BAB 7 – Jembatan Barelang

1101 Words
Setelah menyelesaikan makan malam dan urusan mereka, Harun dan Rania pun keluar dari resto menuju parkiran. Rania begitu tersanjung ketika Harun membukakan pintu mobil untuk wanita itu. Belum pernah selama ini pria mana pun memperlakukannya demikian manis. Harun mulai mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang. Pria itu ingin membuat penumpangnya merasa aman dan nyaman. Tanpa disadari oleh Harun, Rania berkali-kali mencuri pandang terhadap pria itu. Rania begitu mengagumi sosok pria yang ada di sampingnya. Selain memiliki wajah tampan mirip dengan artis idolanya, pria yang ada disebelahnya juga begitu lembut dan perhatian. “Ada apa, Ra?” Sekilas dari sudut matanya, Harun melihat wanita yang ada di hadapannya menoleh ke arahnya. Rania tersentak, ia jengah, “Eh ... Tidak, tidak ada apa-apa, Bang ....” Rania mengalihkan pandangannya ke jendela mobil. “Sudah berapa lama kamu tinggal di Batam?” Harun mencoba membuka percakapan untuk menghilangkan kecanggungan yang ada. “Sudah tujuh tahun lebih, Bang. Sesaat setelah lulus SMU, aku langsung ke sini dan menikah dengan Adam.” Rania menjelaskan. “Hhmm ... cukup lama.” Begitulah mereka menghabiskan waktu dengan berbincang ringan. Rania begitu bahagia bisa menikmati malam kota Batam yang sudah begitu lama dirindukan oleh wanita itu. Mobil yang dikendarai Harun berhenti di tepi jembatan barelang. Harun dan Rania turun dari mobil dan memutuskan berjalan-jalan kaki mengitari jembatan yang menjadi ciri khas kota industri tersebut. “Jembatan ini bagus, aku baru pertama kali ke sini.” Harun mengungkapkan rasa kagumnya akan keindahan salah satu destinasi wisata yang terkenal di kota itu. “Iya bang, kalau sudah ke sini, aku jadi rindu dengan jembatan siti nurbaya di Padang.” Rania menimpali. “Beda la Ra, jembatan Siti nurbaya tidak sepanjang ini.” Harun masih mengagumi keindahan perairan yang terbentang di bawah jembatan. Pria itu menyandarkan sikunya pada railing jembatan barelang. “Hahaha ... ya jelas beda, Bang. Abang bagaimana sich. Lagi pula aku tidak pernah bilang kalau  jembatan ini sama. Aku cuma bilang, setiap ke sini aku jadi rindu jembatan Siti nurbaya, itu saja.” Rania tertawa renyah. Tawa itu memperlihatkan lesung pipinya yang dalam. Harun berbalik menatap Rania. Sesaat, ia cukup terpesona dengan wanita yang ada di sebelahnya. Wanita yang masih muda dan begitu cantik. Bahkan jika Rania tidak mengatakan jika dirinya sudah memiliki anak, mungkin Harun akan mengira jika wanita itu masih gadis. “Memangnya ada kenangan spesial di jembatan Siti nurbaya?” Harun mulai menggoda wanita itu. “Hhmm ... kenangan apa? Kenangan makan jagung bakar?” Rania juga menatap Harun, wanita itu merasa nyaman berada di dekat pria yang baru dikenalnya itu. “Makan jagung bakarnya sama siapa dulu? Hehehe ....” “Tidak, Bang. Sayangnya aku tidak beruntung. Masa remajaku habis untuk berdagang dan sekolah. Aku tidak pernah memiliki waktu untuk sekedar bermain dengan teman-teman apa lagi berpacaran. Dua hari setelah aku menerima ijazah SMU, aku segera ke sini untuk bekerja.” Rania kembali memalingkan wajahnya menatap perairan yang ada di bawah jembatan tempat mereka berdiri. “Lalu mengapa buru-buru menikah?” “Hhmm ... itu ... ah, mungkin memang sudah jodohnya begitu, hehehe ....” Rania jengah, ia enggan mengakui jika pernikahannya dengan Adam karena terpaksa. “Tapi memang sayang, Ra. Kamu buru-buru menikah dan sekarang malah tidak pernah bahagia. Aku cukup prihatin.” Harun kembali menatap wanita itu. “Ah ... sudahlah, Bang. Semua sudah terjadi, aku hanya bisa menjalani tanpa bisa mundur lagi. Oiya, kita jalan-jalan yuks, kakiku sudah pegal berdiri terlalu lama, hehehe.” “Okay, baiklah ... kita ke sana, sepertinya di sana ada yang menjual camilan. Kita beli camilan dan minuman dulu. Ngobrol doang dari tadi membuat tenggorokan jadi kering.” Harun kembali menatap Rania. Rania tersenyum, kembali lesung pipi itu terlihat jelas, menambah kesan manis sang pemiliknya. Harun cukup terpesona dengan lesung pipi dan senyum manis yang dimiliki Rania. Mereka berdua pun kembali berjalan-jalan di sepanjang jembatan barelang. Semakin lama semakin akrab hingga mereka saling melempar canda dan riang tawa. Harun bahkan tak segan membelai puncak kepala wanita itu, seakan mereka telah kenal lama dan sudah tiada batas antara mereka. “Bang, sudah jam berapa?” Rania lupa akan waktu. Tanpa sadar ia merasa sudah terlalu lama bersama pria yang baru dikenalinya itu. “Astaga ... sudah jam sepuluh lewat, Ra. Maaf, abang sampai lupa waktu. Bersamamu terasa sangat menyenangkan.” Harun kembali tersenyum menatap Rania. “Kita pulang sekarang ya? Ini sudah terlalu larut.” “Apa suamimu akan marah?” “Entahlah, tapi kurasa dia tidak berada di rumah. Palingan ia sedang berjudi di warung gang sebelah.” Rania merengut. Dahinya mengkerut. “Maaf Ra, abang tidak bermaksud untuk ikut campur, tapi kamu terlalu bodoh masih mau bertahan dengan pria seperti itu.” Harun cukup prihatin dengan keadaan Rania. “Sudahlah, Bang. Bukankah tadi aku sudah ceritakan apa alasannya. Andai saja aku punya pilihan, maka sudah dari dulu aku pergi darinya. Ah, mengobrol denganmu tidak akan ada habis-habisnya. Ayo kita pulang sekarang.” Tanpa sadar, Rania menggenggam lengan kiri Harun. “Eh ... maaf ... aku tidak sengaja. Aku kalau sudah merasa akrab dengan seseorang, jadinya begitu. Tidak ada sopan santun lagi, hehehe.” Rania salah tingkah. “Tidak masalah, ayo kita ke mobil sekarang.” Harun malah balik menggenggam erat telapak tangan wanita itu. Rania merasakan kehangatan di sekujur tubuhnya. Genggaman tangan Harun mampu membuat jiwanya bergetar hebat. Belum pernah sekali pun Rania merasakan perasaan demikian dengan pria lain. Bukan satu atau dua pria lagi yang sudah dekat dengan wanita itu dan semuanya sudah pernah merasakan kulit tangan dan bibirnya. Namun demikian, semua pria itu tidak pernah memberikan getaran seperti yang diberikan Harun. Lagi, Harun membukakan pintu mobil untuknya. Sungguh, hal itu membuat jiwanya melambung dan tersanjung. Ia merasa dihargai. Harun mulai mengemudikan mobilnya meninggalkan jembatan yang menjadi ikon kebanggaan kota industri itu. “Mau abang antar sampai rumah?” Harun menawarkan diri. “Jangan, Bang. Antar sampai simpang komplek saja. Nanti biar aku berjalan kaki ke dalam.” Rania menolak. “Tapi ini sudah sangat malam. Abang antar sampai rumah ya?” “Ya sudah, kalau abang tetap memaksa.” “Aku tidak ingin nanti kamu kenapa-kenapa di jalan sebab ini sudah terlalu malam. Kalau nanti ada yang menggosip, biarkan saja. Bukankah suamimu sendiri tidak peduli?” Harun kembali memancing pembicaraan. “Abang bisa saja. Oiya, terima kasih untuk malam ini.” Rania menatap Harun, sementara pria yang ditatap masih fokus pada kemudinya. “Sama-sama Ra, abang juga senang bisa jalan-jalan malam ini.” Tak lama mobil Harun berhenti di depan sebuah rumah sederhana. Sebuah gembok berukuran sedang masih melekat di pintu luar rumah. Itu artinya tidak ada siapa-siapa di dalam rumah, suami Rania belum pulang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD