PART. 3 CUCU YANG TAK DICINTAI

1436 Words
Rani menatap gedung-gedung tinggi yang mereka lewati, kepalanya sampai berputar, jika ia belum merasa puas dengan apa yang dilihatnya sambil lalu. Raja mengernyitkan kening. 'Apa selama di Jakarta, dia belum pernah dibawa ke luar dari rumah kakeknya? Dia persis orang gunung yang baru turun ke kota,' batin Raja keheranan dengan sikap Rani. "Rani!" Raja menepuk bahu Rani, yang meletakan dagunya di atas tangan. Tangannya bertumpu di jendela mobil yang terbuka. Rani memutar tubuh, ia menatap Raja sambil mengangkat alis, seakan bertanya ada apa? "Selama kamu tinggal di Jakarta, kamu belum pernah jalan-jalan?" Tanya Raja yang tak bisa menahan rasa penasarannya. Rani menjawab pertanyaan Raja dengan menggelengkan kepala. "Tidak pernah ke luar rumah kakekmu sama sekali?" Tanya Raja lagi. Kepala Rani menggeleng lagi. "Kenapa?" Raja semakin penasaran saja. Rani mengambil notes, dan pulpen dari dalam tas sandang kecil yang terlihat sudah sangat tua. Rani menuliskan jawaban atas pertanyaan Raja padanya. 'Kakek belum bisa menerima, kalau aku anak dari putrinya dengan mantan supirnya.' Rani memperlihatkan tulisannya pada Raja. Raja membaca tulisan Rani di dalam hatinya. "Kenapa?" Rani kembali menggoreskan pulpen di atas notes yang selalu dia bawa. 'Kakek masih marah, karena dulu Ayah membawa kabur Ibu.' Tulis Rani dengan cepat. Ia sudah terlatih untuk menulis dengan cepat sejak menjadi bisu. "Lalu kenapa kakek menikahkan kita?" Rasa penasaran di dalam hati Raja, semakin bertambah saja. 'Aku tidak tahu, mungkin kakek takut aku akan menyusahkan dirinya.' Tulis Rani cepat. Raja juga membaca dengan cepat. "Jadi Kakek ingin melepas tanggung jawabnya atas dirimu dengan menikahkan kita? Agar aku yang memegang tanggung jawab atas dirimu?" 'Tidak tahu.' Rani memperlihatkan tulisannya seraya menggelengkan kepala. Raja menghembuskan napas, dan menyandarkan punggung di sandaran jok mobil. Matanya melirik Rani yang sudah memasukan kembali notes, dan pulpen ke dalam tasnya. Rani kembali asik menikmati pemandangan belantara ibu kota yang mereka lewati. Seakan tak terganggu dengan perlakuan kakeknya yang terlihat jelas tidak menyayanginya. Tiba di rumah Pak Primus. Rani langsung menemui Ibunya, sementara Raja menemui ayahnya yang datang lebih dulu. Ada pengacara mereka, juga Pak Primus, beserta pengacara, dan dua orang kepercayaan beliau, juga beberapa orang lainnya yang berkepentingan dalam penandatanganan surat perjanjian. Mereka langsung masuk ke ruang kerja Pak Primus, untuk membicarakan kesepakatan mereka, tentang investasi yang akan dilakukan Pak Primus, pasca pernikahan Raja, dan Rani. Raja, dan ayahnya, sudah membaca poin-poin kesepakatan yang diajukan Pak Primus sebelumnya. Salah satu poinnya adalah, jika terjadi perceraian, maka semua uang yang diinvestasikan harus dikembalikan. Penandatanganan kesepakatan sudah dilakukan. Pak Primus tidak mengatakan, atau berpesan apapun kepada Raja yang ada kaitannya dengan Rani, cucunya. 'Apa kakek tidak menyayangi Rani? Apa kakek tidak menganggap Rani cucunya? Tapi kenapa beliau harus bersusah payah melakukan semua ini, jika beliau tidak menyayangi Rani?' batin Raja, yang sungguh penasaran dengan isi hati kakeknya Rani. Sementara itu Rani tengah bersimpuh di lantai, ia memijit kaki Ibunya yang duduk di atas kursi roda. Peristiwa tanah longsor itu menyisakan begitu banyak kesedihan bagi mereka. Kehilangan orang-orang yang mereka sayangi. Kehilangan tempat tinggal mereka. Kehilangan kebun, sawah, dan ternak mereka. Kehilangan tawa canda anggota keluarga mereka. Rani menatap wajah Ibunya, ia tahu saat ini Ibunya tidak sedang dalam kesadaran penuh. Itu terlihat jelas dari senyum manis yang terukir di bibir, juga tatapan yang penuh cinta, padahal hanya dinding kamar yang menjadi objek pandangannya. "Aku sudah buatkan kopi, dan pisang goreng untukmu, Mas, pisang goreng cinta," lirih terdengar suara ibunya berbicara. Kalimat itu kerap kali diucapkan ibunya, saat ayahnya baru pulang dari bekerja. "Capek ya, Mas, nanti aku pijitin ya." Kembali terdengar suara lirih ibunya. Rani menangis tanpa suara, ia meremas baju di bagian dadanya. Dadanya terasa sangat sesak, setiap kali ibunya begini, ia tidak pernah bisa menahan air mata. "Mbak, suruh adik-adikmu mandi!" Seru ibunya dengan suara yang lantang. Itu perintah ibunya setiap sore, saat adik-adiknya masih bermain di luar rumah sedang hari mulai menjelang sore. Rani semakin kuat meremas baju di bagian dadanya. Hidup mereka yang sederhana di kampung, memang terlalu indah untuk dilupakan. Mereka memang tidak hidup bergelimang harta, tapi mereka hidup bergelimang kasih sayang, dan cinta. Sangat berbeda dengan di rumah kakeknya. Rani tidak merasakan kehangatan kasih sayang, dan cinta di rumah mewah ini, yang ada hanya kehampaan, basa-basi, juga kecemasan. Ia juga sadar, kalau ia pun tidak bisa mengharapkan rumah Raja sebagai rumah yang penuh kehangatan. Pernikahan mereka hanya urusan uang semata, pondasi rapuh untuk sebuah bangunan bernama rumah tangga. Apa lagi tanpa ada rasa cinta, seperti rumah tangga yang dibangun oleh ayah, dan ibunya. "Mbak, kalau sudah selesai makan, bantu Ibu untuk mengantar makanan ayah ya." Ibunya masih berbicara sendiri, kalimat yang diucapkan adalah apa yang sering dikatakan, saat mereka masih di kampung dulu. Pintu kamar ibunya terbuka, orang yang merawat ibunya masuk ke dalam kamar. "Waktunya Bu Lina untuk minum obat," kata wanita bernama Bu Manda itu lembut. Bu Manda adalah orang yang dikirim dokter Rahmat untuk membantu kesembuhan Bu Lina. Bu Manda tinggal di rumah ini bersama mereka, sampai Bu Lina bisa sehat kembali seperti semula. Rani mengambil notes, dan polpen dari dalam tasnya. 'Terima kasih, Bu Manda sudah membantu menjaga ibu saya,' tulisnya. Bu Manda tersenyum, lalu membelai rambut Rani lembut. "Ibu berdoa untuk kebahagiaan rumah tanggamu Rani." 'Terima kasih, Bu' tulis Rani, air mata kembali jatuh di pipinya, Bu Manda menghapus air mata itu dengan lembut. Meski mereka baru saling kenal, tapi Rani merasa nyaman berada di dekat Bu Manda. " Rani POV "Rani!" Kudengar suara Raja di luar pintu, ia mengetuk pintu kamar ibu. Pintu kubuka perlahan, Raja berdiri di depan pintu. "Aku mau ke kantor dulu, nanti sore aku jemput kamu." Raja seperti berteriak di depanku, mungkin dia pikir karena aku tidak bisa bicara, aku juga kurang bisa mendengar. Aku hanya menjawab ucapan Raja dengan anggukan kepala. Raja berlalu tanpa berkata-kata lagi. Aku kembali menutup pintu kamar ibu. Ibu tengah tertidur, aku menatap wajah ibu. 'Ibu cantik, sangat cantik! Wajah ibu mirip almarhumah nenek, sedang aku mirip ayah. Ayah ....' Aku menangis dalam diam, teringat akan ayah, selalu membuatku tak sanggup menahan air mata. Ayahku yang gagah. Ayahku yang ganteng. Ayahku yang humoris. Ayahku yang romantis. Ayahku yang penyayang. Ayahku yang penuh perhatian. Tidak salah jika ibu lebih memilih pergi mengikuti ayah, meski ayah tidak bisa memberikan kemewahan, tapi ia mampu memberikan cinta yang luar biasa. Cinta yang membuat hidup kami bahagia. Cinta yang membuat hidup kami penuh keindahan warna. Cinta yang membuat kami memahami arti hidup sesungguhnya. Aku pernah berharap memiliki seseorang seperti ayah dalam hidupku, tapi itu hanyalah tinggal harapan. Pernikahan yang dilatari oleh alasan bisnis, membuatku harus mengubur dalam harapanku. Mungkin kakek melakukan ini untuk menumpahkan kemarahannya pada ayahku. Kakek ingin membalas sakit hati pada ayah lewat diriku. Meski di depan ibu, kakek memuji Raja setinggi langit, tapi aku tahu, kalau Raja bukanlah lelaki setia seperti ayah. Bik Munah, satu-satunya asisten rumah tangga kakek yang mau bercerita banyak hal kepadaku, yang sudah menceritakan, seperti apa Raja sesungguhnya. Aku menyadari, kalau kami adalah dua orang yang sangat berbeda, yang tidak akan pernah bisa menjadi satu. Aku tidak ingin berusaha mengambil hatinya. Aku tidak ingin berusaha merubah diriku untuknya. Pernikahan ini hanya sandiwara, dan biarlah akan tetap begitu selamanya. * Raja POV Aku benar-benar penasaran dengan perasaan kakek pada Rani Apakah beliau menyayanginya, atau tidak? Hhhh ini benar-benar membingungkan! Untuk apa aku memikirkan itu, itu hal tidak pentingkan!? Yang penting perusahaan kami sudah mendapatkan dana untuk memperbesar jaringan usaha kami, soal yang lainnya tidaklah penting. Apalagi persoalan gadis kampung itu. Hari ini banyak hal yang harus aku lakukan, banyak pekerjaan menunggu, aku harus fokus agar dana yang kami dapat bisa menghasilkan sesuatu yang maksimal. Suara ponselku membuyarkan konsentrasi, dalam memeriksa laporan yang masuk ke meja kerjaku. Kulihat nomer tidak dikenal tertera sebagai penelpon di seberang sana. Siapa yang menelpon, apa Rani? Rani! Dia tidak bisa bicara, dan kenapa juga aku berpikir kalau dia yang menelponku. "Hallo, siapa ini?" "Yaaang, aku Vonny! Ponselku hilang, ini nomer baruku, kita ketemuan hari ini ya!" "Maaf, Vonny, aku tidak bisa, aku banyak pekerjaan, nanti malam saja kita bertemu ya, kita makan malam" "Iya deh." "Sudah dulu ya, bye!" "Bye, Sayang!" Huuhhh! Kadang aku merasa bosan juga hidup seperti ini, dengan rutinitas yang tidak ada habisnya. Tapi mau bagaimana lagi, inilah hidup yang harus aku jalani. Untungnya aku masih memiliki gadis-gadisku, atau mungkin tepatnya wanita-wanitaku, karena aku menyangsikan kegadisan mereka, mereka yang membuat hariku tidak terlalu membosankan. Salah satu dari wanitaku itu adalah Vonny. Aku mengenalnya sejak dua tahun lalu, usianya baru dua puluh empat tahun, dia seorang pengusaha salon kecantikan. Soal kecantikan, jangan diragukan lagi, bagai langit, dan bumi dengan dengan gadis kampung bernama Rani itu. Rani! Hhhh kenapa aku jadi ingat dia!? Fokus, Raja, fokus pada pekerjaanmu sekarang. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD