Chapter 3

2243 Words
Selamat membaca "Ano cuci kaki sama tangan dulu sebelum ganti baju dulu. Terus habis itu langsung makan, ya. Nanti kalau udah makanannya turun, baru tidur siang, oke? Mama sekarang harus balik ke kantor lagi," tutur Giska setelah mengantar Vano masuk ke dalam rumah. Vano hanya mengangguk kecil dengan raut wajah murung karena sedari tadi terus kepikiran tentang Yura. "Mbak, tolong bantu anak saya ganti baju, ya. Soalnya saya harus pergi sekarang," suruh Giska kepada salah satu asisten rumah tangga yang muncul ketika mendengar suara pintu terbuka. "Baik, Bu," sahutnya sopan. "Ya udah, Ano baik-baik di rumah, ya? Mama kerja dulu," pamit Giska mencium pipi Vano sebelum pergi dari rumah Arka dan kembali ke kantor untuk melayani nasabah. "Ayo Mas Ano ganti baju dulu. Nanti habis itu makan siang," tutur Sita lembut sembari membawa Vano ke kamar mandi untuk mencuci kaki dan tangannya lebih dulu sebelum berganti pakaian. Setelah selesai memakai baju rumah, Vano duduk di sofa ruang keluarga sembari menonton kartun kesukaannya. Sita menghampiri Vano sembari membawa sepiring makanan dan segelas air putih untuk anak itu. "Mas Ano mau makan sendiri atau Mbak Sita suapin?" tanyanya ramah. "Aku mau makan sendiri aja, Mbak," sahut Vano ringan. Sita kemudian menaruh piring dan gelas tersebut di atas meja kaca depan Vano. "Ya udah, kalau gitu Mbak Sita ke belakang mau gosok baju. Nanti kalau Mas Ano butuh apa-apa, panggil Mbak aja, ya?" pamit Sita lembut. "Iya, Mbak. Makasih," sahut Vano. Satu jam... Dua jam... Tiga jam... Empat jam... Sudah empat jam lebih Vano menunggu Yura, namun wanita itu masih tak kunjung pulang ke rumah. Padahal langit sudah hampir gelap, tetapi orang yang ditunggu-tunggu masih belum muncul juga. Bahkan Vano sampai ketiduran di sofa karena menunggu Yura. Anak kecil itu berharap Yura sudah berada di rumah ketika dia terbangun. Namun saat dia membuka mata, dia sama sekali tidak melihat tanda-tanda keberadaan Yura. Vano terbangun dan melihat ke sekelilingnya. Tidak ada satu pun orang yang berada di sana. Kemudian dia turun dari sofa, dan naik ke lantai atas menuju kamar Yura. Tangan kecilnya perlahan menekan ganggang pintu dengan ragu. Tetapi setelah pintu terbuka, dia tidak menemukan Yura berada di kamarnya. Raut wajah Vano seketika memerah seperti ingin menangis. Ada perasaan aneh yang mengganjal di hati anak kecil tersebut ketika mendapati Yura tak kunjung pulang ke rumah di saat hari sudah berganti sore. Vano kemudian turun dan mencari Sita ke belakang. "Mbak Sita!" seru Vano parau. Sita yang mendengar Vano memanggilnya dengan suara serak segera meninggalkan pekerjaannya dan berlari ke arah sumber suara tersebut karena khawatir dengan Vano. "Ya ampun! Mas Vano kenapa nangis?" tanyanya terkejut ketika mendapati raut wajah Vano sudah sembab dan basah dengan air mata. Padahal anak majikannya itu sedari kecil jarang sekali menangis, meskipun terjatuh sekalipun. "Bunda kenapa belum pulang, Mbak?" tanya Vano parau dengan raut wajah yang terlihat sangat cemas. Sita terlihat bingung karena dia sendiri juga tidak tau ke mana perginya Yura. Majikannya itu hanya mengatakan jika akan pergi ke klinik sebentar sebelum menjemput Vano. Tetapi saat siang hari, Vano justru pulang bersama dengan ibu kandungnya, bukan dengan Yura. "Emm ... coba sebentar Mbak Sita telfon bunda dulu," ujar Sita mencoba menenangkan Vano, lalu bergegas ke kamar untuk mengambil ponsel. Namun ketika dia mencoba menelepon Yura, nomor telepon Yura sama sekali tidak bisa dihubungi. Sita pun semakin panik karena Vano terus menanyakan tentang Yura. Sedangkan dia sudah berkali-kali menghubungi Yura, tetapi tidak tersambung. Akhirnya Sita memutuskan untuk menelepon ke nomor Arka. "Iya? Kenapa, Mbak?" tanya Arka. "Itu ... Pak. Ini Mas Ano nangis nanyain ibu terus. Soalnya ibu belum pulang, Pak" ungkap Sita gugup. "Loh? Emang dia ke mana? Kok jam segini belum pulang." "Tadi ibu bilang mau ke klinik sebentar, sekalian nanti mau jemput Mas Ano kalau sudah selesai periksa. Tapi sampai sekarang ibu belum pulang juga. Nomornya juga nggak aktif, Pak. Saya sudah berkali-kali telfon ibu, tapi nggak bisa dihubungi," ungkap Sita resah. "Ya sudah, kamu tolong temenin Vano sebentar. Saya sudah di jalan, sebentar lagi sampai rumah." Setelah sambungan telepon berakhir, Arka langsung menginjak pedal gas dan menaikkan kecepatan mobil agar cepat sampai rumah. Beberapa saat kemudian, mobil Arka sudah tiba di halaman rumah. Dia segera keluar dari mobil dan bergegas masuk ke dalam. Lalu mendapati putranya duduk di sofa sembari menangis bersama dengan Sita yang tengah berusaha untuk menenangkannya. Vano yang melihat kedatangan Arka segera beranjak dari sofa dan berlari menghampiri Arka. "Papa!" panggil Vano parau dan memeluk pinggang Arka erat. Arka mengelus kepala Vano dengan sentuhan lembut, lalu mensejajarkan tingginya dengan Vano. Arka menatap wajah sembab putranya yang menangis sampai sesenggukan sejenak sebelum akhirnya dia mengusap air mata di pipi Vano. "Udah, jangan nangis. Kita cari bunda sekarang, ya?" tutur Arka dengan nada suara rendah. Vano mengangguk kecil sembari menangis dalam diam. Kemudian mereka berdua keluar dari rumah dan pergi bersama mencari Yura yang mendadak tidak bisa dihubungi. Dan tempat pertama yang ada di benak Arka adalah rumah mertuanya. Karena memang Yura sering pergi ke sana untuk mengunjungi orang tuanya, meskipun tanpa Arka dan Vano. Dan benar saja, dia menemukan mobil Yura berada di sana ketika dia telah tiba di halaman rumah kedua orang tua Yura. Di sana juga ada satu mobil yang terlihat tidak asing berada di sebelah mobil Yura. Arka mengajak Vano untuk turun dari mobil. Lalu dia berjalan memasuki rumah sembari menggandeng tangan Vano. "Assalamu'alaikum." Arka mengucap salam dengan sopan ketika masuk ke dalam rumah mertua. Dan langsung dijawab oleh semua orang yang berada di sana. "Wa'alaikumsalam," jawab mereka semua secara bersamaan sembari menoleh ke arah pintu. "Eh, ada Nak Arka sama Vano. Sini masuk," tutur Ratih ramah ketika mendapati menantu dan cucunya datang ke rumah. Arka mengangguk kecil sembari tersenyum, lalu dia segera berjalan menghampiri mertua yang tengah duduk di sofa dan mencium punggung tangan mereka dengan penuh hormat. Dia juga bersalaman dengan Guruh, serta Septi yang ternyata juga sedang bertamu di sana. "Ano, ayo salim sama Akung Uti," ujar Arka. Vano menatap Arka sejenak sebelum akhirnya menghampiri Ratih dan Setyo, lalu mencium punggung tangan kakek neneknya sama seperti yang Arka lakukan. "Anak pintar," puji Ratih tersenyum lebar sembari mengusap lembut puncak kepala Vano. Sedangkan Setyo tidak mengatakan apa pun dan tetap fokus menonton tv. Jangankan menyambut kedatangan Arka dan Vano dengan hangat. Bahkan untuk tersenyum saja, dia tidak pernah. Karena dari awal Setyo memang tidak pernah menyukai Arka. Dia bahkan sempat menolak dan tidak setuju dengan perjodohan itu. Setyo sama sekali tidak ikhlas jika putrinya harus menikah dengan Arka yang berstatus sebagai duda anak satu. Namun karena Guruh terus menyakinkan Setyo jika Arka adalah calon suami yang terbaik untuk Yura, akhirnya Setyo terpaksa merestui pernikahan tersebut. Meskipun sebenarnya dia masih belum bisa menerima jika putrinya harus menikah dengan Arka. Karena Setyo yakin Yura bisa mendapatkan pria yang jauh lebih baik untuk masa depannya dibandingkan dengan Arka. Kemudian Arka juga menyuruh Vano untuk mencium tangan Guruh dan Septi. "Salim sama Om Guruh dan Tante Septi juga." "Vano sekarang udah besar, ya. Lama nggak ketemu jadi tambah tinggi juga. Dulu padahal waktu ketemu Tante masih kecil," ujar Septi sumringah ketika Vano mencium punggung tangannya. "Ya kan umurnya nambah, Ma. Masa iya mau segitu terus badannya," celetuk Guruh. "Anak kita aja kalau diperhatikan juga tambah besar sebenarnya, cuma kita kurang memperhatikan. Apalagi setiap hari ketemu, jadi nggak sadar," sambungnya. Septi hanya cengengesan. "Oh iya ya." "Ini pulang kerja langsung ke sini?" tanya Guruh ketika mendapati adik ipar, sekaligus sahabatnya masih memakai pakaian kerja. "Iya, soalnya tadi Vano sudah nanyain Yura. Jadi aku langsung bawa Vano ke sini," sahut Arka ringan. Tatapan Vano beralih ke arah Yura yang tengah berada di ujung sana bersama dengan seorang anak laki-laki yang juga sepantaran dengannya. Yura tampak sibuk mengajari keponakannya menggambar sampai tidak menyambut kedatangan suami dan anaknya. Arka yang melihat arah pandangan Vano menyuruh putranya untuk menghampiri Yura. "Itu Bunda, kamu tadi nyari Bunda, kan?" Namun Vano terlihat ragu untuk menghampiri Yura yang terlihat tidak peduli dengan keberadaannya. "Tante! Aku udah bisa gambar singa," seru Wildan ceria sembari menoleh ke arah Yura dengan raut wajah berseri-seri. "Tuh kan, apa Tante bilang. Kamu pasti bisa kalau terus latihan," sahut Yura bangga ketika melihat hasil gambaran Wildan yang semakin hari bertambah bagus. Vano menatap sayu ke arah Yura yang terang-terangan mengabaikannya, dan lebih sibuk dengan Wildan. Ada kepingan menyesakkan yang bergelenyar di sudut hati anak itu ketika melihat kedekatan di antara Yura dan Wildan. "Ra! Ini loh suami sama anak kamu datang. Sini dulu lah, itu lanjutin aja nanti," suruh Guruh. Yura memasang raut wajah datar ketika kakaknya mulai mengoceh. Dia akhirnya beranjak dari kursi dan berjalan ke arah Arka yang masih berdiri di sana. "Duduk, Mas," ujarnya singkat. Arka sebenarnya ingin bertanya kepada Yura kenapa nomornya tidak bisa dihubungi, namun dia urungkan karena banyak orang di sana. Ditambah lagi, Arka tidak ingin membuat suasana menjadi tidak nyaman. "Kamu kenapa nggak ganti baju dulu sebelum ke sini?" tukas Yura. "Tadi Vano nangis nyari kamu karena kamu belum pulang. Jadi aku langsung ke sini setelah pulang kerja," jawab Arka tenang. Yura hanya melirik sekilas ke arah Vano dan tidak mengatakan apa pun. "Nah! Itu makan malamnya sudah siap. Ayo semuanya pada makan dulu," ujar Ratih ketika melihat asisten rumah tangganya tengah menyajikan makanan di meja makan. Kemudian Ratih beranjak dari sofa dan berjalan menuju meja makan. Lalu menyuruh semua orang untuk pindah ke ruang makan. "Wildan, ayo makan dulu," ujar Septi menghampiri putranya yang masih sibuk menggambar. "Nggak mau! Aku mau gambar hewan sama Tante Yura," tolak Wildan. "Iya, tapi tenaganya diisi dulu. Nanti Tante malah nggak mau gambar hewan lagi sama Wildan kalau nggak mau makan," bujuk Septi. "Pokoknya nggak mau makan!" teriak Wildan dengan raut wajah galak. Septi mengembuskan napas berat karena tidak tau harus dengan cara apa membujuk putranya untuk makan. Yura yang mendengar pembicaraan Septi dan Wildan berlalu pergi meninggalkan Arka, dan kembali menghampiri Wildan. "Wildan, ayo makan dulu. Tante suapin," tutur Yura. Raut wajah Wildan seketika berubah riang dan gembira. "Udah, Ra. Kamu nggak usah ngurus si Wildan, ini anak memang susah kalau disuruh makan. Mending kamu suapin Vano aja," ujar Septi. "Dia udah bisa makan sendiri kok, Mbak. Lagian dia juga nggak pernah mau aku suapin," pungkas Yura datar. Septi menatap Yura dan Arka secara bergantian ketika merasakan hawa di antara mereka berdua mulai terasa tidak nyaman. Raut wajah Vano terlihat murung ketika melihat Yura justru lebih mementingkan Wildan dibandingkan dirinya. "Yuk, kita makan dulu. Nanti Papa yang akan suapin Ano," tutur Arka dengan nada suara lembut sembari membawa Vano untuk ke ruang makan seakan mengerti apa yang tengah dirasakan putranya ketika melihat Yura justru lebih mengutamakan Wildan. Mereka semua pun menyantap makan malam sembari berbincang ringan. Sedangkan Yura dan Wildan tetap duduk di tempat yang digunakan untuk menggambar, karena kursi di meja makan tidak cukup. "Wildan, setelah selesai makan kita pulang, ya?" ujar Septi memperingatkan "Nggak mau! Aku mau di sini sama Tante Yura," tolak Wildan sembari memeluk Yura erat "Haduh, anak ini. Nanti pulangnya kemalaman, rumah kita kan jauh," keluh Septi. "Kita nginap di rumah Akung aja, Ma," pungkas Wildan "Eh, kok seenaknya sendiri," maki Septi. "Sudahlah, nggak apa-apa. Toh, besok juga hari Minggu. Biar Wildan tidur di sini sekali-kali," timpal Guruh. Septi lagi-lagi menghela napas berat. "Oh iya, Yura bilang malam ini ingin tidur di rumah Abi. Kamu sama Vano juga nginap saja di sini," ujar Guruh kepada Arka. "Aku sama Vano nggak bawa baju ganti. Ini aku juga belum mandi," sahut Arka ringan. "Di sini ada beberapa baju aku sama Wildan yang sengaja aku tinggal, jadi kamu sama Vano bisa pakai itu sementara," pungkas Guruh. Arka menoleh ke arah Vano. "Ano mau tidur di rumah Akung?" Vano hanya mengangguk kecil. Mereka berdua pun akhirnya juga ikut menginap di sana. Setelah selesai makan malam, mereka semua berkumpul dan berbincang-bincang di ruang keluarga. Kecuali Arka dan Vano yang tengah membersihkan diri. "Wil, ayo tidur. Udah jam sembilan malam," ajak Septi. "Aku mau tidur sama Tante Yura," balas Wildan polos tanpa dosa. Septi melotot tajam ke arah Wildan. "Nggak boleh! Aneh-aneh aja kamu. Tante Yura udah tidur sama om Arka dan Vano. Lagian kasurnya juga nggak cukup, kamu mau nyempil di mana, hem? Ganggu orang aja." "Aaaaa! Pokoknya mau tidur sama Tante!" rengek Wildan. "Wildan!" bentak Septi. "Udahlah, Mbak. Nggak apa-apa kalau Wildan mau tidur sama aku," tutur Yura ringan. "Nanti malah ganggu kamu, Ra," balas Septi. "Nggak bakalan, Mbak. Tenang saja," jawab Yura. Septi berdecak kesal. "Mama lain kali nggak mau ngajak kamu ke rumah Akung kalau nakal begini," ancam Septi dengan raut wajah garang. Namun Wildan sama sekali tidak menggubris ucapan Septi. Anak itu justru mengalihkan wajah ke arah lain dan tidak ingin melihat wajah Septi. "Dasar Krucil!" pekik Septi kesal dengan tingkah anaknya sendiri yang susah diatur. ***** Sementara orang-orang sudah masuk ke dalam kamar masing-masing, Yura dan Arka masih berada di depan kamar yang pernah Yura tempati sebelum menikah. "Kamar aku nggak cukup untuk berempat, jadi kamu sama Vano tidur di kamar tamu aja," tukas Yura tanpa ekspresi dan masuk ke dalam kamar sembari menggandeng tangan Wildan. Namun belum sempat Yura menekan ganggang pintu, lengannya sudah ditahan oleh Arka. "Kita perlu bicara," tukasnya dingin. Yura menatap tangan Arka yang mencengkram tangannya sejenak dan beralih menatap ke arah Arka datar. "Kamu ingin kita membicarakannya di depan anak kecil?" tukasnya seakan mengerti apa yang akan dibicarakan oleh Arka. Arka terdiam. Lalu perlahan melepaskan tangan Yura dari genggamannya dan membiarkan wanita itu masuk ke dalam kamar tanpa mengatakan sepatah kata pun. Sedangkan Vano hanya menatap punggung Yura dari belakang dengan tatapan terluka. TBC.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD