Bab 3 – Melihat Gito

1367 Words
Setiap hari Sabtu, pabrik roti tempat Rania bekerja selalu memulangkan karyawannya lebih awal. Biasanya pabrik tutup pukul lima sore, tapi setiap Sabtu pabrik tutup pukul tiga sore. Hal itu selalu dimanfaatkan oleh Rania dan Dewi pergi cuci mata ke mall atau pasar tradisional. “Ra, sebelum pulang kita ke Mega Mall dulu ya. Nyari diskonan.” Dewi mulai mengemasi barang-barang pribadinya dari dalam loker. “Boleh, tapi kamu traktir aku makan bakso nanti ya,” jawab Rania yang juga tengah membereskan barang-barang pribadi miliknya. “Siap uni ...,” canda Dewi seraya mengedipkan salah satu matanya ke arah Rania. Mereka berdua segera menyetop sebuah angkutan kota menuju Mega Mall. Rania tercenung ketika melihat seorang ibu muda yang duduk di hadapannya. Wanita itu sedang bercengkrama dengan putranya. Rania memperkirakan anak laki-laki yang ada di hadapannya sebaya dengan Daniel—putra keduanya. Daniel yang saat ini berusia tiga tahun. Sementara Yusuf anak pertama Rania berusia tujuh tahun. Rania tiba-tiba rindu dengan buah hatinya. Daniel ia tinggalkan ketika masih berusia dua tahun dua bulan. Sudah delapan bulan Rania berpisah dengan anak-anaknya. Keadaan ekonomi memaksa Rania untuk bersabar. Bisa pulang ke kampung halamannya hanya sekali dalam setahun, yakni ketika libur lebaran. Pria kecil yang ada di hadapan Rania sadar jika dirinya diperhatikan oleh orang asing. Pria itu segera mendekap erat ibunya. Sang ibu baru menyadari jika Rania terlalu memperhatikan putranya. Rania tersentak ketika melihat dua orang di depannya merasa risih. “Ma–maafkan saya kak, saya hanya tertegun melihat putra anda. Sepertinya sebaya dengan putra saya yang berada di kampung. Tiba-tiba saya merindukan putra saya.” Rania memperlihatkan senyum manis berlesung pipitnya. Wanita yang ada di hadapan Rania terlihat lega. “Oh, maafkan saya juga ya dek. Saya kira ada maksud aneh-aneh, sebab belakangan ini banyak sekali kejahatan terjadi di atas angkutan umum.” Wanita itu menyodorkan tangan kepada Rania. Rania membalas. “Rania kak. Oiya, anak tampan namanya ciapa?” Rania mencoba menggoda putra tampan yang ada di hadapannya. “Liski, tante,” jawabnya singkat dengan suara cadel khas anak batita. “Namanya Rizki dek,” sambung ibu dari anak itu. “Wah, nama yang sangat bagus. Kenalkan ini tante Rania. Rizki umur berapa?” tanya Rania lagi. Rizki mengangkat bahu pertanda tidak tau. “Rizki usianya 3 tahun tante,” jawab ibunya seraya mengangkat tangan Rizki, Rania tersenyum. “Oiya, seumuran dengan anak tante,” senyum Rania. Tak lama mereka sudah sampai di tempat yang mereka tuju. Dewi sangat senang, sebab biasanya di akhir pekan seperti ini, Mega Mall banyak mendiskon barang-barang mereka. “Ayo cepat Ra, kamu lama sekali. Nanti keburu nggak dapet aku sama barang inceran aku.” Dewi kesal melihat sahabatnya berjalan dengan santainya, sementara dirinya sudah tergopoh-gopoh demi mengerjar diskonan. Langkah Dewi seketika terhenti. Netranya menangkap sepasang manusia yang tengah asyik memadu kasih di sebuah cafe di mall tersebut. Sang pria bahkan berkali-kali membelai rambut sang wanita. “Kenapa Wi, kenapa tiba-tiba kamu berhenti.” Rania keheranan. “Eh Ra, lihat deh di sana.” Telunjuk Dewi mengarah ke sepasang kekasih. “Gito?” tanya Rania datar. “Kok kamu biasa aja Ra, nggak cemburu melihat Gito sedang bermesraan dengan wanita lain.” Kening Dewi mengkerut. “Nggak, biasa saja. Lagi pula semua lelaki itu sama. Untung aku ngga cinta banget sama si Gito itu.” Rania segera menarik lengan Dewi menjauh dari lokasi itu. “Kamu kok bisa datar gitu sich?” Bahu diangkat, bibir mengerucut. “Karena aku juga sudah terbiasa di datarin sama seseorang, hahaha ... udah ah, males membahas masalah cowok. Nanti kita cari pacar yang baru,” seloroh Rania. Sudut matanya menoleh ke belakang menangkap momen yang sangat menyebalkan. Sejujunya hatinya cukup sakit melihat Gito begitu mesra dengan perempuan yang sedang bersamanya. Bukan karena Rania cemburu, tapi karena sikap Gito yang tega melupakannya dengan semudah itu. Rania masih ingat betapa Gito berkali-kali memintanya bercerai dengan Adam agar bisa menikah dengannya. Bagaimana Gito mengatakan, ia akan setia menunggu Rania hingga Rania siap menceraikan Adam. Tapi kenyatannya, Gito malah dengan mudah menjalin kasih kembali dengan wanita lain. Laki-laki semua sama, b******k! batin Rania. Wanita itu merasa beruntung tidak mudah termakan rayuan lelaki. Toh, selama ini Rania mendekati beberapa pria tak lebih hanya untuk pemuas materi semata. “Ra, kenapa melamun? Masih mikirin Gito ya? Jangan bilang kalau kamu mencintai Gito.” Dewi berhenti melangkah, menatap ada yang berbeda dari netra sahabatnya. “Enggak, aku sama sekali tidak mencintai Gito. Aku hanya terpikir, andai saja aku termakan rayuan Gito dan meninggalkan Adam deminya. Mungkin sekarang aku sudah terluka.” Netra Rania menerawang. Pandangannya lurus ke depan, sulit untuk di artikan. “Yah, kupikir juga begitu. Ya sudahlah, kita lupakan Gito. Sekarang kita lanjut belanja. Setelah itu kita makan bakso, aku yang traktir.” Dewi menarik lengan Rania. Kedua wanita dua puluh tahun itu tampak menikmati sore mereka. - - - - - Kediaman Rania. “darimana?” Adam kembali menginterogasi Rania. “Dari Grand Mall.” Rania ketus. “Sama siapa?” “sama temen.” “Kok nggak di antar?” Rania berbalik menatap Adam yang tengah asyik duduk di depan televisi sambil menghisap rokoknya. “Aku pergi sama Dewi, puas.” Ketus. “Kenapa nggak pernah lagi di antar sama pacar kamu itu?” Menghela napas panjang. “Bang, aku mohon jangan ngajakin aku ribut terus. Pacar yang mana? Aku cuma teman, nggak lebih.” Mulai emosi. “Atau jangan-jangan kamu udah putus?” Menggigit gigi karena geram. “Bang, hati kamu itu terbuat dari apa sih, bang. Dasar laki-laki nggak peka.” Rania berlalu menuju kamar. Membanting pintu dengan sagat keras. “Ra ....” Adam menyusul. “Apalagi, bang?” Suara meninggi. “Ra, selama ini aku tidak pernah membentakmu, tidak pernah marah padamu, tapi mengapa kamu selalu keras terhadapku, Ra.” Adam duduk di tepi ranjang. “Abang pikir kenapa?” Mendengus kesal. “Aku tau, aku tidak hebat di ranjang. Tapi aku kan sudah berusaha, Ra.” Adam menyugar rambutnya. “Bukan itu masalah utama.” Berkacak pinggang, menatap tajam netra Adam. “Bang, abang itu tujuh tahun lebih tua dari aku. Tapi abang sama sekali tidak peka terhadap pasangan. Abang sebenarnya cinta nggak sich sama aku?” “Ya, aku cinta sama kamu, Ra.” Ekspresi muka datar. “Kalau cinta kenapa tidak punya rasa cemburu, rasa empati, perhatian, kasih sayang, kepekaan  ... ah, sudahlah. Aku lelah.” Rania berkali-kali menyugar rambutnya. “Aku nggak ngerti apa yang kamu maksud, Ra.” Kebingungan. “Ah, sudahlah. Aku capek ngomong sama kamu bang. Aku mau istirahat.” Rania menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang. “Ra, abang sudah beli lagi obat yang lain. Baru abang minum setengah jam yang lalu. Kita coba lagi ya? Mana tau kali ini tokcer.” Adam tersenyum. Laki-laki menyebalkan, jadi dari tadi aku ngomel sama dia, nggak ada satu pun yang masuk ke otaknya, Rania membatin. “Bagaimana Ra? Kenapa kamu diam?” Adam mengguncang-guncang tubuh istrinya. “Abang yakin?” tidak bersemangat. Adam mengangguk. “Ya udah, ayok.” Rania memang agresif. Dia langsung melumat bibir suaminya. Sentuhan bibir itu mampu dengan cepat membuat Rania terbakar. Lagi, tidak butuh waktu lama, tubuh ke dua insan itu menjadi polos tanpa busana. Rania semakin menggila berharap kali ini dia benar-benar bisa terpuaskan tanpa dildo. Adam bersiap memasuki liang milik Rania. Clak, mereka menyatu lagi. Napas Rania mulai memburu, ia terengah-engah. Wanita itu benar-benar berharap kali ini ia bisa mencapai klimaks tanpa dildo. Setidaknya Adam sudah bisa memuaskan, begitu pikir Rania. Tapi ... “Aahhh ....” Adam melepaskan seluruh hasratnya dalam hitungan tidak lebih dari 5 menit. Rania terdiam, kecewa. Adam segera melepaskan diri dari tubuh Rania dan terkulai lemas di sebelahnya. Menghela napas panjang. “Harus dildo lagi,” gerutu Rania pelan. Segera wanita itu mengambil benda kesayangannya dari dalam laci lemari. Benda yang sudah menemaninya selama bertahun-tahun. Bahkan belum ia beli lagi karena harganya cukup mahal. Rania hanya memberikan perawatan extra pada benda itu agar benda itu tetap steril dan berfungsi dengan baik. Rania mulai menggeliat merasakan syurganya sendiri. Gumaman dan desahan yang ia ciptakan sendiri terdengar sedikit memilukan. Meremas d**a dan bokongnya sendiri. Adam hanya menonton dengan rasa sesal yang mendalam. “Aahhh ....” Rania mencapai klimaksnya, sendiri.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD