Dengan Lembut

1464 Words
POV: Sha Raka tengik, malah menikmati wajah memelas. Awas saja kalau kelak butuh bantuan, akan kupaksa dia menangis dulu. "Ayo Raka, lakukan seperti biasa."  "Dia datang," bisik Raka. Aku memasang senyum terbaik menyambut Haikal yang baru masuk dari pintu utama, sambil terus memeluk lengan Raka. Aku benci aroma Raka, benar-benar bau parfum wanita bercampur aroma menyengat tak sedap. Andai ada pilihan lain. Haikal cukup ramah memberi senyumnya. "Shakira, ayo aku antar ke kampus." "Sorry, aku berangkat dengan pacarku." Pandangan ramah Haikal belum hilang ketika mengajak Raka bersalaman. "Namaku Haikal Dixon." Raka menyalami tangan itu. "Raka, pacarnya Shakira. Dixon dan Haikal, terdengar aneh." "Dixon nama keluarga ayah, wajib kupakai. Kamu Raka Aprilio? Tante bercerita banyak tentang dirimu." "Oh, begitu?" "Kamu pemuda hebat, baik, dan terima kasih telah menjaga puteri satu-satunya Tante Abigail." Raka menoleh ke padaku, cara dia memandang dan tersenyum nakal membuatku ingin meninju mukanya. Di saat seperti ini malah meledek.  Raka berkata, "Dia pria baik. Yakin tak ingin berangkat bersama--" "Permisi Haikal, aku takut terlambat." Aku tarik lengan Raka menerobos keluar apartemen. Sedikit aku beri dorongan lengannya ketika berpisah, supaya segera masuk duduk di kursi mobil dan menyetir pergi dari sini.  Aku duduk di kursi penumpang, membanting pintu. Suara tawa Raka masih renyah di telinga. "Apa yang lucu?" "Aku tak pernah mengira kamu bisa sepanik ini. Ibumu cerita banyak tentangku. Dia menilaiku pemuda baik. Kau dengar, pemuda baik." "Sudah, tak usah banyak bicara. Segera tancap gas." Aku memandang Haikal berdiri di trotoar dengan kedua tangan bersembunyi dalam celana hitam panjang, tak lepas mengamati kami sembari tersenyum kecil. Aku tak terlalu mengenal dia, tapi siapapun orang kiriman Ibu, aku harus bersikap dingin, atau Ibu menang.  Raka mencoba menghidupkan mobil dengan memutar kunci berkali-kali, tapi sepertinya benda ini rewel.  Seperti Raka, rewek, mulai ngelantur. "Kenapa kamu tak suka dia? Apa karena terlalu banyak minyak rambut? Terlalu banyak senyum? Setelan jas hitam? Kamu tak suka pemuda kekar seperti dia? Atau karena brewok tipis itu? Atau--ok ok, berhenti memandang bengis seperti itu."  Dia memutar kunci berulang kali, tetap tak bisa. Raka keluar dari mobil,  membuka kap depan. Great! Sudah berapa kali aku peringatkan, bawa mobil tua ini ke bengkel, tapi dia malah selalu membawa benda ini ke klub malam.  Aku berteriak dari dalam mobil. "Mungkin beri beer, mobilmu bisa menyala." Raka tertawa kecil. "Very funny, huh?" Haikal mendekati Raka, entah mereka bicara apa. Kap mesin menutupi semuanya. Haikal melepas jas, menaruh benda itu ke pintu yang kacanya terbuka. Cukup lama mereka bicara kecil, hingga suara Haikal terdengar nyaring. "Kamu harus ganti mesinnya, Bro." Bro? Sejak kapan mereka menjadi Bro? "Jadi, bagaimana tawaranku?" Aku tak suka ini. Tawaran apa? Kenapa para pria selalu berdiskusi di belakang wanita? Tak lama kemudian, Raka mendekat. Dia berdiri di sebelah pintu, sesekali memandang Haikal lalu memandangku. "Aku rasa dia pria baik." "Apa yang dia katakan. Tawaran apa?" "Itu percakapan antar pria, wanita nggak boleh tahu." "Raka." "Pop out, kamu akan terlambat kalau tetap di sini. Kamu nggak mau merusak grade sempurnamu dengan satu kali absen, kan? Aku menarik kencang kerah kaos Raka, hingga wajahnya nyaris menabrak wajahku. "Judas. Apa yang dia janjikan sampai kamu seperti ini, hmm?" "Ayolah, aku hanya ingin yang terbaik untukmu, Sha. Kamu bisa terlambat kalau tetap di sini." "Benar kata Raka." Haikal berdiri di sisi pintu kemudi, memakai jas hitamnya kembali. Aku tak suka caranya menyeringai. "Biar aku antar ke kampus." Ke dua begundal kurang ajar. Apa mereka tak tahu yang aku mau? Aku mendorong pintu mobil sampai tubuh Raka ikut mundur. "Minggir." Raka tak berani berkata-kata. Dia paham jika aku mulai bicara dengan satu kalimat singkat, memasang wajah suntuk, jangan coba-coba.  "Akan kukabari nanti." Haikal melambai pada Raka ketika kami menyeberang jalan. Dia membuka pintu mobil depan untukku, bahkan tangannya mendarat ke kepalaku, menjaga supaya tidak terbentur. Sial, kenapa mereka malah seperti bersahabat? Aku bilang, "Terima kasih." "Sama-sama." Dia berputar duduk di kursi kemudi. "Jadi, siap berangkat?" "Ya." Aku kaget ketika badan Haikal condong ke arahku. "Hei, mau apa?" "Memasang sabuk pengaman. Siapa tahu terjadi insiden di jalan. Aku tak ingin kamu kenapa-napa."  Terserahlah, ini mobilnya, dia yang berkuasa. Kaca pintu mobil sengaja aku buka, supaya bisa merasakan hangat angin California. Aku paling suka merasa hangat. Alasan lain, supaya tak perlu mendengar suara Haikal. Tetapi percuma. Ketika mobil bergerak maju, dia mulai bicara.   "Ibumu sangat khawatir akan kedekatanmu dengan Raka. Dia bercerita banyak hal tentang kalian dan kenapa dia menjadi seperti itu."  "Menjadi apa?" Aku menoleh, mendapati tangan Haikal bergerak seperti menyabuni badan. "Tatto. Pasti berat kehilangan ayah."  Tahu apa dia? Sengaja aku diam, malas menanggapi. Bagiku Om adalah ayah ke dua. "Aku juga kehilangan ayah saat kecil." Suara Haikal terdengar jujur. Dia memandang lurus ke depan. "Ibu menikah lagi demi diriku dan adik. Semua berubah. Keberuntungan datang kepada kami."  Dia berusaha terbuka, tapi sayang aku tak peduli. Aku membuang muka mengamati laju kendaraan di jalan. "Sha. Ibumu orang baik. Dia hanya ingin masa depan cerah untukmu. Tak ada orang tua yang ingin anaknya menderita. Percayalah." "Haikal." "Ya?" Tutup mulutmu. Aku harap berani berkata seperti itu, tapi aku tak pernah mengumpat atau menghina orang yang hanya kenalan "Berapa lama kenal Ibuku?" "Dua tahunan." "Aku dua puluh tiga tahun. Sampai sekarang tak mengerti ibu. Bagaimana kamu mengenal lebih dariku?" Haikal tersenyum. "Sorry, mungkin aku terlalu banyak bicara." Bagus kalau dia sadar. Mobil berhenti. Haikal turun menyeberang jalan. Entah mau apa dia di sana, mampir ke toko bunga. Tak lama kemudian keluar membawa beberapa tangkai bunga. Entah siapa nenek dengan tongkat jalan, tapi Haikal bicara sesuatu dengan beliau dan membantu menyeberang jalan.  How cute. Dia berhasil membuatku tersenyum. Aku rasa Haikal bukan orang jahat, hanya saja terjebak dalam situasi yang tak tepat. Dia tadi juga berusaha terbuka, mungkin hanya ingin bersahabat. Biasanya pemuda kiriman Ibu akan langsung membahas pernikahan, tapi dia tidak.  Nenek itu melambai ketika Haikal membuka pintu masuk kembali ke mobil. "Here we go. Ambillah." Dua bunga mawar putih, dalam wadah bunga. "Ibu selalu memberi bunga jika kami sedih. Menurut beliau aroma bunga bisa menenangkan hati, lebih mantap dari cokelat."  Aku mengendus aroma segar, harum bunga. Mobil mulai bergerak kembali. Haikal memberi lambai kecil pada Nenek, aku juga melakukan hal yang sama.  "Atau mungkin ibu hanya tak ingin kami terlalu banyak mengkonsumsi cokelat." Aku tertawa kecil. "Jadi, siapa nenek tadi?" "Katanya bernama Marle." "Loh, enggak kenal?" Haikal menggeleng. "Kenal sih, kan sudah kenalan beberapa menit yang lalu. Nenek tadi berkata jika arti bunga mawar putih selain pernikahan adalah  mewakili penyatuan, keutamaan, kehormatan, dan kemurnian cinta." "Begitu? Manis sekali arti bunga ini." "Bunga memang manis, harum, tapi bukan tandinganmu, Sha. Bagaimana, kamu suka bunga itu?" Jujur, aku suka banget yang harum-harum. Aku mengangguk kecil mencium lagi aroma lembut ini. "Makasih." "Your'e welcome. Ibumu ada di rumah LA. Mau bertemu dengannya?" Kenapa dia membahas masalah ini sekarang? Padahal aku mulai merasa nyaman berada di sini. Dasar, semua cowok sama saja, selalu gagal mengerti apa yang wanita inginkan. "Bagaimana, aku bisa mengantarmu bertemu Ibumu." "Malas." "Kenapa?" "Sibuk. Haikal, please, jangan merusak suasana dengan membawa ibu masuk dalam pembicaraan." Dia mengangguk kecil. "Ok, no Momma for you. Ayahmu ada di sana juga. Aku tahu, kamu punya hubungan baik dengan ayahmu, kan?" Aku tak bisa berkata kami punya hubungan baik, tapi masih lebih baik dari hubunganku dengan Ibu. Beliau sibuk kerja tetap berusaha menanyakan kabarku. Malam hari di rumah bibi aku sering ke luar kamar, mendapati Bibi Minerva sibuk bicara dengan ayah di telepon, aku tahu karena beberapa kali beliau memanggil nama Glen, panggilan untuk ayahku. Beberapa wajah yang kukenal berjalan di trotoar,  mereka teman-teman satu kampus. Beberapa dari mereka melambai ketika melihatku, cukup kagum karena mobil yang membawaku. Benda ini berhenti tak jauh dari gedung utama kampus.  "Jadi, nanti pulang jam berapa?" Haikal menoleh ke arahku.  "Kamu kira dengan dua bunga mawar bisa membuatku mau denganmu? Jangan berharap banyak." "Aku hanya bertanya, siapa tahu 'pacar'-mu tak bisa menjemput."  Aku urung keluar dari mobil, duduk menutup pintu. "Kenapa?" "Apa kamu lupa, mobilnya rusak." Apa Haikal merencanakan sesuatu? Aku tak suka dia menyeringai lagi, terutama ketika lesung itu keluar.  "Aku akan baik-baik saja, aku pulang dengan teman-teman." Aku keluar dari mobil, menutup lembut pintu dan memberi senyum lembut. Aku rasa dia berhak mendapat senyumku, kan? "Selamat tinggal. Dan satu lagi, aku nggak suka sama minyak rambut. Aku suka rambut alami yang lembut." "Apa itu syarat supaya bisa menjemputmu?" Aku menggeleng. "Bye." Apa yang aku lakukan? Semua pasti karena bunga ini. Hmm harum sih, tapi membuatku berkata seperti itu. Bunga nakal. Semoga dia tak salah mengartikan ucapanku tadi, sebagai lampu hijau.   Mia, Karla dan Jose menunggu di halaman depan kampus. Sahabat-sahabat satu angkatan, Jepang, Amerika dan Meksiko. Aku balas melambai kepada mereka. Entah kenapa perasaanku tak tenang. Raka, apa yang Haikal lakukan padanya, dan kenapa Ibu dan ayah ... tunggu, apa mereka tahu akan hari istimewa itu? Ayah mungkin tahu.  ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD