PART. 3

714 Words
Vanda baru selesai makan, saat ponselnya berbunyi. Keningnya mengernyit, karena nomer yang memanggil tak bernama di ponselnya. Dengan ragu, dijawabnya juga panggilan itu. "Hallo, Assalamualaikum, siapa ya?" "Walaikum salam. Vanda, ini Om Andri. Sudah makan siang?" "Oh, Om Andri. Sudah, Om." "Oh, sudah ya, padahal aku ingin mengajak kamu makan siang." "Dianterin makan siang dari rumah sama Acil Sifa." "Oh, ya sudah kalau begitu. Mau pulang sama-sama tidak, nanti sore?" "Ehmm ...." "Ada yang jemput ya?" "Dijemput Amma." "Ooh, ya sudah. Assalamualaikum, Vanda." "Walaikum salam, Om." Baru saja Vanda meletakkan ponselnya, saat ponsel itu kembali berbunyi. "Amma ... assalamualaikum, Amma." "Walaikumsalam, Sayang. Vanda sudah makan?" "Sudah, dikirimin Acil Sifa dari rumah." "Eh, kok dikirimi Acil Sifa. Kamu jangan merepotkan Acilmu, ya. Dia itu banyak sekali yang harus ditangani. Kaimu, Ninimu, Rara, Pamanmu. Semua menjadi urusannya. Kamu jangan ...." "Amma! Aku tidak minta. Keramen, eeh ... kemarin, waktu aku pulang, aku makan di rumah Nini, karena makan siangku tidak pas dengan seleraku, jadi aku makan sedikit. Acil Sifa yang menyiapkan, aku ceritakan kalau dilahku, eh ... lidahku, tidak cocok dengan makanan yang aku pesan. Karena itu mungkin aku siang ini dikirimi makanan, Paman Anang yang mengantarkan." "Oh, begitu. Amma sore ini tidak bisa jemput ya, kamu pulang naik taksi online saja." "Baik, Amma." "Sudah ya, jangan lupa sholat Dzuhur, assalamualaikum." "Walaikum salam." Vanda meletakan ponselnya di atas meja. Ammanya selalu percaya diri dalam situasi apapun, meski sering kepeleset kata saat bicara. Vanda ingin sekali seperti Ammanya, tapi ia tidak bisa. *** Vanda ke luar dari dalam ruangannya, ia bersiap untuk pulang, ia duduk di depan ruangannya, ingin memesan taksi online untuk pulang. "Vanda!" Vanda mengangkat wajah dari layar ponselnya. "Mister Rayen?" "Mau pulang?" "Iya," kepala Vanda mengangguk. "Ayo, aku antar." "Tidak merepotkan?" "Tidak, ayolah!" Rayen ke luar dari dalam mobilnya. Dibukakan pintu mobil untuk Vanda. Vanda masuk ke dalam mobil, setelah menutup pintu mobil, Rayen memutari bagian depan mobilnya. Ia masuk ke dalam mobil, dan duduk di belakang stir. "Tidak dijemput Ammamu, ya?" "Tidak, tadi niatnya ingin naik taksi ol nine ... eh, on line maksudku." "Kalau ingin aku jemput setiap hari boleh kok." "Ehmm," Vanda menundukkan wajahnya yang merona. "Mau tidak, aku jemput setiap hari?" "Tidak usah, terima kasih." "Kamu sudah punya pacar belum, Vanda?" "Ehm," kepala Vanda menggeleng pelan. "Mau jadi pacarku?" "Haah!" Vanda menatap Rayen tanpa kedip. "Aku serius," Rayen meyakinkan Vanda dengan tatapannya yang tampak sangat berharap. "Ehm, maaf. Kami tidak diijinkan pacaran." "Kenapa?" "Kata Kai, pacaran lebih banyak membawa dampak buruk, dari pada baik." "Itukan tergantung orangnya, Vanda." "Iya, aku tahu. Tapi, di dalam keluarga kami, tidak ada istilah pacaran. Kai buyut, dan Nini buyut, tidak pacaran. Kai Bie, dan Nini Cantik juga tidak. Kai Arka, Ammaku, Paman Aska, Abang Revan, Rara, tidak ada yang pacaran." "Eh, bukannya Rara, dan Razzi sudah pacaran sejak lima tahun lalu." "Mereka saling mencinta, tapi tidak pacaran. Mereka hanya menyimpan perasaan cinta mereka, untuk diri mereka serindi, eeh ... sendiri saja." "Kalau kamu tidak mau pacaran sama aku. Aku lamar langsung mau, tidak?" "Haah!" Mata Vanda membesar, ia tatap Rayen dengan mulut terbuka. Rayen tertawa pelan. "Jangan begitu, aku juga belum siap untuk menikah sekarang. Semoga kamu mau menungguku, seperti Rara, dan Razzi yang saling menunggu." "Ehm," Vanda hanya tersenyum, tatapannya dialihkan ke jalan di depannya. "Kalian itu enak ya?" "Enak apanya?" "Tidak perlu susah mencari pekerjaan, tinggal meneruskan saja." "Meski tinggal meneruskan, tapi tidak bisa asal saja. Harus tetap bersikap prosefional, eeh ... pro ... pro ...." "Profesional." "Hmm, itu." "Setidaknya, saat kalian lulus sekolah, tidak perlu bingung mencari kerja." "Alhamdulillah." "Keluarga kalian sangat terkenal. Ditambah sekarang juga ada hubungan keluarga dengan keluarga hebat lainnya. Keluarga Lazuardi. Siapa yang tidak kenal keluarga Lazuardi, iya'kan?" "Iya." "Kamu mau aku turunkan di depan rumahmu, apa di depan rumah Kaimu?" "Di depan rumahku saja," jawab Vanda cepat. Ia tidak ingin, turun di depan rumah Kainya, karena takut, akan jadi bahan godaan Rara, dan Abbanya Rara. Sepupunya itu dengan Abbanya suka sekali menggoda orang. "Apa kabar Abangmu?" "Alhamdulillah, baik." "Aku salut sama dia, berani mengambil tanggung jawab untuk menikah muda. Sudah punya anak berapa?" "Kembar sepasang." "Waktu menikah, usia Revan baru delapan belas tahun ya?" "Iya." "Rara nikah usianya belum delapan belas." "Iya." "Kamu sendiri, apa ingin menikah muda juga?" "Aku? Tergantung jodohnya saja." "Andai ada yang melamar kamu sekarang, apa akan kamu terima?" "Haah!" BERSAMBUNG
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD