4

2034 Words
Jessy menyadari sesuatu ketika ia sudah berada di dalam mobil Malvis. Ia tidak tahu siapa nama dewa penolongnya. Mendengar jutaan Dollar membuat Jessy lupa untuk menanyakan hal penting itu. "Ehm, Tuan Malvis, aku lupa bertanya tentang siapa nama bosmu." Jessy menatap Malvis polos. "Kau tidak kenal siapa dia?" tanya Malvis tidak percaya. Jessy menggelengkan kepalanya. "Aku tidak asing dengan wajahnya. Entah di mana aku melihatnya. Sama seperti kau, aku juga tidak asing dengan wajahmu. Akan tetapi, aku tidak begitu tahu siapa kalian." Malvis tidak tahu apa saja yang Jessy lakukan selama hidupnya hingga tidak mengenal sosok Earth Caldwell. Terlebih Jessy bekerja di salah satu toserba milik Earth. "Dia adalah cucu tertua pemilik tempat kau bekerja, Jessy. Dia Earth Caldwell. Dan aku adalah sekertarisnya." Jessy menutup mulutnya karena terlalu kaget. Matanya membulat, menatap tak percaya Malvis. Astaga, jadi pria yang akan menikah dengannya adalah pemilik toserba tempatnya bekerja. Oh, Jess, bagaimana bisa kau tidak mengenali atasanmu sendiri. Jessy meringis dalam hati. "Maafkan aku. Aku tidak mengenali kalian." Jessy berkata sungguh-sungguh. Ia tidak bermaksud untuk menghina Earth ataupun Malvis. "Bukan salahmu, Jess. Selama ini Earth hanya menemui para petinggi. Jadi, wajar saja jika kau tidak mengenalinya." Meski ucapan Malvis ada benarnya, tapi Jessy tetap saja merasa bodoh. "Meski begitu wajah Pak Earth sering terlihat di layar besar di toserba. Harusnya aku menyadari hal itu." Jessy kini mengingat di mana ia melihat wajah Earth ataupun Malvis. Keduanya sering tampil di layar besar yang ada di toserba tempatnya bekerja. "Jangan menyalahkan dirimu. Lagipula sekarang kau sudah tahu." Malvis tidak memperpanjang penyesalan Jessy yang menurutnya tidak terlalu penting. Jessy menghembuskan napas pelan. Mulai sekarang ia akan lebih memperhatikan sekitarnya agar ia tidak mengulangi kesalahan seperti hari ini.  Bagaimana bisa ia tidak mengenali pemilik toserba yang telah memberinya makan. "Tuan Malvis, berhenti di sini saja." Jessy bersuara cepat. Ia harus pergi ke rumah sakit untuk menjaga ibunya. "Tapi rumahmu masih jauh, Jess." "Aku tidak pulang ke rumah." "Kau mau ke rumah sakit?" tanya Malvis. "Ya. Tidak ada yang menjaga ibuku," balas Jessy. "Kalau begitu biar aku antar ke rumah sakit." "Tidak perlu repot, Tuan. Aku bisa naik bus," tolak Jessy yang tidak ingin menyusahkan Malvis. "Jangan sungkan. Mulai besok kau mungkin harus membiasakan dirimu memberiku perintah ini dan itu." Malvis tersenyum hangat. Jessy benar-benar tidak ingin merepotkan Malvis, tapi karena Malvis memaksa maka ia tidak boleh menolak lagi. "Baiklah, Tuan. Terima kasih." "Panggil aku Malvis saja. Cepat atau lambat kau akan menjadi istri dari atasanku. Sangat tidak pantas jika kau memanggilku dengan sebutan 'Tuan'," seru Malvis sembari membelokan setir mobilnya ke arah rumah sakit. Jessy menelan ludahnya. Mendengar ucapan Malvis membuatnya merasa sedikit tertekan. Ia akan menikah dengan pria yang sama sekali tidak pernah ia bayangkan. Jessy selalu berpikir rasional, pria kaya hanya untuk wanita kaya. Tidak ada pria kaya yang benar-benar mencintai wanita miskin, jikapun ada pasangan si kaya dan si miskin, maka pasti si kaya hanya ingin mempermainkan si miskin. Seperti ibunya yang dipermainkan oleh Mr.Mckell yang terhormat. Jessy juga tidak percaya kisah Cinderella. Menurutnya itu hanya sebuah dongeng sebelum tidur. Hanya sebuah kisah fantasi karangan manusia yang berkhayal terlalu tinggi. Sedang dirinya? Dirinya tidak memiliki khayalan setinggi itu. Akan tetapi, apa yang terjadi padanya saat ini mirip dengan kisah-kisah fantasia itu. Ia bertemu pangeran yang membantunya keluar dari kesusahan. Ya meskipun kenyataannya ia hanya menikah kontrak. Jessy hanya tidak tahu bagaimanakah akhir dari kisah fantasia yang menjadikannya sebagai pemeran utama. Ia harap akan berakhir bahagia untuknya dan juga Earth. Tidak, Jessy tidak berpikir bahwa pernikahan kontraknya akan berubah dengan pernikahan sungguhan, ia hanya menginginkan setelah pernikahan kontrak usai baik dirinya maupun Earth akan hidup bahagia dengan jalan mereka masing-masing. Sepanjang perjalanan menuju ke rumah sakit, Jessy hanya diam memandangi pemandangan malam kota London melalui jendela mobil Malvis. Hingga akhirnya lamunannya buyar karena mobil Malvis berhenti tepat di depan pintu masuk rumah sakit. Jessy segera menyandang tasnya. Melepaskan sabuk pengaman yang ia kenakan lalu mengucapkam terima kasih pada Malvis yang sudah berbaik hati mengantarnya. "Besok pagi aku akan menjemputmu di kediamanmu pukul 09:00 pagi, jadi kau harus sudah siap saat aku datang." Malvis mengingatkan Jessy. Jessy menganggukan kepalanya paham. Ia akan menulis catatan pengingat agar ia tidak lupa. "Baik, Malvis." Setelah itu Jessy turun dari mobil Malvis. Ia memastikan mobil Malvis meninggalkan kawasan rumah sakit lalu masuk ke dalam tempat yang dipenuhi oleh penderita berbagai jenis penyakit itu. Kali ini Jessy datang dengan bahu yang tidak lagi tertumpuk oleh beban.  Batu besar yang menimpa bahunya itu telah sirna karena bantuan Earth. Menarik napas dalam, Jessy kemudian tersenyum bahagia. Ia bisa bertemu dengan ibunya tanpa harus memperlihatkan senyuman palsu. Jessy menaiki lift.  Pintu lift terbuka di lantai yang Jessy tuju. Ia melangkah lagi, dan berhenti di depan ruang rawat ibunya. Tangannya membuka pintu dengan sangat ringan, biasanya tangan itu terasa seperti digantungi ratusan kilo batu, tapi saat ini bahkan sehelai benangpun tidak memberatkan tangannya. Jessy masuk. Tersenyum kemudian menyapa ibunya yang masih terjaga.  "Kenapa Ibu belum tidur?" tanya Jessy yang sudah berada di sebelah ranjang ibunya. Ia mengecup kening sang ibu kemudian duduk di kursi yang ada di dekatnya. "Ibu belum mengantuk." Kayonna berbohong. Ia bukan belum mengantuk, tapi ia memikirkan putri semata wayangnya. Kayonna sangat merasa tidak berguna karena telah membebani Jessy. Ia tahu seberapa besar kesulitan yang dihadapi oleh putrinya saat ini, dan semua itu karena dirinya. Setiap saat Kayonna berdoa pada Tuhan agar nyawanya segera dicabut. Kayonna bukannya tega ingin meninggalkan putrinya sendirian di dunia yang kejam ini, ia hanya tidak sanggup menghadapi kenyataan bahwa dirinyalah penyebab segala penderitaan putrinya. Kayonna adalah seorang ibu yang ingin melihat anaknya bahagia, bukan malah bekerja siang dan malam hanya untuk mengobati penyakitnya yang tak kunjung sembuh. Dan sekarang ia merasa semakin menyulitkan putrinya dengan biaya operasi. Kayonna tahu Jessy sangat menyayanginya, tetapi mengumpulkan 50.000 Dollar adalah sesuatu yang mustahil. Kayonna hanya berharap bahwa Jessy akan menyerah meski itu akan menjadi pukulan menyakitkan bagi Jessy. Ya setidaknya tanpa operasi maka kemungkinan ia hidup menjadi sangat kecil. Mata sendu Kayonna menatap Jessy lembut. "Ibu sudah merasa bosan di rumah sakit ini, Jess. Sebaiknya kita pulang saja, Ibu bahkan sudah merasa lebih baik sekarang." Jessy meraih jemari tangan Kayonna. Mengelusnya pelan lalu menciumi tangan yang sudah membesarkannya itu. "Setelah dokter mengatakan Ibu boleh pulang maka kita akan pulang. Jessy juga sudah rindu makan bersama Ibu di rumah kita yang hangat." "Tubuh ini milik ibu, jadi ibu yang lebih tahu apakah ibu sudah sehat atau belum. Dan ibu merasa sudah sehat, dokter hanya melebih-lebihkan kondisi ibu saja. Kau tahulah, Sayang, jika semua pasien diperbolehkan pulang dengan cepat maka rumah sakit tidak akan memiliki uang untuk menggaji dokter," seru Kayonna meyakinkan Jessy. Jessy tersenyum kecil. "Bersabarlah. Sebentar lagi Ibu akan pulang ke rumah kita." Kayonna menyalah artikan ucapan Jessy sebagai bentuk bahwa Jessy telah menyerah terhadap penyakitnya. Kayonna tidak akan marah atau kecewa pada Jessy, sebaliknya ia bersyukur Jessy telah menyerah. "Baguslah. Setelah ini ibu akan lebih memperhatikan kesehatan ibu. Minum obat tepat waktu dan istirahat yang cukup, maka engan begitu kanker yang menggerogoti ibu tidak akan berkembang lagi," ujar Kayonna. Ia berharap kata-katanya akan membuat Jessy tidak terlalu menyalahkan diri karena tidak mampu membiayai pengobatannya. Kayonna tahu dibalik senyuman Jessy saat ini pasti terdapat pergulatan batin yang sangat kuat. Bagian dari diri Jessy yang masih ingin berjuang pasti tengah bertengkar dengan rasa menyerah yang menyerang Jessy. Dahulu Kayonna juga pernah merasakannya ketika ia sedang mengandung Jessy. Hidup yang keras membuatnya pernah berpikir untuk meninggalkan Jessy di panti asuhan. Menghidupi dirinya sendiri saja ia sudah kesulitan apalagi ditambah dengan kehadiran Jessy. Terlebih ia akan kesulitan mencari kerja dengan membawa anak. Namun, rasa ingin menyerah itu terhempas oleh sisi keibuannya yang tidak mengizinkannya menyerah. Seberat apapun hidupnya nanti pasti bisa ia lalui demi Jessy. Jessy adalah kekuatannya, bukan kelemahannya. Ia hanya perlu lebih bekerja keras sedikit. Dengan begitu ia akan mampu menghidupi Jessy. Jessy tahu bahwa ibunya telah salah berpikir. Ia harus meluruskan pemikiran ibunya, tapi tidak malam ini. Ia masih tidak tahu harus mengatakan dari mana ia mendapatkan uang itu. Tak mungkin baginya untuk mengatakan bahwa ia melakukan pernikahan kontrak, hal itu pasti akan membuat ibunya merasa bersalah. "Baiklah, sekarang Ibu tidurlah. Aku akan mandi dan mengganti pakaianku." "Kau sudah makan?" tanya Kayonna khawatir. Jessy tersenyum lalu menganggukan kepalanya. "Sudah, Bu. Aku tidak akan pernah lupa makan. Ibu, kan, tahu bahwa hal yang paling aku sukai di dunia ini adalah makanan." Kayonna tertawa geli. "Anak ibu memang tukang makan." "Terima kasih atas pujiannya, Mrs. Scott." Jessy mengedipkan sebelah matanya lalu segera beranjak ke kamar mandi. Seperginya Jessy ke kamar mandi, Kayonna kembali menampakan raut sedih dan tak berdaya. Kebersamaannya dengan Jessy mungkin tidak akan lama lagi. Ia harus memberikan kenangan yang membahagiakan untuk diingat oleh Jessy nantinya. Air mata Kayonna jatuh. Memikirkan bahwa nanti Jessy akan sendirian setelah kematiannya membuat dadanya terasa sangat sesak. Jika saja pria yang sudah menghamilinya mau mengakui Jessy, maka ia tidak akan sesedih ini. Setidaknya akan ada orang lain yang menjaga Jessy setelah kepergiannya kelak. Akan ada orang lain yang mampu menghibur Jessy dikala sedih. Napas Kayonna terasa sesak karena menahan isak tangis. Jessy-nya benar-benar malang karena memiliki ibu seperti dirinya. ♥♥♥♥♥   "Aku sudah mendapatkan wanita yang akan menikah kontrak denganku." Earth bicara sembari memeluk pinggang kekasihnya yang tidak tertutupi oleh apapun.  Saat ini mereka sedang berada di atas ranjang, beristirahat setelah percintaan panas mereka usai. Caroline diam. Mendengar Earth mengucapkan tentang kata pernikahan membuatnya merasa sesak. Kenapa harus dengan wanita lain? Kenapa tidak dengannya saja? "Jangan membicarakan tentang pernikahan itu padaku, Earth. Kau menyakitiku." Caroline bersuara pelan. Earth mengecup pundak Caroline. Ia tahu bahwa wanitanya ini sangat ingin menikah dengannya, tapi itu tidak mungkin baginya karena status Caroline. Andai saja Caroline bukan janda maka mereka pasti bisa bersama. Earth sejujurnya tidak ingin menyakiti Caroline seperti ini, tapi apa yang bisa ia perbuat? Ia tidak bisa kehilangan kepemimpinannya di Caldwell Group. Jika ia memilih Caroline maka semua kerja keras dan usahanya selama ini hanya akan sia-sia. "Maafkan aku, Sayang. Aku hanya mencari jalan terbaik untuk kita," seru Earth lembut. Caroline tak menjawab. Dari dulu Earth hanya mementingkan ambisinya. Earth selalu mengatakan bahwa Earth mencintainya, tapi jika disuruh memilih maka Earth akan memilih ambisi dari pada cinta. Caroline sudah pernah memaksa Earth untuk memilih, dan hasilnya adalah ia tersakiti karena Earth lebih memilih tenggelam pada ambisinya. Caroline dan Earth menjalin hubungan ketika mereka masih remaja. Earth adalah cinta pertama Caroline, pria yang mengajarinya apa itu manisnya cinta lalu juga menghanyutkannya pada harapan semu. Harapan yang pada akhirnya membuat Caroline lelah dan memilih untuk berpisah dengan Earth. Ketika hubungan mereka sudah menginjak 5 tahun, Caroline meminta Earth untuk menikahinya, tapi saat itu Earth sedang sibuk pada study-nya. Bahkan untuk bertemu saja mereka sudah tidak memiliki waktu. Earth jelas menolak permintaan Caroline, ia masih terlalu muda saat itu dan masih banyak hal yang perlu ia gapai. Caroline kecewa pada Earth. Ia mengancam akan menikah dengan pria lain jika Earth tidak mau menikahinya, tapi jawaban Earth masih sama. Meski pada akhirnya Earth meminta pada Caroline untuk menunggunya 2 atau 3 tahun lagi. Sampai ia benar-benar mendapatkan kepercayaan kakeknya. Sayangnya Caroline tidak sesabar itu. Caroline membuktikan pada Earth bahwa ada pria lain yang menginginkannya. Caroline memutuskan hubungannya dengan Earth lalu menikah dengan jaksa muda yang dikenalnya melalui sang ayah yang juga berprofesi sebagai jaksa. Akan tetapi, pernikahan itu tidak berjalan sesuai dengan yang Caroline bayangkan. Suaminya memang mencintainya, tapi dirinya yang tidak bisa mencintai suaminya karena perasaannya masih tertahan pada Earth. Dan pada akhirnya setelah usia pernikahannya memasuki 2 tahun, Caroline memikirkan untuk berpisah dengan suaminya. Hal itu menjadi kenyataan setelah Caroline kembali bertemu dengan Earth. Mereka masih memiliki perasaan yang sama. Sayangnya, meski kembali bersama dengan Earth, Caroline tidak bisa mempublikasikan hubungannya dengan Earth.  Hal itu dikarenakan Earth meminta agar ia merahasiakan tentang mereka. Jika ada yang tahu Earth berhubungan dengan seorang janda maka media pasti akan menyerangnya. Bagi Earth, nama baiknya adalah segalanya. Ia tidak ingin terlibat dalam skandal apapun. Jika dulu Caroline tidak bisa menikah dengan Earth karena ambisi Earth, maka sekarang karena statusnya. Caroline tidak bisa mengeluh terlalu banyak pada Earth, ia hanya bisa menerima posisinya sebagai kekasih rahasia Earth. Ia tidak mau kehilangan Earth lagi. "Berjanjilah padaku bahwa kau tidak akan jatuh cinta pada wanita itu." Caroline memiringkan wajahnya, menatap mata Earth dengan matanya yang basah. Earth mengecup kening Caroline dalam. "Aku berjanji, Caroline. Tidak akan ada wanita yang aku cintai selain kau, baik itu dulu, sekarang atau nanti." Caroline tidak bisa meyakini ucapan Earth. Ia tahu Earth pria setia, tapi siapa yang tahu bagaimana pernikahan kontrak itu akan berjalan. Bisa saja wanita yang Earth nikahi akan melakukan hal licik untuk memiliki Earth selamanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD