BAB 2 : (Seperti) Malam Pertama

1313 Words
Tidak ada yang ingin memulai. Mas Aiden tampak ragu-ragu meraih tanktop-ku, sementara aku sebagai wanita, tentunya memiliki gengsi tinggi. Tapi, gemas juga melihat Mas Aiden naik-turunin tangan karena segan. Maka, aku meraih kedua tangannya, menuntun ke ujung tank top. Tanpa perintah lagi, dia mulai mengangkat bajuku ke atas kepala. Mas Aiden menatap wajah dan tubuhku secara bergantian, membuat perasaan malu tiba-tiba muncul. Bibir bawah aku gigit untuk meredam malu, sekaligus menahan bahagia. Setelah sekian bulan akhirnya .... Tangan Mas Aiden melewati tubuhku, berhenti di punggung. Melepas kaitan besi di belakang sana dan membuat separuh tubuhku benar-benar bersih dari sehelai kain. Aku semakin menunduk dalam, tetapi sesekali menengadah untuk melihat responnya. Datar. Masih sama seperti Mas Aiden biasanya. Dalam keadaan seperti ini, Mas Aiden tidak lagi melakukan apa pun. Hanya diam memandang mata dan dadaku secara bergantian. Uh, aku gemas dengan sikap lamban pria ini. Maka, tangan pria itu aku raih, menempatkannya di depan dadaku. Dia tampak terkejut beberapa detik, lalu kembali normal. “Mas ....” Aku memanggil setengah merengek. Masa iya, semuanya harus aku yang berinisiatif sendiri? Pria itu memberikan rayuan apa yang aku butuhkan di d**a. Aku semakin menggigit bibir kuat saat sensasi unik menghampiri. Pipiku terasa panas karena saat tangan pria itu sibuk, ia malah fokus menatap mataku. Kemudian tersenyum simpul. “Kamu manis, kalau pipi merah begini,” ucapnya kemudian. Uh, dia juga manis dengan ucapannya barusan. Aku semakin gemas saja pada pria ini. Beberapa menit dia lakukan hanya dengan gerakan tadi, tanpa mau lebih. Aku sudah gelisah diliputi gairah. Tidak sadar, menempatkan kedua telapak tanganku di masing-masing wajahnya. Mendekatkan jarak kami, hingga embusan napasnya dapat aku hirup. Wangi mint, yang sangat menyegarkan. Kepalaku maju-mundur. Malu untuk memulai, segan untuk mundur. Bagaimanapun, kita sudah sejauh ini. Masa iya, harus gagal lagi karena gengsi? Ya sudahlah .... Tapi ... pria itu seperti mengerti kerisauan dalam diriku. Dia memiringkan kepalanya, dan langsung menyatukan bibir kami. Aku tentu saja terkejut saat benda kenyal menempel di bibir. Namun, ketika melihat Mas Aiden memejamkan mata, aku jadi terbius oleh wajahnya. Dia memang sempurna dalam soal fisik. Mataku ikut terpejam lembut mengikuti naluri. Tidak ada pergerakan. Awalnya, kami hanya saling diam. Barulah saat aku sedikit mundur, pria itu mau menahan tengkukku. Memagut lembut bibirku, dengan penekanan pas. Aku melingkarkan kedua tangan di lehernya, kemudian menjatuhkan diri secara perlahan di tempat tidur. Meski agak pasif, aku tetap mencoba membalas. Siapa yang tahu, pria yang selalu bilang 'tidak tertarik pada wanita' ini lumayan lihai dalam b******u. Semakin lama, semakin muncul sensasi tersendiri dalam diriku. Sesuatu yang terasa mendamba, menginginkan sentuhan lebih dari ini. Tubuhku gelisah, dan pria itu tetap tenang dengan permainan bibirnya. Tanganku berinisiatif sendiri, meraba kaus pria itu mencari ujungnya. Mengangkatnya dengan susah payah karena pria ini enggan beranjak. Aku pasrah, tidak mau lagi berusaha membuka bajunya. Sebagai ganti, tanganku menyelusup ke dalam kausnya untuk meraba-raba. Dadaku kian mendebar merasakan otot-otot keras pria di atasku ini. Suara dering ponsel memecah kegiatan kami. Mas Aiden buru-buru menyingkir, sementara aku kelimpungan. Seakan baru sadar dari alam mimpi. Napasku tersengal-sengal, dan kesulitan bangun. Mas Aiden membantu dengan menarik tanganku. Ponsel di atas meja aku raih dengan kesal. Aih, kapan lagi coba Mas Aiden bisa kelepasan begitu? Icon hijau aku geser, lalu menempelkan ponsel di telinga, seraya melirik Mas Aiden melalui ekor mata. Ia sibuk mengusap bibirnya yang memerah. Sialnya, itu malah membuatku tergoda. Teringat kejadian barusan. “Halo, Nduk?” “Ibu? Halo?” “Kamu besok sibuk?” “Nggak kok, Bu. Kenapa?” “Ibu mau ke tempatmu, mau ketemu Bu Haji Zaenab. Ibu boleh mampir ke rumahmu?” Ya Allah, Bu .... Besok kan bisa minta izinnya. Demi menjaga citra di depan Mas Aiden, aku tersenyum simpul dan tetap bersikap ramah. “Boleh, Bu. Ibu kabari Ayya aja ya kalau mau dijemput.” “Iya, Nduk. Makasih ya. Maaf, Ibu ganggu kamu malam-malam.” Ganggu banget Ibu. “Nggak papa, Bu.” “Ya udah. Kamu lanjut tidur, gih. Kebangun ya gara-gara Ibu telpon? Suaramu serak-serak gitu.” Aku langsung menutup mulut secara refleks dan melirik ke Mas Aiden yang bersikap santai. “Iya, Bu.” “Ya udah, Nduk. Assalamualaikum.” “Wa alaikumussalam.” Aku menjawab pelan. Bunyi sambungan ditutup sudah terdengar, tetapi aku masih enggan melepas ponsel di telinga. Mendadak saja canggung setelah pemanasan setengah jalan tadi. Lamban, aku meletakkan ponsel di meja, lalu melirik Mas Aiden yang juga menatapku—tepatnya di d**a. Aku tersipu malu dibuatnya. “Seperti yang saya bilang tadi, Ayya. Kamu jangan kecewa dengan hasil pemanasan kita. Tapi ... saya juga tidak bisa berbohong. Saya sama sekali tidak b*******h melihat kamu seperti ini, bahkan telanjang seperti tadi siang.” Mas Aiden tersenyum bersalah. “Maaf, tidak bisa memenuhi ekspektasi kamu.” Lalu ia berdiri, masuk ke kamar mandi, meninggalkanku sendiri. Rasanya ... jleb banget. Aku ditolak, secara terang-terangan. Secara jelas dia mengatakan bahwa tubuhku sama sekali tidak menarik. Kepalaku tertunduk. Benar-benar sesak dalam d**a mendengar ucapan pria itu tadi. Tambahan kata ‘maaf’ darinya menambah rasa sakit. Tank top aku pasang kembali, lalu berbaring malas di tempat tidur, membelakangi kamar mandi. Mata kemudian terpejam, mencoba mengabaikan segala sesuatu yang dilakukan Mas Aiden. Namun, aku sulit tidak acuh begitu saja. Setiap langkah kakinya yang mondar-mandir di belakangku, entah melakukan apa, selalu menarik perhatian. “Mas, berisik!” pekikku tanpa berbalik. Uh, cuman langkah kaki, tapi sudah bikin emosi. Aku mengambil bantal milik Mas Aiden dan menutupi telinga dengan itu. *** Seperti biasanya, aku bangun lebih awal. Namun, yang berbeda, aku tidak langsung mempersiapkan air hangat atau pakaian kerja Mas Aiden. Beberapa menit aku biarkan berlalu dengan menatap wajahnya yang kelewat tampan. Aish, seandainya pria ini pria normal .... Pandanganku turun ke bibirnya. Sedikit tebal berwarna merah muda. Sangat menggiurkan. Apalagi mengingat kejadian semalam ... perlakuannya benar-benar manis. Aku bahkan sangat yakin kami akan melakukan itu seandainya tidak ada telepon dari Ibu. Sependek pengetahuanku, hanya 2 yang membuat pria seperti ini: impoten dan g*y. Kalau impoten, aku agak ragu ya. Karena Mas Aiden ini dari keluarga kaya yang baik-baik. Meski tanpa seorang ibu, aku jamin hidupnya serba sehat. Bahkan, merokok pun tidak. Atau ... ada pemicu impoten lain yang tidak aku ketahui? Atau ... dia belok gitu? Tidak suka perempuan? Ludah aku teguk secara kasar. Masa gitu sih? Tapi hanya ini yang aku yakini 70%. Aku tidak tahu pergaulannya di luar sana bagaimana, karena setiap harinya, tugasku hanya sebagai ibu rumah tangga. Aku telentang, memikirkan sesuatu untuk mengetahui lebih dalam mengenai Mas Aiden. Aku sangat penasaran, karena pria ini hanya selalu bilang 'tidak b*******h' tanpa memberitahu penyebabnya. Suara alarm berdering nyaring. Aku terkejut dan tanpa sadar terjatuh dari tempat tidur. Saat hendak bangun, Mas Aiden sudah mengintip. “Kamu baik-baik saja, Ayya?” tanyanya khawatir. “Nggak ... papa.” P*ntatku nyut-nyutan. Tapi, Mas Aiden bisa telat kalau aku tidak menyiapkan perlengkapannya. Maka, sambil menahan sakit, aku menuju ke walk in closet. “Ayya, kamu bisa istirahat kalau masih merasa sakit.” “Nggak papa,” jawabku buru-buru. Hari Rabu ini, mana yang cocok dengan Mas Aiden? Aku memilih kemeja navy, dasi garis-garis, dan jas hitam. Untuk dalaman, pria itu yang akan mengurusnya. Aku menggantung pakaian-pakaian itu di depan lemari agar mudah ia ambil. Kembali ke kamar, Mas Aiden sudah turun. Aku merapikan tempat tidur. Uh, ini hanya jatuh dari tempat tidur, kenapa nyerinya sangat mengganggu? “Ayya, kamu istirahat saja. Saya bisa urus semuanya.” “Nggak papa.” Aku naik ke tempat tidur untuk merapikan bantal. “Tapi cara kamu jalan, bikin saya ngilu. Kamu seperti wanita yang habis diperawanin, Ayya.” Dia tertawa ringan dengan singgungan menohok itu. Aku melempar bantal dengan kesal ke arahnya. Tepat mengenai wajah Mas Aiden, membuat ia terdiam seketika. Saat ia akan membalas, aku segera kabur dari kamar. Di depan pintu kamar, aku berdiri. Sepertinya mulai hari ini, tugasku bukan hanya sebagai ibu rumah tangga. Aku juga harus menyelidiki suamiku. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD