Kisah 2. Seret Jodoh

1236 Words
“Sugeng,” sahut wanita yang begitu mirip dengan Rochina, mendesah. “Lama banget. Dari mana aja?” “Ini hari apa, Mbakyu? Sabtu, macet! Ini juga udah dari jam 7 aku jalan.” Seorang pria dengan rambut terlalu banyak di wajahnya. Matanya agak sipit dengan kerut-kerut di ujungnya. Juga di pertemuan alisnya. Lalu, di kedua ujung bibirnya. Perpaduan orang yang suka merengut dan tersenyum? Rochina ingat sosoknya, tetapi tidak pernah bisa benar-benar dekat dengan pria itu. Ada sesuatu dalam dirinya yang sedikit menakutkan Rochina. Sugeng menatap Rochina, tersenyum dengan mata hampir menghilang. “Udah tua aja lu, Ro,” sahutnya. Biar Rochina tahu tidak ada maksud buruk, hatinya sedikit tersayat oleh keterusterangannya. Tua? Tidakkah dia bisa sedikit memperhalusnya dengan kata ‘dewasa,’ misal? “Udah lama nggak ke sini, ya.” Dia memperhatikan rumah sambil tersenyum mengenang. Beberapa ruangan telah dimodifikasi. Perabot telah berganti posisi, tetapi mereka masih mempertahankan yang lama. “Ro, bikin minum,” tegur ibunya, melihat ketidaksigapan Rochina. Rochina mengangkat bahu. Melirik sebentar sosok pria bertubuh cukup tinggi itu, Rochina merasakan aura yang agak janggal. Ia menyingkirkan pikiran-pikiran aneh, lalu menuju ke dapur.   Saat ia selesai membuatkan minuman, keduanya telah duduk berhadapan. Membicarakannya. Rochina mengeluh dalam hati. Rupanya sang ibu serius. Tapi, apa hubungannya dengan Om Sugeng? Ketika ia menaruh gelas, keduanya memandang dengan khawatir. Sugeng lebih lagi. Tatapannya agak aneh, seolah ingin menelanjanginya. Dia menghela napas. Rochina mengernyit melihat raut wajahnya berubah menjadi muram. “Ro, duduk sini. Om mau ngomong.” Rochina agak jengah dengan permintaan itu. Ia mengantuk dan belum tidur hampir 48 jam. Cukup membuat hati siapapun berdenyut dengan penuh emosi. “Coba cerita, pertama kali kamu pacaran.” Rochina membelalakkan mata kepada ibunya, tetapi wanita itu balas melotot. Mendesak Rochina menurut. Wanita muda itu menghela napas, lalu memberanikan diri menantang mata Sugeng. Sugeng paham tentang keberatannya, “Ro, Om nggak mau ngurusin masalah pribadi kamu, tapi Om perlu tahu beberapa hal. Karena bisa jadi kamu diganggu orang.” “Maksudnya?” cetus Rochina mengelak. Diganggu? Dia tak pernah merasa ada yang mengganggu. Yah, kecuali kalau maksud omnya adalah wanita ketiga yang dengan genit merayu Dimas, pacar terakhirnya sebelum mereka putus. “Makhluk ghaib,” desis Sugeng, seolah sengaja memberikan kesan mistis dalam suaranya. “Yang bener aja?” Spontan, Rochina mendengus tak percaya. Baru ia ingat, ia berhadapan dengan adik ibunya. Ia mengerutkan keningnya. "Maaf, Om. Kaget Ro dengernya.” Sugeng tersenyum. “Ya, wajar. Kamu di sini, tinggal di daerah perkotaan. Jadi dokter pula. Tapi, jin itu nyata, Ro. Dia yang suka dijadiian media sama orang-orang jahat.” “Orang ... jahat?” “Dukun santet.” Bulu kuduk Rochina meremang. Lebih karena cara Sugeng menyampaikan setiap informasi meresahkan itu. Wanita muda itu tidak pernah terlalu memikirkan tentang hal-hal ghaib. Baiklah, di agamanya memang diajarkan tentang jin dan makhluk-makhluk tak kasat mata. Bahkan, yang baik seperti malaikat. Tapi ... santet? Di kota Jakarta yang gemerlap dengan bisnis industri dan hedonisme ini? “Om, Ro bukannya nggak percaya. Tapi, ini 'kan, Jakarta.” “Namanya juga kekuatan ghaib. Nggak terbatas sama apapun, kecuali Alloh.” Sugeng mengedikkan bahu.  Rochina mengerutkan dahinya, bergantian memandang ibunya, omnya, serta kakinya sendiri. Dia tidak merasakan apapun, tidak sakit, tidak ada kejanggalan apapun. Ini lelucon. Lelucon dengan selera humor yang buruk. “Kamu mikir ini konyol? Cuma lelucon? Tapi, banyak kasus yang bukan lelucon, Ro. Mungkin di Jakarta udah jarang, tapi bukannya nggak ada.” “Ro, udah. Ikutin aja apa kata Om Sugeng. Nggak ada ruginya toh, buat kamu?” “Ya ....” Rochina menghela napas. “Trus, gimana?” “Kalo kamu nggak mau cerita, nggak apa-apa. Kita bikin upacara sedikit.” “Upacara?” Firasat buruk Rochina tidak mempermainkannya. Ia disuruh memakai kain batik milik ibunya. Mungkin keramat, entahlah, dia tidak tahu. Walaupun tidak membuka baju, kain batik itu dililitkan hingga ke dadanya. Ia tidak bisa menutupi ketidakpercayaan dan kejengahannya. Benar-benar tidak masuk akal dia melakukan ini. Di abad ke-21! Saat robot-robot terprogram sudah mulai menggantikan manusia! Ibunya paham dengan pemberontakan diam-diamnya, lalu menjawil di pundak. Berbisik, “Ro, denger baik-baik!” Rochina lantas hanya bisa puas dengan menghela napas, lalu memasrahkan diri. Membuang benar-benar pikiran-pikiran buruk dan sinisme yang berputar di kepalanya. Wajah Dimas di foto tersenyum, tetapi senyum itu terasa mengejek sekarang. Perasaannya mengelam. Padahal, ia mengharapkan kemapanan masa depan dengan pria itu. Apa mungkin karena pekerjaannya? Rasa hangat menjalar di pelupuk matanya. Rochina segera membuka lebar-lebar matanya, mencegah linangan air mata. Tidak di depan Om Sugeng! Foto itu diletakkan dengan lurus, tepat di hadapan Rochina. Benar-benar tidak punya hati omnya ini, ia ingin sekali berteriak begitu. Foto salah satu sang mantan rupanya diperlukan untuk membantu upacara. Upacara apa? Tidak tahu, upacara yang Rochina tahu hanya upacara bendera waktu sekolah. Kalaulah memang harus ada upacara, harusnya upacara untuk menyantet pria yang ada di foto itu sekalian! Sekilas Rochina menyangka bahwa Sugeng akan menjampi-jampi atau menarikan suatu gerakan-gerakan yang lebih mirip silat. Biasanya, begitu yang terjadi di reality show tentang dunia ghaib. Tetapi, tidak. Ia hanya duduk di hadapan Rochina. Tidak mensyaratkan apapun kepada keponakannya. Ia lalu menutup mata, pertemuan alisnya berkerut. Oh, rupanya itu penyebabnya. Rochina memang merasa kerutan di alis itu terlalu jelas. Rochina terkesiap sekilas. Ada sesuatu yang merasuki badannya. Semacam energi yang membuat tubuhnya sedikit kesemutan. Ia hampir membuka mulut untuk bertanya, tapi omnya tampak berkonsentrasi. Rochina bergidik, jadi tak berani bergerak. Apa ini yang bergerak menggeliat di badannya? Wanita muda itu memejamkan mata erat, membaca-baca ayat Qur’an, apapun yang terlintas pertama di benaknya. Takut. Sesuatu yang tidak bisa dijelaskan selalu menakutkan. Tiba-tiba ia mendengar helaan napas. Membuka mata, omnya ternyata juga telah selesai mengadakan upacara, setidaknya itu yang diyakini Rochina. Ia menatap langit-langit rumah sejenak, seperti mencari jawaban di atas sana. Hampir Rochina tergoda untuk melakukan hal yang sama. Mungkin ada semacam contekan di atas situ? Sugeng mengembalikan pikirannya ke atas bumi. Ia lalu berujar, “tolong ... minum, Mbakyu.” “Ah, iya!” Rochina baru menyadari ayahnya telah turut dalam upacara itu, saat ia menegur Sugeng, “kamu nggak apa-apa, toh?” sembari meremas bahu adik iparnya. Sugeng mengangguk-angguk seraya tersenyum meyakinkan. Rochina menelan ludah. Belum benar-benar berani bergerak. Ia masih merasakan kesemutan di tubuhnya. Apa yang dilakukan Sugeng terhadapnya? Matanya menatap pria di depannya dengan waspada. “Ro? Kamu nggak apa-apa?” Teguran dari papinya menyadarkannya. Perlahan, ia menguatkan diri untuk menggerakkan tubuhnya. Rasanya seperti baru saja keluar dari dekapan laut menuju langit dengan udara yang bebas. Rochina mulai mengatur irama napas dari dadanya yang terasa sesak. Nareswari menyorongkan segelas besar air putih kepada adiknya. Sekali tenggak, cairan itu tandas tak bersisa. “Makasih, Mbakyu.” “Trus gimana, Geng?” “Mbakyu, emang ada masalah. Ada kekuatan ghaib yang bikin Rochina seret jodoh.” Rochina merasa terganggu dengan istilah yang rasanya mirip sembelit itu. Tidakkah orang tuanya memahami agama dan prinsip ketuhanan? Apa artinya ‘kehendak Tuhan’ kalau mereka malah mencari-cari alasan lain untuk masalah ini? Rochina tak habis pikir. Namun, ia bergidik, rasa dingin menjalar di tubuhnya. Yang ia rasakan sesaat lalu pasti hanya sugesti, pasti! “Bogor.” “Hah?” “Kamu coba pergi ke Bogor.” Rochina mengangkat alis. Kedua orang tuanya saling berpandangan, lalu menatapnya. Kekuatannya luar biasa, hanya dengan mata mereka menuntut dan mendesak. Rochina bergantian menatap mereka, mulutnya terbuka, ingin sekali berkata tidak, tapi tidak mungkin dengan tiga orang keras kepala di hadapannya. Ia mengerang. Kalah.                                                                                       ***   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD