Chapter 3: The Ether Dome

742 Words
Aku ingin tahu suara apa yang dihasilkan saat aku membenturkan kaca ini ke sisi kepalanya. Ini adalah kaca yang tebal. Potensi mengalami geger otak sangat besar. Aku ingin tau apakah kepalanya akan berdarah? Di pojok ruangan ada serbet tetapi kainnya tidak cukup bagus untuk bisa menyerap banyak darah. "Aku tidak menyangka kau mengetahuinya secepat ini, Lisa," katanya. "Sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan jatuh juga, pernah dengar peribahasa itu? Sama seperti dirimu, penipu akan tertangkap dengan sendirinya" jawabku. "Sungguh, aku khilaf. Tak bisakah kita berdamai demi putri kecilku? Dia tak mungkin tumbuh besar dan mengetahui bahwa ibu dan ayahnya tidak bersama lagi" kilahnya. Suaranya menyebabkan cengkeramanku mengencang di sekitar kaca yang kupegangi dengan harapan bahwa kaca itu tetap berada di tanganku dan tidak berakhir di sisi tengkoraknya. Dia berdeham dan mencoba untuk mencairkan suasana, tetapi aku masih sakit hati dengan perkataannya. "Apakah kamu ingin mengatakan sesuatu?" tanyaku kepadanya. Aku menusuk bagian es batu yang berlubang dengan sedotan dan membayangkan ini adalah kepalanya. "Apa yang harus aku katakan?" Tanyanya balik. Aku bergumam dan tersenyum licik, lalu berkata, "Apakah Anda ingin Saya mengucapkan selamat atas gadis simpanan Anda atau sepotong pizza yang dimakan berdua saat tengah malam? Saya tidak mungkin memaafkan kesalahan Anda, sebagai seorang ayah dari putriku" ucapku formal. Aku menegakkan badanku hingga tulang belakangku berbunyi 'krek', dengan tangan dilipat di d**a. Aku menatapnya dengan seksama untuk melihat apakah ada penyesalan di matanya atau dia hanya berakting. Baru beberapa menit setelahnya, dia membalikkan badan dan membiarkanku menatap punggungnya yang lebar. Aku dibiarkan menjadi penonton. Lama tak ada suara, jarinya mengetuk-ngetuk sisi cangkir kopinya saat melihatku diam Tap tap tap Tap tap tap Tap tap tap Dia pikir aku akhirnya akan menyerah dan mengatakan kepadanya apa yang ingin ia dengar, tetapi dia lupa bahwa dialah yang menciptakan jarak diantara kami dan lupa bahwa aku bukan gadis kecilnya lagi. "Aku tau kau sangat mencintaiku, Lisa. Kita sudah bersama selama 8 tahun, apakah semudah itu menyingkirkanku dari hidupmu?" Aku menggelengkan kepalaku dengan cepat, "Mencintaimu?" Dia mengendikkan kedua bahunya, dan tersenyum ke arahku dengan wajah yang menjengkelkan. "Saya tidak menyangka bisa jatuh hati untuk yang kedua kalinya, sungguh" katanya. "Apa yang sudah gadis itu berikan kepadamu sehingga kamu begitu mencintainya?" kataku, agak getir. Senyumnya menghilang, dan dia bersandar memiringkan kepalanya ke samping. "Tampaknya Anda sedang merenungkan sesuatu yang menyedihkan dan sangat emosional. Sedih, penyesalan, dan permintaan maaf. Pergilah ke gereja dan berdoalah atas dosa yang kau perbuat belakangan ini" ujarku. "Menurutmu aku tidak pantas disebut sebagai seorang ayah?" Dia terdengar tersinggung dengan perkataanku. "Menurutmu apa kau pantas? Kau bahkan tidak menemaniku saat aku dan putriku hampir mati di jalan. Terlalu sibuk bersama simpananmu, eh?" Aku menjawabnya sembari menusukkan es batu tersebut lebih dalam dan memasukkan potongan es ke dalam mulutku. Aku mengigitnya dan tak memperdulikan reaksinya. Dia mendudukkan diri dan menatapku balik, "Mengapa kau bersikap seperti ini?". Aku menatapnya nyalang, lalu bertanya balik "Bukannya seharusnya aku yang bertanya?" tanyaku. "Apakah kau masih kesal karena aku tak menemanimu di rumah sakit malam itu? Aku sungguh menyesal karena tidak menjawab panggilanmu malam itu. Aku tak bersamanya malam itu, tetapi kembali ke kantor karena ada meeting penting" jelasnya. "Tidak," jawabku datar. "Aku tidak memintamu untuk menemaniku, aku hanya ingin kau tahu bahwa putri kita dalam bahaya dan hampir mati bahkan sebelum ia melihat kedua orangtuanya" Dia menghembuskan nafas panjang lalu memegang kedua tanganku, "Maaf, maaf, maaf" katanya."Lalu? Apa yang kamu harapkan?" Tanyaku. "Bisakah kau memberikanku kesempatan kedua?" Katanya. "Tidak," kataku. "Tetapi, kau bisa menjadi ayah yang baik untuk putriku". Dia memutar matanya, "Aku juga akan belajar menjadi suami yang baik untukmu, Lisa." Jawabnya. Sangat tidak bersyukur, pikirku. "Aku butuh 1 tahun untuk bisa memutuskan kita tetap bersama atau tidak. Aku tidak dalam kondisi emosional yang baik saat ini untuk memutuskan dan Aku tau bahwa Anda tidak mempunyai alasan yang kuat mengapa Anda memintaku untuk tetap tinggal dan hidup bersamamu, bukan?" Jelasku. "Kau boleh kembali ke rumah malam ini, jadilah ayah yang baik atau kau tidak melihat putrimu lagi" Setelah mengatakan hal tersebut, dia pulang ke apartemennya untuk mengemas barang-barang yang akan di bawa kembali ke rumah kami. Kami menyadari bahwa kami sedang berada di titik terendah kehidupan pernikahan dan merasa jenuh. Kami saling mencintai, tetapi kami tidak mencintai kehidupan pernikahan kami. Aku senang, bisa memutuskan semuanya dengan baik tanpa perlu melukai tanganku seperti yang kulakukan pada Felicia dua minggu yang lalu. Aku berharap pernikahan kami akan lebih sehat setelah perselingkuhannya. Dia berjanji untuk tidak menghubunginya lagi, tidak ada yang tahu bukan?

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD