Ganteng atau pun kekayaan itu bukan menjamin segalanya. Belum tentu orang ganteng atau orang yang memiliki harta yang berlimpah memiliki cinta yang tulus. Bisa saja tanpa kita ketahui, dia memiliki niatan tertentu.
***
Cia berusaha menghilangkan wajah laki-laki yang selama ini dia rindukan dalam otaknya, tetapi tidak bisa. Dia nyaris menjerit frustasi jika dia tidak mengingat bahwa dia sekarang di kelas.
Sebelum David kembali berbicara, Cia langsung berlari keluar kelas membuat semuanya bingung. Cia merasakan hatinya berdenyut saat mengingat serpihan kenangan yang terjadi pada masa lalunya.
Bodoh, gue ngapain ingat dia? Semua itu udah lama, gue bahkan sampai pindah ke Surabaya untuk lupain dia. Tapi, kenapa sekarang kenangan itu datang lagi? Tanya Cia dalam hati sembari berlari menuju parkiran mobilnya.
Dia langsung melajukan mobilnya dengan kelajuan di atas rata-rata keluar dari sekolah. Dia rasa dia butuh suatu tempat yang dapat menyejukkan hatinya.
Dia butuh seseorang untuk menjadi tempat dia berkeluh kesah. Tanpa berpikir dua kali, dia melajukan mobilnya menuju kampus Aldri.
Dia rasa dia membutuhkan Aldri untuk menenangkannya. Hanya butuh waktu setengah jam, dia sudah sampai di kampus Aldri.
Dia menekan sederet angka yang sudah dia hafal di luar kepala lalu menekan tombol hijau.
"Halo?"
"Halo, Kak," ucap Cia dengan suara seraknya membuat Aldri yang berada di kantin kampusnya seketika panik.
"Kamu kenapa? Kamu sakit? Atau kenapa? Kok suaranya serak gitu?"
Cia menggeleng pelan, seketika dia teringat bahwa Aldri tidak bisa melihat dia menggelengkan kepalanya karena Aldri tidak berada di dekatnya.
"Adik, kamu kenapa? Kamu sekarang di mana? Di sekolah? Dad ngapain kamu? Dad maksa kamu buat ketemu sama David ya? Atau Dad ngurung kamu di gudang sekolahan tapi masa iya Dad tega? Kenapa, Dik?"
"Aku di kampus kakak. Kakak bisa ke parkiran gak? Aku butuh kakak," lirih Cia pelan.
Cia dapat mendengar suara grasak-grusuk di ujung sana, dia tidak tahu apa yang sedang dilakukan Aldri sehingga menimbulkan suara seperti itu. Tetapi, dia yakin Aldri pasti akan segera ke parkiran kampus.
Hanya butuh 30 detik, Aldri mengetuk kaca mobil Cia. Cia keluar dari mobil dengan mata yang berkaca-kaca. Cia langsung memeluk Aldri membuat Aldri nyaris terjungkal ke belakang. Aldri mengelus rambut cokelat Cia yang kini tergerai berantakan.
"Kamu kenapa?" tanya Aldri lembut yang tidak direspon oleh Cia.
Aldri menghela napas, dia yakin ada sesuatu yang terjadi pada adiknya itu. Dia akan mencari tahu apa yang membuat adiknya seperti ini.
Cukup sekali saja dia melihat adiknya terkapar tidak berdaya, dia tidak ingin ada sesuatu yang buruk kembali menimpa adik kesayangannya itu. Dia tidak sanggup melihat adiknya terluka sedikit pun.
"Kalau kamu gak kasih tahu kakak, kakak mana tahu apa yang terjadi sama kamu," ucap Aldri membuat tangis Cia meledak.
Aldri panik begitu Cia menangis di pelukannya. Dia bukan panik karena baju yang dipakainya akan basah, tetapi dia panik karena sudah sekian lama adiknya tidak menangis seperti ini.
"Kenapa?" tanya Aldri sekali lagi.
"Senyuman David buat aku ingat sama Varo, Kak. Senyuman mereka sama banget. Aku gak ngerti kenapa mereka bisa punya senyum yang sama kayak gitu," jawab Cia membuat Aldri akhirnya mengerti alasan adiknya menangis seperti itu.
"Aku jadi ingat sama Varo, Kak. Aku jadi ingat semuanya tentang itu. Aku ingat betapa manisnya dia memperlakukan aku, Kak. Aku ingat waktu dia kasih surprise setiap aku ulang tahun. Aku ingat kita selalu main basket jam 3 sore sampai jam 5 sore.
Aku ingat setelah kita main basket, kita bakalan makan camilan kesukaan kita di Mall. Dan yang paling aku ingat dari semua itu adalah di-dia nembak Mut-Mutia di depan aku," lirih Cia membuat Aldri menghela napas.
Mengapa Cia masih mengingat semua itu dengan detail?
"Sayang, kamu gak usah ingat itu lagi ya. Dia gak pantas buat kamu nangisin kayak gini. Kamu harus bisa coba lupain masa lalu kamu. Kamu gak bisa terus-terusan terbayang sama masa lalu kamu.
Kamu hidupnya itu di masa sekarang, Sayang. Bukan masa lalu lagi, jadikan masa lalu sebagai pembelajaran bukan hambatan buat kamu melanjutkan hidup yang sekarang," kata Aldri menasehati adiknya.
"Kakak gak mau melihat kamu kayak gini, Dik. Air mata kamu terlalu berharga buat nangisin orang kayak dia. Kamu harus percaya sama kakak, suatu saat nanti bakalan ada cowok yang benar-benar akan tulus sayang sama kamu. Kamu juga gak boleh ngambek sama Dad, Dad baik sama kamu, Sayang.
Dad sayang sama kamu, dia gak pingin kamu hidup di masa lalu. Dia kenalin David ke kamu dengan tujuan kamu bisa melupakan Varo dan buka lembaran baru," jelas Aldri panjang membuat Cia tersadar bahwa dia salah sudah ngambek dengan Alden yang jelas-jelas menyayanginya lebih dari apa pun.
Tangis Cia sedikit mereda mendengar penjelasan Aldri. Aldri melepaskan pelukan mereka lalu menyeka air mata adiknya yang tersisa di pelupuk mata adiknya sebelum berucap, "Sekarang adik mendingan pulang aja, gak usah balik ke sekolah lagi. Kalau Dad ada di rumah, adik minta maaf sama Dad, Dad sayang sama kamu, Dad tadi sedih waktu adik langsung pergi ke sekolah tanpa pamit sama sekali."
Cia mengangguk sebelum berkata, "Makasih, Kak, aku sayang sama kakak."
Aldri tersenyum lalu mengacak rambut Cia yang berwarna cokelat.
"Kakak juga sayang sama adik. Sekarang kamu balik ya, kakak ada jadwal kuliah," ujar Aldri lalu membukakan pintu mobil Cia.
Cia masuk ke dalam mobilnya. Setelah melambaikan tangannya kepada Aldri, dia melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang menuju rumahnya.
Lauren mengernyitkan keningnya bingung melihat mobil Cia kini memasuki halaman rumahnya. Dia menghampiri Cia yang telah selesai memarkirkan mobilnya di garasi.
Dia terkejut melihat wajah anaknya memerah terutama pada bagian hidung dan mata. Cia terlonjak kaget begitu Lauren kini berada tepat di depannya.
"Cia kok udah pulang?" tanya Lauren.
Cia tersenyum sebelum berucap, "Iya, Mom, aku gak enak badan makanya pulang duluan. Gak papa 'kan?"
"Siapa suruh dari kemarin malam gak makan, sekarang sakit 'kan. Ya udah sekarang kamu istirahat dulu," kata Lauren.
"Mom," panggil Cia membuat Lauren yang sedang berjalan masuk ke dalam rumah menghentikan langkahnya.
"Kenapa?" tanya Lauren.
"Dad ada di rumah gak?" tanya Cia membuat Lauren tersenyum penuh arti.
"Dad lagi di sekolah, dia ada meeting sama yang lainnya tentang pentas seni yang bakalan diadain bulan depan," jawab Lauren membuat Cia menghela napas.
Mereka berdua kini duduk di sofa.
"Kenapa emangnya, Sayang?" tanya Lauren dibalas gelengan Cia.
"Mom yakin ada sesuatu di antara kalian, Sayang. Kamu gak bisa sembunyiin semua itu dari Mom. Mau cerita?" tanya Lauren sembari menyunggingkan senyuman manis.
"Kemarin pas Mom pergi reuni sama teman-teman Mom, Dad ngajak aku pergi makan gitu. Aku pikir Dad ngajak pergi makan biasa gitu karena cuma ada aku sama Dad di rumah. Tiba-tiba Dad bilang kalau dia mau jodohin aku sama kakak kelas gitu," jelas Cia membuat Lauren tersenyum tipis.
"Ganteng gak orangnya?" tanya Lauren menaikturunkan kedua alisnya menggoda Cia membuat Cia mendengus sebal.
"Ganteng itu bukan jadi alasan pertama aku nerima perjodohan ini, Mom. Belum tentu orang ganteng itu punya hati yang baik. Belum tentu orang ganteng itu punya etika yang baik. Belum tentu orang ganteng itu bukan seorang player," jawab Cia sembari tersenyum miris membuat Lauren mengembuskan napasnya.
"Bukan gitu maksud Mom, Sayang. Iya, Mom tahu ganteng itu gak bisa menjamin semua. Tapi, kamu harus tahu satu hal. Dad kamu sayang banget sama kamu melebihi apa pun. Dia gak mungkin pilih orang yang salah buat kamu. Selama ini Dad gak pernah minta apa pun 'kan sama kamu? Untuk pertama kalinya, dia minta kamu buat punya hubungan khusus sama David, Cia," ucap Lauren panjang.
Cia mengangguk membuat Lauren tersenyum. Cia rasa ini saatnya dia membalas budi semua yang telah Alden berikan untuknya. Dia sering meminta ini itu kepada Alden dan langsung diberikan oleh Alden. Dia merasa dia bukan anak yang baik karena tidak memberikan apa yang Alden inginkan. Dia yakin David adalah orang yang tepat untuk menyembuhkan lukanya.
Dia berjalan menuju kamarnya setelah berpamitan kepada Lauren. Dia merebahkan dirinya di kasur sembari membuka aplikasi Line-nya.
David Alcander
Ciaa, lo kenapa?
David Alcander
Lo marah sama gue gara-gara gue bilang kalau gue itu calon tunangan lo di depan kelas?
David Alcander
Gue udah tahu semuanya dari Dad lo, Cia
David Alcander
Gue gak bakalan ninggalin lo setelah gue bikin lo baper
David Alcander
Lo bisa pegang omongan gue, Cia
Alicia Fernita
Dad cerita apa aja ke lo? Dia kasih tahu nama orang itu?
David Alcander
Gak, Dad lo cuma cerita aja tanpa ngasih tahu namanya ke gue
David Alcander
Dad lo minta tolong ke gue buat bantu lo biar lo ga ingat sama masa lalu lo lagi
David Alcander
Gue gak bakalan maksa lo kalau emang lo gak mau tunangan sama gue
Alicia Fernita
Hmm, gue cuma takut, Vid
Alicia Fernita
Gue takut kalau lo bakalan ngelakuin hal yang sama kayak dia, walaupun lo sekarang bilang lo gak bakalan ninggalin gue
David Alcander
Gue janji gue gak bakalan kayak gitu, Cia
David Alcander
Gue bakalan pegang omongan gue
Alicia Fernita
Iya, gue percaya sama lo
David Alcander
Sekarang kita pacaran?
Cia membelalakkan matanya tak percaya. Baru juga dia menanggapi pesan dari David. Tetapi, David sudah berani menanyakan pertanyaan itu.
Alicia Fernita
Gak, kita temanan aja dulu
David Alcander
Oke, teman?
Alicia Fernita
Iya
Untuk Alden, dia akan mencoba membuka hatinya. Untuk Alden, dia akan berusaha mengubur kenangan yang mampu menorehkan berbagai rasa di hidupnya. Dia berjalan ke balkon kamarnya sembari membawa buku hariannya lalu duduk sembari memandang langit sejenak.
Hai, lo yang jauh di sana!
Gue masih di sini dengan hati yang sama
Gue masih di sini dengan harapan yang sama
Berharap gue akan terlintas di benak lo
Berharap lo juga merindukan gue
Seperti gue yang sangat merindukan lo
Hanya lo yang mampu membuat gue seperti ini
Hendak membenci, tetapi tak mampu
Hati gue berdesir setiap kali sekelebat memori indah kembali menghampiri gue
Hati gue memberontak
Dulu gue yang menjadi prirotas lo kini 'tak lagi
Dulu gue tempat lo berpulang kini 'tak lagi
Setitik air turun mengenai bukunya membuat dia memandang langit yang kini telah gelap. Dia tersenyum sembari kembali menggoreskan tinta pada bukunya tanpa memedulikan hujan yang akan mengguyurnya.
Hati gue bertanya apakah lo masih mengingat awal pertemuan kita?
Otak menertawakan kebodohan hati gue yang masih berharap kepada lo
Hati gue slalu sadar di antara gue dan lo 'tak akan pernah ada kata 'kita'
Dia tersenyum getir melihat kata-kata yang dia tulis di buku hariannya. Dia menarik napas dalam sembari menatap langit gelap yang menjatuhkan rintikan air.
"Gue gak boleh kayak gini. Gue harus bisa melupakannya demi Dad. Gue harap David bisa membantu gue," gumam Cia.