawab Lucky datar, meski ia mati-matian mencoba bersikap biasa saja membahas hal yang memang menurutnya tidak sopan, tetapi harus ia lakukan untuk memberi pelajaran pada Mika. Mendengar apa yang Lucky katakan Mika memelototi lelaki itu dengan wajah memerah, ada rasa marah dan kecewa dalam hatinya. "Om! Mika enggak nyangka Om Lucky bisa berpikiran m***m begitu sama Mika!" jawab Mika ketus. "Om enggak berpikiran m***m sama sekali Mika, Om enggak mungkin tau kalau enggak keliatan." Dengan tenang Lucky menjawab kemarahan gadis yang baru akan memasuki usia dewasa di hadapannya itu, ketegangan di wajah Mika perlahan mulai memudar. "Jadi karena itu Om Lucky nyuruh aku ganti baju, atau enggak usah pergi?" tanya Mika, Lucky mengangguk. dan kini Mika malah merasa malu. "Tapi kenapa Om Lucky enggak bilang dari tadi, Om Lucky menikmatinya!" Mika kembali kesal dan kini Lucky yang merasa malu. "Kadang seseorang baru bisa sadar kalau sudah merasakan akibat dari perbuatannya dari pada hanya sekedar dinasihati, Mika. Kalau hanya Om Lucky yang melihat dan kamu merasa malu itu bagus, lebih bagus lagi jika hal itu membuat kamu sadar untuk lebih memperhatikan penampilan kamu, menjaga harga diri sebagai seorang wanita. Karena belum tentu lelaki di luaran sana yang melihat akan menegur dan menasehati kamu, bisa jadi mereka akan menikmati dan lebih parahnya lagi kalau mereka malah melakukan pelecehan, bagaimana?" Mika hanya diam mendengar nasihat panjang kali lebar yang Lucky berikan, ia menyadari apa yang Lucky katakan itu benar. "Iya, Om. Mika sadar, biasanya Mama atau Papa yang selalu cerewet sama Mika tapi karena cuma omongan aja kadang enggak Mika dengerin. Makasih Om Lucky udah bikin Mika sadar," jawab Mika lirih jelas ada semburat kemerahan di pipinya kerena malu. Tetapi rasa malu itu hanya sesaat karena detik kemudian rasa itu berubah menjadi rasa penasaran. "Om, tapi, 'kan, Om Lucky cowok kenapa Om Lucky enggak malah kesenangan liat aku gini? Om Lucky masih normal, 'kan?" Jiaaahh ... pertanyaan begitu! Biasanya pertanyaan begitu hanya Lucky dapatkan dari Arga sang sahabat, tetapi kini perasaan itu ia dapatkan dari seorang gadis. Gimana rasanya, Luck? "Ya, Om normal. Om juga menikmati kalau ada perempuan lain begitu, tapi tidak dengan kamu," jawab Lucky yang agak bingung mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan. "Kenapa? Karena tubuh aku enggak bagus kayak perempuan lain, ya?" tanya Mika sedih. "Ya ... ya ... bukan gitu—." Hayo Lucky mau jawab apa? "Kalau orang sayang pasti akan melindungi, Mika. Bukan malah ikut menikmati." "Hah? Jadi Om Lucky sayang sama aku?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD