DRAMA RUMAH TANGGA

761 Words
Kinara dan Vin duduk berdampingan di ruang makan luas rumah keluarga besar Mandala. Lampu gantung kristal memantulkan cahaya keemasan yang membuat suasana terlihat hangat dari luar… tapi bagi keduanya, meja makan itu terasa seperti panggung sandiwara yang harus mereka mainkan dengan sempurna. Vin tersenyum kecil—senyum palsu dengan kadar kehangatan yang hanya muncul saat ia sedang berakting—lalu meraih pipi Kinara dan menciumnya perlahan. Setelah itu ia mencubit pipi Kinara seolah menggoda istrinya dengan mesra. Para orang tua tersenyum bahagia melihat kemesraan itu. Sementara Kinara… tubuhnya membeku. Senyuman yang terukir di wajahnya tampak kaku, rapuh, dan tidak pernah mencapai matanya. Pipi yang dicubit Vin terasa panas—bukan karena malu, tapi karena rasa sakit dan perasaan dipermalukan. Perutnya menegang. Tangannya mengepal pelan di bawah meja. “Jadi…” suara berat Tuan Mandala memecahkan suasana. “Kalian belum berniat memberi kami cucu?” Kinara tersentak, garpu di tangannya berhenti beberapa senti di atas piring. Aromanya daging bakar yang sedari tadi tidak ia sentuh kini terasa membuatnya mual. Vin menarik napas panjang dan menutupinya dengan senyum kecut. Ia melirik ayahnya sambil menahan emosi. “Kami belum memikirkannya, Ayah,” jawab Vin. “Kinara…” ia melirik istrinya sekilas, “…masih ingin menikmati masa pernikahan kami. Benar begitu… sayang?” Kinara hampir tak bisa bernapas ketika kata sayang keluar dari bibir Vin—kata yang terdengar seperti pisau yang ditusukkan perlahan. “Y-ya… kami belum siap untuk itu, Ayah,” jawab Kinara sambil memaksa senyum. Padahal hatinya terasa seperti diremas. Nyonya Wijaya mencondongkan tubuh, menatap anaknya dengan kasih sayang yang menenangkan. “Jangan terlalu lama menunda, Nak. Anak muda seharusnya menikmati masa mengurus bayi. Tidak ada salahnya mencoba.” “Ibumu benar,” timpal Tuan Wijaya. “Anak akan membuat hubungan kalian semakin dekat.” Keempat orang tua itu mengangguk bersamaan, seolah sudah menyimpulkan segalanya. Bagi mereka, meja makan itu hangat. Bagi Kinara dan Vin, meja makan itu seperti ruang interogasi. “Ayah, kami akan memikirkannya nanti,” ujar Vin. Ia masih sopan, tapi matanya menyimpan kekesalan yang jelas. Ia tidak suka digiring ke pertanyaan pribadi seperti ini. Kinara hanya menunduk. Kaki kecilnya bergerak resah di bawah meja—kebiasaan lamanya. Vin melirik dari sudut mata, tahu betul apa artinya gerakan itu: Kinara sedang berbohong, atau berada dalam tekanan besar. Vin kembali tersenyum untuk para orang tua. “Ah, apa kau sudah selesai makan, sayang?” tanyanya sambil menggenggam tangan Kinara. Sentuhan yang terlihat manis di mata semua orang, tapi terasa seperti borgol bagi Kinara. Wanita itu menatap Vin sebentar lalu mengangguk. “Astaga, menantuku yang cantik,” ujar Nyonya Mandala sambil terkekeh kecil. “Kau harus makan lebih banyak. Jangan terlalu takut tubuhmu menjadi berisi.” “Benar itu,” timpal Nyonya Wijaya. “Kau harus menjaga kesehatanmu, Nak.” Kinara memaksakan senyum lembut. “Ibu… aku akan selalu sehat,” ujarnya pelan. Sebenarnya ia ingin berkata ia bahkan sulit makan akhir-akhir ini. Tapi apa gunanya? Selanjutnya, Vin bertanya, “Kakak di mana?” Nyonya Mandala mendesah. “Kakakmu lebih memilih keliling luar negeri. Sekarang dia sedang mengurus fashion show di Paris. Ibu sudah lelah memintanya pulang sebentar untuk memikirkan pernikahan.” “Jangan terlalu mengekangnya, Sayang,” sahut Tuan Mandala. “Kau tahu betapa keras kepalanya putrimu itu.” Percakapan sempat terasa ringan hingga Tuan Mandala kembali menatap Vin dan Kinara. “Ah ya… bisakah kalian menginap di sini malam ini? Ayah ingin sekali kalian tinggal. Sudah lama sekali rumah ini tidak terasa ramai.” Keheningan langsung menyelimuti mereka berdua. Vin mematung. Matanya menatap kosong ke depan seperti sedang menimbang ribuan kemungkinan. ‘Haruskah?’ Itu satu-satunya kata yang berputar di pikirannya. Kinara memandang Vin dengan cemas. Tolong… jangan. Ia tidak berani mengucapkannya, tapi matanya memohon. Ia takut. Takut akan malam yang panjang. Takut akan wajah asli Vin ketika dinding rumah ini tidak lagi dipenuhi tatapan keluarga. “Bagaimana?” ulang Tuan Mandala. “Kalian bisa menginap?” Nyonya Mandala ikut membujuk dengan suara lembut. “Ayolah, Vin. Ibu rindu sekali pada kalian. Setelah pernikahan itu, baru kali ini kalian datang lagi. Menginaplah, ya?” Vin menarik napas dalam. Tatapannya turun ke meja makan, lalu kembali naik. Ia tidak punya alasan untuk menolak tanpa memulai konflik baru. Akhirnya ia mengangguk. “Baik, Ayah. Kami menginap.” Deg. Kinara merasa bumi bergeser. Tangannya gemetar di bawah meja. Ia tidak tahu apa yang menunggunya malam ini. Apakah Vin akan marah? Menghinanya lagi? Atau malam itu akan menjadi neraka terpanjang dalam hidupnya? Suka atau tidak, mereka akan tidur dalam satu kamar malam itu. Dan itu adalah kenyataan paling pahit yang tak bisa ia hindari.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD