“Pak,” panggilnya pelan. “Hmm?” “Lepas,” bisiknya. “Saya kira kamu nyaman dengan sedikit pelukan,” gumam Ardika tenang. Ardika menurut. Pelukan itu mengendur, memberi ruang bagi Sanya untuk bernapas lebih lega. Sanya mengangkat wajahnya hingga pandangan mereka bertemu. Sanya menggigit bibir bawahnya. Ardika duduk, menekan tombol hingga sandaran sofa Sanya kembali tegak—membuat tubuhnya terpaksa ikut menegak. Lalu tangan lelaki itu terulur, meraih tangan kanan Sanya, menatapnya lama. Tangan itu tak lagi gemetaran. Jemarinya mengusap lembut punggung tangan wanita itu. “Teman saya seorang dokter ortopedi—” “Pak,” potong Sanya, dengan nada merajuk yang terdengar manja. Kemarin bilang punya teman psikolog, sekarang ortopedi. Banyak sekali temannya, batinnya jengah. Ardika mengembuskan n

