“Sanya nggak bisa menerima perjodohan ini, Ma. Sanya menganggap Yuji itu sudah seperti kakak sendiri.”
“Baguslah. Kamu dan Yuji sudah saling mengenal sejak lama. Tenang saja, Sayang. Mama dan Papa tahu yang terbaik buat kamu.”
Nyatanya, mengenal seseorang selama bertahun-tahun tidak selalu berarti benar-benar memahami dan mengenalnya.
Sanya mengusap pipinya yang memerah karena bekas tamparan dari lelaki di hadapannya.
Sanya Hanami, putri tunggal pengusaha ternama Vexburg, Taro Isagi. Hidupnya ditata sedemikian rupa, membentuk citra sempurna sesuai bebet dan bobot keluarga besar Isagi. Ia terpaksa harus menerima perjodohan dirinya dengan Yuji, anak dari sahabat kedua orang tuanya, lelaki yang latar belakang keluarganya sudah jelas dan terpandang.
“Sekali lagi aku lihat kamu dekat dengan lelaki itu, dia akan mati di tanganku,” ujar Yuji, tunangannya.
Cemburu buta, emosi yang tak terkendali—itulah Yuji Wistara. Hubungan yang telah berjalan dua tahun ini terasa menyesakkan. Alih-alih cinta, yang tampak dari Yuji hanyalah obsesi.
Tatapan penuh amarah itu seketika melunak saat melihat air mata yang menggenang di mata sang tunangan. Sekali mengedipkan matanya, yakin sekali air mata itu akan tumpah. Yuji melangkah mendekat, sementara Sanya mundur menghindar.
“Aku akan ke luar kota selama tiga hari ke depan. Kabari aku apa pun tentang kegiatanmu, dan siapkan dirimu untuk mulai bekerja di kantorku,” kata Yuji, menarik pelan wanitanya lalu mencium puncak kepala Sanya sebelum meninggalkan apartemen wanita itu.
Setelah menyelesaikan program magisternya, Sanya bertekad untuk bekerja di luar perusahaan ayahnya. Ia ingin mandiri, menimba pengalaman, dan belajar sebanyak mungkin agar kelak pantas memegang tanggung jawab atas perusahaan keluarga.
Awalnya, Taro Isagi tidak setuju dengan keputusan putrinya itu. Namun, setelah Yuji menyarankan agar Sanya bekerja di perusahaannya saja—karena, toh, nantinya perusahaan mereka juga akan berkolaborasi—akhirnya Taro Isagi pun menyetujui.
***
Malam ini seharusnya Sanya hanya merayakan ulang tahun temannya, Haruka—rencana sederhana untuk memberi kejutan tepat tengah malam di rumah sang teman. Namun, beberapa jam sebelumnya, salah satu temannya memberi kabar bahwa Haruka ternyata masih berada di sebuah klub malam.
Akhirnya mereka sepakat mengalihkan rencana, kejutan ulang tahun akan diberikan langsung di sana. Sanya dilema dengan rencana itu, pasalnya ia harus membuat laporan lagi pada Yuji. Namun nomor telepon lelaki itu tidak bisa dihubungi—akhirnya terpaksa tetap bergabung dalam rombongan yang menuju klub. Mau bagaimana lagi? Dia sudah sejauh ini.
Begitu tiba memasuki gedung klub, langkah Sanya terhenti. Pandangannya terpaku pada sosok seorang lelaki yang berjalan cepat di depannya. Jas hitam, bahu tegap, dan langkah mantap itu begitu familiar hingga membuat napasnya tercekat.
Yuji? batinnya.
Tapi tidak mungkin. Dua hari ini, lelaki itu sedang berada di luar kota untuk urusan pekerjaan dan baru akan kembali besok.
Tetap saja, hati Sanya menolak tenang. Dadanya mulai terasa sesak, ia mengikuti langkah lelaki itu ke arah dalam klub, menyusuri koridor remang yang diwarnai cahaya neon merah muda dan aroma alcohol—tak menyadari ia terpisah dari teman-temannya.
Langkahnya berhenti ketika ia melihat dengan mata kepala sendiri—Yuji meraih pinggang seorang wanita yang sangat ia kenal, sekretaris pribadi lelaki itu sendiri. Tanpa ragu, Yuji mencium wanita itu dengan rakus, mendorongnya ke arah pintu sebuah ruangan VIP. Ciuman itu tidak berhenti bahkan ketika mereka berdua melangkah masuk.
Refleks, Sanya berlari kecil menahan daun pintu sebelum tertutup sepenuhnya. Ia terpaku, tubuhnya gemetar ketika melihat Yuji melepas jasnya tanpa melepas ciuman panasnya, jemarinya menggerayangi leher dan dadaa wanita itu dengan nafsu yang membuat dadaa Sanya sesak.
“Maaf, Nona. Apa yang Anda lakukan di sini?” suara pelayan dari belakang membuat Sanya tersentak—menyenggol nampan di tangan pelayan hingga terjatuh, gelas-gelas pecah berderai. Dalam kepanikan di luar sana, Yuji menoleh—mata mereka bertemu sebelum pintu tertutup rapat.
Makin panik, Sanya dilema harus membantu pelayan atau pergi, sementara jemarinya gemetar hebat oleh tatapan Yuji. Ia tak tahu harus bagaimana. Akhirnya ia memilih berlari keluar dari klub dengan napas memburu. Namun langkahnya tertahan ketika seseorang menarik lengannya kuat.
“Kenapa kamu ada di sini?” suara Yuji berat dan tajam.
Sanya menatapnya dengan mata berkaca. “Lepas!”
“Jawab aku, Sanya!” pekik Yuji.
Kesal karena lelaki itu masih bisa membentaknya, sebelah tangan Sanya melayang—mendarat keras di pipi tunangannya. “Lelaki sialan! Kembali pada jalangmu itu!”
“Kamu salah paham. Kita pulang,” kata Yuji, menahan amarah.
“Salah paham?” suara Sanya bergetar. “Aku baru saja melihatmu b******u dengannya, Yuji! Ini bukan yang pertama kali, kan?” Tidak ada jawaban dari lelaki itu membuat Sanya tertawa getir. “Wow, amazing!”
Yuji menarik napas tajam. “Kita pulang,” katanya lagi, kali ini dengan nada ancaman.
“Menjijikkan!” pekik Sanya berusaha melepas diri. “Aku akan memberitahu Papa perihal kebusukanmu ini! Aku tidak mau melanjutkan pertunangan—”
Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, tamparan keras mendarat di pipinya. Dunia seakan berhenti sejenak dan telinganya berdengung nyaring. Darah mengalir dari sudut bibirnya. Yuji mencengkeram rahangnya, mendorong tubuh Sanya ke dinding.
“Jangan berani meninggikan suara padaku! Dan jangan pernah berpikir pergi dariku. Kamu milikku, Sanya!”
Air mata Sanya jatuh. Dengan sisa tenaga, ia menginjak kaki Yuji lalu mendorong tubuh lelaki itu sekuat mungkin lalu berlari menjauh.
Di luar klub, matanya menangkap seorang lelaki baru keluar dari mobil. Tanpa berpikir, ia mendorong lelaki itu kembali masuk ke dalam mobilnya.
“Tolong saya… tolong bawa saya pergi,” ucapnya terburu-buru, masuk dan menutup pintu belakang—bersembunyi.
Lelaki itu menatapnya heran sekaligus waspada.
“Keluar dari mobil saya—”
“Tolong, saya harus pergi dari sini,” pinta Sanya sungguh-sungguh. Situasi makin mendesak ketika Yuji berlari keluar dari klub mencari Sanya ke sana dan sini—mengerang kesal. Lelaki itu yang sudah dikuasai emosi itu tampak meraih ponselnya, menghubungi ponsel Sanya yang berdering di dalam tasnya. “Tolong, cepat… bawa saya pergi,” bisik Sanya lagi, suaranya parau.
Meski tak mengerti dengan situasi saat ini. Lelaki pemilik mobil itu melaju meninggalkan area klub. Sanya duduk lega di kursi belakang, menunduk, bahunya bergetar menahan tangis. Wajahnya masih terasa panas dan sudut bibirnya perih.
Hening sejenak bersama lega sesaat, karena Sanya tahu … Yuji tidak akan diam saja setelah ini.
“Ini mau numpang sampai mana?” Suara lelaki pemilik mobil itu akhirnya memecah sunyi, datar dan dingin. “Minimal pindah ke depan, saya bukan sopir.”
Sanya terdiam, menatap keluar jendela yang dipenuhi pantulan cahaya kota. Ia bahkan tak tahu, berada di mana dirinya saat ini.
Lelaki itu menoleh sekilas, melihat sudut bibir Sanya yang berdarah. “Kamu terluka,” katanya panik.
Belum sempat Sanya menjawab, wanita itu berteriak sambil menunjuk ke arah sebuah truk yang tiba-tiba melintas tepat di depan mobil mereka.
Lelaki itu spontan membanting setir dan suara dentuman keras terdengar ketika mobil menabrak pembatas jalan.