Hukuman

1125 Words
"Dasar anak-anak nakal, kemana saja kalian baru pulang jam segini?" bentak suara lelaki dengan memegang penjalin (batang bambu) di tangannya begitu melihat dua anaknya yang baru pulang. Amaq sudah menunggu di depan pintu rumah yang terlihat kecil dan kumuh itu dari selesainya solat magrib tadi dan bahkan pria itu sudah melaksanakan solat isya setengah jam lalu baru ia bisa melihat anak-anaknya pulang. Wajahnya sudah merah padam karena amarah namun tidak nampak oleh cahaya remang-remang lampu depan rumahnya. "Kak Zie bagaimana ini, amaq marah!" ucap lirih Saiqa yang bersembunyi di balik tubuh kakaknya karena merasa takut melihat amaq yang sudah menunggunya dengan memegang senjata pusaka nya itu. "Kamu tenang saja, paling-paling besok kita akan berjalan sedikit seperti suster ngesot!" seloroh Azie yang masih sempat bercanda. "Maaf kami berdua berjualan terlalu jauh sehingga pulang terlambat!" lanjut Azie memberikan jawaban pada sang amaq walaupun anak kecil itu tau sangat percuma memberikan sebuah penjelasan pada orang tua itu karena mereka akan tetap saja di marah. Azie tetap berjalan mendekati amaq nya dengan diikuti Saiqa di belakangnya. "Harus berapa kali amaq bilang kalian harus pulang sebelum waktu magrib tiba, tapi kalian selalu saja melanggar aturan." hardik amaq Husaen yang kini sudah mengangkat kayu panjang yang biasa di sebut penjalinnya. "Tetaplah dibelakang kakak, kakak akan melindungi mu!" bisik Azie dengan menoleh ke arah adik perempuannya. Saiqa hanya menganggukkan kepalanya dengan tubuh yang sudah gemetar karena ketakutan. PLAK Suara penjalin itu sudah terdengar merdu di keheningan malam ujung kampung itu. Rumah keluarga satu ini memang terletak di ujung kampung kecil bernama Ujung itu. Berdekatan dengan rimbunan pohon bambu serta kali besar yang sangat dalam. Sebuah pukulan mendarat tepat mengenai kaki kiri Azie. Namun anak itu hanya bergeming di tempatnya. Tanpa sepatah suara yang terdengar, Azie hanya bisa menggigit bibir bawahnya menahan rasa sakit kaki yang terasa panas. Sementara Saiqa hanya bisa menutup mulutnya dengan air mata yang sudah bercucuran membasahi pipi dan telapak tangannya. Saiqa meremas semakin kuat ujung baju belakang kakaknya. "Ke sini kamu anak nakal, jangan bersembunyi. Kamu juga sama saja dengan kakak mu itu!" sentak amaq kini ditujukkan pada si kecil Saiqa. Amaq mulai mengayunkan tongkatnya lagi yang akan di arahkan ke tubuh kecil anak perempuannya. Tapi dengan cepat Azie memutar badannya untuk melindungi sang adik agar tidak terkena sentuhan penjalin itu. Benar saja kini lengan tangan kanan Azie yang kembali mendapat sentuhan panas itu lagi. "Masuk lah ke kamar mu, cepat!" seru Azie pada sang adik yang kini posisinya tepat berseberangan dengan pintu masuk utama rumah kecil itu. Sementara amaq Husaen kini bertambah marah karena anak lelakinya. "Sialan kamu, kamu mau jadi pahlawan buat adik mu itu?" sentak amaq di telinga Zie, "sekarang kamu rasakan akibatnya!" lanjut pria itu lagi dan kini memukul betis dan paha belakang Azie terus-terusan. "Apa amaq sudah puas?" tiba-tiba Azie mulai mengeluarkan suaranya. "Apa katamu?" Husaen tak percaya dengan apa yang di ucapkan anaknya. Ia menurunkan penjalin yang tadinya sudah terangkat. "Iya apa amaq sudah puas memukul kaki Zie?" Zie kembali mengulang ucapannya. Amaq sekarang hanya bisa menatap tajam pada sang anak. "Kalau amaq sudah puas Zie permisi dulu, dan renungkan apa yang amaq dapat setelah memukul Zie!" ucap Zie dengan suara dingin lalu pergi begitu saja meninggalkan sang ayah. Dengan langkah sedikit berat Zie memasuki rumahnya, paha dan betisnya sudah terasa perih dan nyeri. Cap penjalin itu juga sudah tertempel di paha dan betis anak lelaki itu. Husaen kini mematung di tempatnya dengan penjalin yang sudah tergeletak di tanah. Penjalin sepanjang satu meter itu memang selalu digunakannya untuk memberikan hukuman pada kedua anaknya ketika ia marah karena kelakuan anaknya yang dia rasa salah. Sekarang dia mulai memikirkan apa yang anaknya ucapkan tadi. "Mereka sudah pulang?" sapa suara lembut yang baru datang dengan membawa kresek hitam di tangannya. "Iya mereka di dalam." Jawab Husaen dingin tanpa melihat ke arah istrinya. "Kamu memukul mereka lagi?" tanya Hasna pada suaminya dengan wajah cemasnya. Tapi Husaen hanya diam tak memberikan jawaban dan melangkah masuk ke rumah meninggalkan istrinya yang menampakkan wajah cemasnya. Hasna melangkah cepat menyusul masuk ke dalam rumah untuk melihat anak-anaknya. ***** "Kakak baik-baik saja? Apa ini tidak sakit?" ucap Saiqa yang kini tengah memberikan pertolongan pertama pada sang kakak yang sedang berbaring di sampingnya dengan mengoleskan minyak goreng pada betis sang kakak bekas pukulan penjalin tadi sembari mengipas buku tulisnya agar luka dan memar itu tidak perih. "Kalau udah memar dan lecet begini ya tandanya sudah gak baik-baik saja oneng, ya sakit lah. Ngomong-ngomong lu olesin kakak apaan sih?" tanya Azie yang sedari tadi melihat sang adik sibuk mengoleskan minyak yang susah di tuangkan pada selebar kapas wajah. "Minyak goreng kak." Jawab Saiqa dengan wajah polosnya yang masih terlihat sembab karena menangis. "Ya Allah dek, dong nanti semut-semut itu bakalan reunian di badannya kakak kamu olesin minyak goreng. Terlalu canggih ini mah otak mu dek. Cepat bersihkan lagi!" protes Zie pada adiknya itu. "Ish kakak ini sudah di obatin cerewet pula, diam lah semut kagak ada yang berani juga sama kakak. Tapi kok kakak gak nangis? Kan sakit?" tanya Saiqa lagi dengan polosnya. "Emangnya kakak itu kayak kamu cengeng, dipukul kayak begini mah kakak udah biasa." Jawab Zie dengan santainya dan merasa bangga. "Sudah lah kita tidur yuk, besok kan harus sekolah!" lanjut Zie lagi. "Iya kak. Tapi bagaimana besok kakak jualan?" Saiqa masih bertanya lagi. "Sudah jangan pikirkan itu, besok juga kakak sembuh kok. Kakak mu ini kab kuat." Jawab Zie yang kini bangun dari posisinya dan duduk bersandar di tembok kamar mereka. "Kalian tidak apa-apa?" tanya Hasna dengan wajah cemasnya. Saiqa dan Azie menoleh ke sumber suara. "Tidak apa-apa inaq!" Saiqa yang menjawab. "Ini inaq bawakan makanan untuk kalian." Inaq Hasna menyodorkan kresek hitam yang tadi di bawanya. "Kami sudah makan, kalian makan saja berdua!" jawab Azie dengan suara dinginnya tanpa menoleh ke arah ibu nya. Hasna menatap tajam ke arah anak laki-lakinya itu tapi tidak di perduli kan oleh Zie. "Mana uang hasil jualan kalian hari ini?" tanya inaq Hasna kemudian setelah melihat anak-anaknya yang terlihat baik-baik saja. Saiqa kini menatap dengan rasa tidak suka pada sang ibu yang sikapnya sudah berubah, tadi ia datang dengan wajah cemas namun sekarang belum saja 5 menit berlalu sudah menagih uang. Sementara Zie menoleh ke arah ibu nya dengan tatapan tajam. "Kalian berdua sama saja, keluarlah. Tidak ada uang yang harus ku berikan pada inaq!" ucap Zie dengan suara dinginnya. "Kamu itu ya tidak tau di untung. Seharusnya aku menambahkan lagi hukuman mu itu!" bentar Hasna dengan mengarahkan jari telunjuknya pada Azie. "Sudah berhenti. Jangan ribut lagi!" Saiqa menengahi, "keluarlah inaq. Jangan ajarkan kami untuk kurang ajar pada kalian!" lanjut Saiqa lagi dengan kepala tertunduk. Butiran air mata gadis kecil itu mulai jatuh kembali. Husna melihat satu persatu anaknya dengan kesal, lalu ia berjalan meninggalkan kamar kecil itu dengan hentakan kaki yang keras.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD